Berita

Cecep Hidayat. (Foto: Dokumentasi Penulis)

Publika

PSI dan Utopia Partai Super Tbk

MINGGU, 09 NOVEMBER 2025 | 06:25 WIB

KETIKA Kaesang Pangarep naik menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), banyak yang melihat momen itu sebagai langkah strategis untuk memperkuat pengaruh politik keluarga Jokowi di panggung nasional sekaligus simbol regenerasi politik. PSI ingin menegaskan diri sebagai partai muda, progresif, dan berorientasi masa depan. Dengan gaya komunikasinya yang ringan dan akrab dengan generasi digital, Kaesang memberi harapan bahwa politik Indonesia akan lebih terbuka terhadap energi baru.
 
Namun, di balik semangat itu, ada pertanyaan mendasar yang perlu dikaji secara serius: sejauh mana Ketua Umum PSI memiliki kewenangan yang riil dalam menjalankan partai? Jika menilik Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PSI, jawabannya tidak sesederhana yang terlihat.

Dalam AD ART PSI terlihat jelas bahwa Dewan Pembina menempati posisi sebagai otoritas tertinggi partai. Pasal-pasal kunci mengatur bahwa Dewan Pembina memiliki kewenangan untuk menetapkan, mengubah, dan mengesahkan kebijakan strategis partai, termasuk pengangkatan dan pemberhentian pengurus DPP PSI. Dalam bahasa berbeda, Kaesang sebagai Ketua Umum bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi, melainkan aktor operasional dalam sistem yang dikendalikan oleh Dewan Pembina.
 

 
Kondisi ini menimbulkan dilema struktural dan politis yang menarik. Di satu sisi, PSI ingin menampilkan wajah baru, yaitu partai anak muda yang egaliter dan demokratis. Tetapi di sisi lain, AD/ART PSI masih mencerminkan pola partai elitis yang sangat top-down. Pertanyaannya, apakah PSI benar-benar akan menjadi partai modern yang “terbuka seperti perusahaan Tbk”, atau justru mengulang siklus partai-partai lama yang dikendalikan oleh segelintir elite?
 
Dewan Pembina sebagai Pusat Kekuasaan dalam Struktur Otoritas
 

Dalam banyak partai politik di Indonesia, posisi Dewan Pembina umumnya bersifat simbolik atau moral. Namun, PSI memberikan peran yang jauh lebih besar. Dewan Pembina di PSI tidak hanya berfungsi sebagai penasehat, tetapi juga pengambil keputusan strategis. Dewan Pembina berwenang memberikan pertimbangan kepada Dewan Pimpinan Pusat dalam menetapkan kebijakan yang bersifat penting dan strategis sebagaimana tercantum pada Pasal 14 mengenai Wewenang Dewan Pembina. Atau Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan program kerja dan keuangan Partai secara berkala kepada Dewan Pembina sebagaimana tertera dalam Pasal 22 tentang Tugas dan Kewenangan Ketua Umum. 

Terakhir BAB XVI PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pasal 29 mengenai Tata Cara dan Syarat Pengambilan Keputusan Ayat 4 yang berbunyi “Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai hanya dapat dilakukan dalam Rapat Dewan Pembina dan ditetapkan dalam Kongres atau Kongres Luar Biasa”. Ini berarti, Ketua Umum tidak memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan arah partai tanpa restu Dewan Pembina.
 
Dari sini, PSI tampak terjebak dalam apa yang disebut Robert Michels (1911) sebagai “the iron law of oligarchy”, hukum besi oligarki yang menyatakan bahwa dalam setiap organisasi besar, kekuasaan pada akhirnya akan terkonsentrasi di tangan minoritas elite. PSI yang lahir dengan semangat anti-oligarki, secara ironis, menghadapi jebakan struktural yang sama.
 
Fenomena ini juga sesuai dengan teori “cartel party” yang dikemukakan oleh Richard Katz dan Peter Mair (1995). Dalam model ini, partai tidak lagi menjadi alat representasi rakyat, melainkan alat bagi elite internal untuk mempertahankan kekuasaan, akses, dan sumber daya. Struktur PSI yang memberikan keunggulan absolut pada Dewan Pembina memperlihatkan gejala yang serupa: partai dikendalikan dari atas, bukan oleh kader di bawah.

Nama-nama seperti Jeffrie Geovanie dan Raja Juli Antoni, dua figur lama PSI yang disebut masih berperan besar dalam Dewan Pembina, menjadi bukti bahwa “wajah baru” partai tidak serta-merta berarti “struktur baru.” Seperti anggapan sebagian Masyarakat bahwa elite-elite lama masih memegang kendali atas PSI, bukan Kaesang. Kritik ini menggambarkan kegelisahan publik atas inkonsistensi antara citra muda dan realitas organisasi.
  
Relasi Kuasa Jokowi dan PSI: Antara Integrasi atau Takeover?
 
Isu bahwa Jokowi akan menjadi Ketua Dewan Pembina PSI menjadi bahan spekulasi politik paling hangat sejak awal 2025. Bagi sebagian pihak, wacana ini dianggap sebagai langkah strategis Jokowi untuk memastikan warisan politiknya tetap hidup setelah masa kepresidenan berakhir.
 
Namun, bagi pihak lain, wacana tersebut dipandang sebagai indikasi “pengambilalihan halus” terhadap PSI. Dalam konteks AD/ART yang menempatkan Dewan Pembina sebagai otoritas tertinggi, posisi Jokowi di puncak struktur itu akan membuatnya secara de facto menjadi pengendali penuh PSI.

Dari sisi teori politik, ini bisa dibaca sebagai contoh klasik dari partai personalistik, sebuah partai yang bergantung pada kharisma dan jaringan personal seorang pemimpin, bukan pada ideologi atau kaderisasi institusional. Model ini berisiko besar menimbulkan ketergantungan struktural dan membatasi regenerasi.
 
Namun di sisi lain, masuknya Jokowi juga dapat memberikan keuntungan strategis. Pertama, meningkatkan kepercayaan publik terhadap PSI, terutama di kalangan pemilih moderat dan nasionalis. Kedua, memperkuat posisi PSI dalam konstelasi pemerintahan Prabowo-Gibran, karena Jokowi masih memiliki pengaruh besar di kalangan birokrasi dan relawan.
 
Dilema ini kemudian bermuara pada satu pertanyaan krusial: Apakah Jokowi akan mengambil alih PSI, atau justru PSI yang akan menggantungkan dirinya kepada Jokowi?
 
Jika Jokowi benar-benar masuk ke Dewan Pembina, PSI bisa menjadi “rumah politik baru” bagi loyalis Jokowi yang kehilangan tempat di PDIP. Namun, langkah ini juga berisiko menjadikan PSI partai yang terlalu berorientasi pada figur dan kehilangan semangat kolektif yang selama ini diklaim sebagai jati dirinya.
  
PSI dan Utopia Menjadi Partai “Super Tbk”
 
Kaesang, setelah sebelumnya Jokowi, pernah menyebut keinginannya menjadikan PSI sebagai “partai super Tbk”, partai yang transparan, profesional, dan modern seperti perusahaan terbuka (terbuka untuk publik). Istilah ini menjadi simbol ambisi baru: mengubah partai politik menjadi lembaga yang akuntabel dan adaptif terhadap generasi muda.

Namun untuk menjadi “super Tbk,” PSI harus berani melakukan reformasi struktural internal. Tanpa perubahan dalam AD/ART yang memberi kewenangan terlalu besar kepada Dewan Pembina, jargon keterbukaan hanya akan menjadi slogan.

Terdapat beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan jika PSI ingin serius menjadi partai modern:

1) Konsolidasi ideologis. PSI perlu mempertegas posisi politiknya: apakah tetap sebagai partai progresif liberal, partai tengah moderat, atau partai nasionalis-pragmatis. Tanpa kejelasan ini, publik akan kesulitan membedakan PSI dari partai lain.

2) Kaderisasi meritokratik. Partai harus menyiapkan generasi penerus yang dipilih berdasarkan kemampuan, bukan hubungan darah atau loyalitas personal.

3) Kemandirian finansial. Partai harus transparan soal sumber dana, agar tidak tergantung pada jaringan elite lama. Inilah makna sejati dari “Tbk”: transparency-based corporation.

4) Revisi AD/ART Partai. Secara filosofis, Kekuasaan Dewan Pembina dikembalikan pada fungsi pengawasan moral, bukan sebagai pengendali politik. Ketua Umum dan DPP idealnya menjadi pusat eksekutif yang otonom. 
 
Dengan reformasi seperti ini, PSI bisa menjadi model partai masa depan: partai yang tidak hanya muda dari segi umur kader, tetapi juga muda dari segi struktur dan budaya politiknya.
 
Refleksi: Masa Depan PSI di Era Kiwari
 
Dalam politik Indonesia, partai bukan hanya alat untuk berkuasa, tetapi juga cermin dari kualitas demokrasi itu sendiri. PSI punya modal besar: jaringan media sosial yang kuat, pemimpin muda yang populer, dan basis ideologis yang relatif konsisten pada nilai pluralisme, meritokrasi, dan antikorupsi.
 
Namun, modal itu bisa cepat tergerus jika PSI gagal menata ulang fondasi internalnya. Sejarah menunjukkan bahwa banyak partai muda di Indonesia, pada akhirnya terjebak dalam siklus oligarki internal ketika tokoh pendiri menolak berbagi kuasa. Jika PSI ingin menjadi “partai super Tbk” seperti yang diimpikan, partai ini harus berani menantang status quo: membuka ruang bagi kader untuk mengontrol elite, bukan sebaliknya.
 
Kaesang harus membuktikan bahwa ia bukan hanya “penerus nama besar Jokowi,” melainkan sosok yang mampu memodernisasi partai tanpa kehilangan jiwanya. Tantangan itu tidak mudah, terutama jika Dewan Pembina tetap menjadi penjaga gerbang semua keputusan.
 
Pada akhirnya, masa depan PSI akan ditentukan oleh satu hal: apakah partai ini mampu keluar dari bayang-bayang patronase dan benar-benar berdiri di atas kekuatan kolektifnya sendiri. Jika iya, PSI bisa menjadi pelopor transformasi partai politik di Indonesia. Tapi jika tidak, PSI hanya akan menjadi catatan tambahan dalam sejarah panjang partai yang gagal tumbuh karena terlalu sibuk mengatur siapa yang berkuasa di dalamnya.

Cecep Hidayat

Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya