Berita

Surat Suara Pemilu 1955, Jawa Timur (Dok. Situs KPUD Sukoharjo)

Publika

Polisi Pernah Ikut Pemilu 1955

SENIN, 24 NOVEMBER 2025 | 12:38 WIB

KETIKA publik hari ini menuntut agar Polri tetap netral dalam dinamika politik, hanya sedikit yang mengingat bahwa polisi Indonesia pernah melangkah jauh melewati batas netralitas itu. 

Pada Pemilu 1955, polisi tidak hanya terlibat secara informal, tetapi benar-benar memiliki partai politik sendiri: Partai Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI). Episode sejarah ini jarang dibahas, namun penting untuk memahami bagaimana perdebatan tentang posisi ideal polisi dalam negara demokrasi terbentuk sejak awal kemerdekaan.

Memet Tanumidjaja dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian menggambarkan masa awal republik sebagai periode ketika identitas polisi masih kabur. Polisi belum sepenuhnya menjadi aparat sipil, namun juga bukan bagian yang solid dari militer. 


Ketidakjelasan ini membuat sebagian besar anggota kepolisian merasa perlu memperjuangkan posisi mereka di tengah tarik-menarik kekuasaan antara sipil dan militer. 

Dalam suasana itu, P3RI lahir sebagai wadah untuk mempertegas kepentingan korps. Bagi sebagian polisi, berpolitik justru dianggap jalan untuk memastikan masa depan institusi mereka tidak ditentukan oleh pihak lain.

Gagasan politik P3RI ini semakin terlihat radikal ketika kita membaca analisis Daniel S. Lev dalam Legal Evolution and Political Authority in Indonesia. Lev mencatat bahwa P3RI membawa tuntutan besar: pembentukan “Kementerian Kepolisian” yang independen. 

Tuntutan itu menunjukkan bahwa P3RI tidak sekadar mengikuti pemilu demi posisi politik, tetapi ingin mengubah struktur negara agar polisi berdiri sejajar dengan kementerian lain. 

Dari sudut pandang Lev, ambisi ini mencerminkan kegelisahan struktural dalam tubuh kepolisian—mereka ingin mandat yang jelas dan ruang otoritas yang stabil di tengah negara yang masih mencari bentuk.

Analisis para pengamat lain menguatkan gambaran tersebut. Petrik Matanasi, sejarawan yang banyak menulis tentang kepolisian, menekankan bahwa polisi pada masa itu “berpolitik secara terang-terangan.” 

Dalam ulasannya di Historia, ia menempatkan P3RI sebagai bukti bahwa di era 1950-an, batas antara aparat keamanan dan politik elektoral jauh lebih longgar dibandingkan sekarang. 

Ini memperlihatkan bahwa netralitas polisi sebenarnya bukan prinsip yang sudah ada sejak awal, melainkan hasil perkembangan panjang institusional.

Bambang Yuniarto, dalam kajiannya mengenai kedudukan polisi dalam sistem politik Indonesia, juga melihat periode ini sebagai masa ketika polisi berada “di dua ujung tanduk”: harus menegakkan hukum, tetapi sekaligus berusaha mengamankan posisi politik institusionalnya. 

Pemikiran Yuniarto membantu memahami bahwa munculnya P3RI bukan sekadar ambisi politik, tetapi ekspresi pencarian bentuk kelembagaan bagi polisi di negara yang baru merdeka.

Di sisi lain, Parsudi Suparlan -- melalui Bunga Rampai Ilmu Kepolisian -- menempatkan fenomena seperti P3RI sebagai bagian dari proses panjang profesionalisasi dan legitimasi polisi. 

Menurutnya, sejarah menunjukkan bahwa polisi selalu berada di antara tuntutan sosial, politik, dan hukum. Dengan sudut pandang ini, keterlibatan P3RI dapat dilihat bukan sebagai penyimpangan, melainkan sebagai konsekuensi dari dinamika pembentukan institusi modern.

Konteks yang lebih luas juga diulas oleh Yahya A. Muhaimin dalam kajiannya mengenai peran militer dan keamanan dalam politik Indonesia awal. Ia menekankan bahwa pada masa itu, aktor keamanan -- baik militer maupun polisi -- memiliki peran politik inheren dalam pembentukan negara. Melihatnya dari perspektif ini, P3RI dapat dipahami sebagai bagian dari pergulatan negara muda yang struktur politiknya belum mapan.

Namun, semua ambisi itu pada akhirnya terbentur realitas demokrasi. P3RI ikut Pemilu 1955 tetapi tidak memperoleh suara berarti. Rakyat lebih memilih partai-partai besar yang membawa gagasan ideologis luas, bukan partai korps birokrasi. Kegagalan itu bukan hanya menutup perjalanan P3RI, tetapi juga menjadi batas tegas bahwa politik elektoral bukanlah ruang yang tepat bagi institusi penegak hukum.

Meski singkat, pengalaman P3RI memberikan pelajaran besar. Pertama, sejarah menunjukkan bahwa ketika polisi masuk terlalu jauh ke gelanggang politik, kepercayaan publik dan integritas institusi berada dalam risiko serius. 

Kebingungan antara kepentingan publik dan kepentingan korps dapat menimbulkan kecurigaan yang merusak legitimasi polisi. Kedua, aspirasi untuk memiliki posisi yang jelas dalam struktur negara tidak harus ditempuh melalui politik praktis. 

Reformasi institusional, seperti yang terjadi setelah 1998 dengan pemisahan Polri dari TNI dan penetapan polisi sebagai institusi sipil, terbukti jauh lebih efektif untuk memperkuat profesionalisme.

Pengalaman P3RI juga memberi peringatan relevan untuk masa kini, ketika isu politisasi aparat keamanan kembali muncul dari waktu ke waktu. 

Sejarah menunjukkan bahwa netralitas Polri bukan hanya norma hukum, tetapi syarat dasar bagi keberlangsungan demokrasi. Indonesia pernah mencoba membiarkan polisi masuk ke politik, dan hasilnya membawa lebih banyak kebingungan daripada solusi.

Dengan memahami sejarah ini, kita diingatkan bahwa demokrasi hanya dapat berjalan sehat bila aparat hukum menjaga jarak yang jelas dari persaingan politik. P3RI adalah bab penting dalam perjalanan itu—bab yang seharusnya kita baca bukan untuk diulang, tetapi untuk memastikan kesalahan serupa tidak terjadi lagi.

Agung Nugroho
Direktur Jakarta Institute

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

12 Orang Tewas dalam Serangan Teroris di Pantai Bondi Australia

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:39

Gereja Terdampak Bencana Harus Segera Diperbaiki Jelang Natal

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:16

Ida Fauziyah Ajak Relawan Bangkit Berdaya Amalkan Empat Pilar Kebangsaan

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:07

Menkop Ferry: Koperasi Membuat Potensi Ekonomi Kalteng Lebih Adil dan Inklusif

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:24

Salurkan 5 Ribu Sembako, Ketua MPR: Intinya Fokus Membantu Masyarakat

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:07

Uang Rp5,25 Miliar Dipakai Bupati Lamteng Ardito untuk Lunasi Utang Kampanye Baru Temuan Awal

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:34

Thailand Berlakukan Jam Malam Imbas Konflik Perbatasan Kamboja

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:10

Teknokrat dalam Jerat Patronase

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:09

BNI Dukung Sean Gelael Awali Musim Balap 2026 di Asian Le Mans Series

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:12

Prabowo Berharap Listrik di Lokasi Bencana Sumatera Pulih dalam Seminggu

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:10

Selengkapnya