Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL/Istimewa)
KOPI khas nusantara punya magnet luar biasa bagi masyarakat dunia untuk datang dan memburunya. Bahkan kopi dan rempah-rempah lainnya, menjadi salah satu alasan, terjadinya penjajahan di nusantara. Multatuli atau Douwes Dekker menulis hal itu dalam novel Max Havelaar (Lelang Kopi Perusahaan Belanda). Novel ini ditulis tahun 1859 dan terbit tahun 1860. Kopi sebagai “emas hitam” selalu diperebutkan bangsa-bangsa di dunia. Juga saat ini, para pemodal besar mendominasi perdagangan kopi. Sehingga masyarakat petani kopi harus "gigit jari".
Di balik kopi ada janji kemakmuran bagi masyarakat petani. Produk kopi melimpah. Harganya juga tidak murah. Sangat disukai masyarakat, baik kelas atas, menengah maupun bawah.
Minum kopi pun sudah menjadi budaya. Di kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, terserak jutaan warung, restoran dan kafe yang menjual minuman kopi. Harganya sangat variatif. Di warung kecil (angkringan) harga segelas kopi antara Rp3.000 sampai Rp4.000. Di Restoran bisa mencapai Rp10.000-Rp 35.000 dan di kafe harganya bisa melonjak hingga Rp50. 0000, per cangkir kecil. Bahkan ada yang menjual kopi di atas harga itu.
Kopi ternyata bukan sekadar bagian dari kuliner dan komoditas potensial, tapi sudah bertransformasi menjadi simbol sosial. Terutama karena ia melekat pada kelas menengah atas. Ada gengsi di balik minum kopi. Selain itu, Orang-orang bisa ketagihan jika dalam sehari belum minum kopi. Kepala pusing. Pikiran lemot. Gairah hidup dan produktivitas menurun.
Kopi sangat laris. Banyak perusahaan kopi berdiri dan meraup keuntungan besar. Namun ironi terjadi: belum semua petani kopi hidup sejahtera apalagi makmur.
Berbasis Desa
Ironi itu juga dirasakan Bupati Jember, Muhammad Fawait, S.E., M.Sc. “Selama ini kita dikenal sebagai penghasil emas hitam, tetapi justru daerah yang menjadi pusat komoditas ini adalah wilayah dengan kemiskinan tertinggi. Karena itu, kami mendorong hutan sosial untuk menjadi solusi konkret. Dengan lebih dari 41 ribu hektare lahan yang dapat dikelola masyarakat, setidaknya 41 ribu rumah tangga bisa kita angkat dari kemiskinan. Ini bagian dari upaya kita menuju zero miskin ekstrem di tahun 2029 dan menjadikan Jember sebagai surga kopi Nusantara sekaligus motor penggerak ekonomi di Tapal Kuda,” tutur Fawait.
Paparan Muhammad Fawait itu menyentak para peserta Seminar Nasional dan Temu Usaha bertema “Industrialisasi Kopi dan Pengentasan Kemiskinan” yang digelar di Auditorium Universitas Jember pada Selasa, 25 November 2025.
Seminar yang mempertemukan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan komunitas petani kopi ini menghadirkan beragam narasumber lintas sektor. Tamu utama seminar ini adalah Wakil Kepala BP Taskin, Ir. Iwan Sumule, yang membawakan keynote “Industrialisasi Kopi dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”.
Ir Iwan Sumule merespons keprihatinan atas kehidupan petani kopi baik di Jember maupun di daerah lain. Dikatakan, pengembangan kopi membutuhkan strategi konkret, yaitu menjadikan desa sebagai basis. Langkah ini penting dilakukan untuk menurunkan kemiskinan secara berkelanjutan.
Iwan Sumule punya ide menarik. Industrialisasi kopi berbasis desa bisa dijadikan jalan alternatif atau jalan keluar bagi masyarakat petani untuk menikmati kesejahteraan. Nilai tambah industrialisasi kopi harus dimiliki warga desa, mulai dari pencucian, sangria, pengemasan, hingga branding. Petani kopi jangan hanya menjadi pemasok bahan bagi perusahaan-perusahaan besar. Infus keuntungan macam itu, harus dikoreksi. Para petani harus menginfus keuntungan bagi mereka sendiri.
“Dengan membalik struktur pasar, masyarakat petani kopi memperoleh keuntungan yang pantas/layak. Akhirnya kopi benar-benar bisa menjadi alat pembebasan sosial serta pengentasan kemiskinan di Jember dan seluruh wilayah Tapal Kuda,” tanas Iwan Sumule.
Wilayah Tapal Kuda, memiliki sekitar 30.000 hektare lahan kopi. Namun kekayaan potensi alam itu belum ditunjang strategis peningkatan pemasaran, budidaya, dan hasil-hasil pengembangan kopi yang dapat memberikan dampak bagi pengurangan kemiskinan. Kemiskinan di beberapa daerah masih tergolong tinggi, dan ini menjadi tantangan bersama bagi pemerintah daerah maupun Universitas Jember untuk terus berperan dalam pemberdayaan masyarakat melalui komoditas kopi.
BP Taskin, dunia kampus dan pemerintah daerah dituntut untuk menciptakan sinergi kerja demi mengatasi monopoli, dominasi dan hegemoni industri kopi terhadap masyarakat petani kopi. Saatnya kopi harus menyejahterakan petaninya sekaligus membebaskan mereka dari kemiskinan yang meringkusnya. Untuk itu, berbagai ide cemerlang yang muncul di dalam seminar, perlu dijadikan peta jalan tindakan. Sehingga bau kopi harum kesejahteraan benar-benar dihirup masyarakat petani kopi dan kalangan orang miskin yang terdampak positif dari kemandirian pengelolaan dan pemasaran kopi.
Bambang Isti Nugroho
Pemerhati sosial