Kondisi wilayah Sumatera pascabencana banjir bandang dan longsor (Foto: BNPB)
Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatera pada akhir November 2025 dinilai jauh lebih kompleks dibanding tsunami Aceh 2004.
Penilaian itu disampaikan para mantan pejabat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dalam Sarasehan Daring “Rekoleksi Pengetahuan dan Pembelajaran dari Aceh-Nias”.
Eks Direktur Hubungan Luar Negeri & Donor BRR, Heru Prasetyo, menegaskan bahwa krisis kali ini membutuhkan kepemimpinan yang jauh lebih kuat.
“Yang kita hadapi saat ini menuntut leadership yang barangkali lebih dalam daripada sekadar menangani bencana. Mengingat, yang ditangani di depan mata bukan semata soal manajemen bencana alam, tapi juga bencana lingkungan hidup, dan lain-lain,” ujarnya dikutip redaksi, Minggu, 7 Desember 2025.
Heru bahkan menyebut kombinasi bencana Sumatera 2025 sebagai gabungan dari “tsunami Aceh, Covid-19, Lapindo, dan perubahan iklim.”
Data BNPB hingga 4 Desember mencatat hampir 900 jiwa meninggal, 500 orang hilang, dan jutaan mengungsi. Wilayah terdampak sangat luas, meliputi Aceh, Sumut, dan Sumbar, dengan kerusakan masif pada infrastruktur, listrik, komunikasi, dan akses bantuan.
Eks Deputi BRR Aceh-Nias, Sudirman Said, menyebut skala bencana ini sudah melebihi tsunami 2004.
“Ditinjau dari luas landaannya, maka bencana Sumatera 2025 ini sudah melampaui tsunami 2004. Kalau di-impose, wilayah landaannya setara dengan pulau Jawa-Madura-Bali,” tegasnya.
Sudirman yang kini juga pengurus PMI mengingatkan pentingnya mengutamakan kemanusiaan. Ia kembali mengutip pesan mantan Kepala BRR, Kuntoro Mangkusubroto.
“Tidak ada satu pun kekuatan yang mampu membuat kerusakan seperti ini kecuali tangan Tuhan. Hanya dengan tangan Tuhan pula tempat ini akan bisa diperbaiki. Oleh karena itu, jangan pernah kotori tanganmu dengan tindakan yang tidak terpuji di mata Tuhan,” katanya.
Eks Pimpinan BRR lainnya, William Sabandar, Amin Subekti, Avi Mahaningtyas, dan Nannie Hudawati—menyoroti pentingnya crisis mindset, kecepatan kerja, fleksibilitas birokrasi, serta kepemimpinan yang hadir langsung di lapangan.
“Leadership itu bukan perkara satu komando saja, tapi kemampuan mengombinasikan tanggap darurat dengan rehabilitasi-rekonstruksi jangka panjang,” ujar William.
Amin mengingatkan bahwa keberhasilan pemulihan Aceh-Nias dulu sangat bergantung pada kecepatan dan keluwesan kerja.
“Bagaimana hal tersebut bisa dilakukan? Ya karena dua hal tadi: speed dan flexibility,” katanya.
Para narasumber menilai, kondisi genting ini harus menjadi momentum terbangunnya kolaborasi besar antara pemerintah, masyarakat sipil, lembaga donor, hingga dunia usaha.
“Kita harus menyuarakan ini. Jangan sampai too late and too little. Ide dan pengalaman sudah ada. Yang kurang hanya otoritas,” pungkas Sudirman.
Sarasehan ini digelar oleh Institut Harkat Negeri, Nalar Institute, CIPG, Institut Deliverologi Indonesia, dan BRR Institute.