Dr. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Insiden kapal wisata bernama Apik yang dilaporkan merusak terumbu karang di perairan Pulau Sebayur Kecil, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur memicu keprihatinan publik.
Pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC) Dr. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menyebut bahwa Pulau Sebayur Kecil selama ini dikenal sebagai salah satu lokasi penyelaman favorit wisatawan domestik maupun mancanegara.
“Maka kerusakan akibat tarikan jangkar Kapal Apik, jelas bukan sebagai tindakan sepele, ini kejahatan serius yang dapat menghapus puluhan tahun pertumbuhan alami karang dan memicu degradasi ekosistem laut dalam jangka panjang. Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas hal ini,” ujar Capt. Hakeng dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Minggu, 2 November 2025.
Lanjut dia, insiden ini juga tidak bisa dipandang hanya sebagai kelalaian nakhoda atau kesalahan teknis semata.
“Kerusakan terumbu karang dalam kawasan konservasi seperti Taman Nasional Komodo adalah pelanggaran ekologis serius. Ini bukan hanya soal satu kapal, tetapi potret kegagalan tata kelola pariwisata bahari yang tidak seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan,” jelasnya.
Masih kata Capt. Hakeng, kerusakan terumbu karang membawa konsekuensi ekologis dan ekonomi sekaligus. Karang merupakan rumah bagi biota-biota laut, pelindung garis pantai dari abrasi, serta daya tarik utama wisata bahari Indonesia.
“Sekali rusak, kita kehilangan puluhan tahun pertumbuhan. Ini bukan hanya kehilangan estetika laut, tapi juga kehilangan sumber kehidupan ikan, tempat bertelur, hingga sumber penghidupan masyarakat lokal,” tegas dia.
Ia juga menyampaikan pandangan kritis yang diarahkan pada lemahnya koordinasi antarinstansi. Taman Nasional Komodo berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), namun aktivitas kapal diatur oleh Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di bawah Kementerian Perhubungan.
Di sisi lain, kawasan ini telah ditetapkan sebagai destinasi wisata super prioritas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sementara itu, perlindungan ekosistem laut berada dalam kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Ini tidak bisa hanya berhenti pada penahanan kapal atau nakhodanya. Empat kementerian harus bergerak bersama serta seirama. Tidak bisa terdapat empat nakhoda dalam satu kapal, bingung nanti kapalnya mau dibawa ke mana? Harus ditentukan siapa yang menjadi penentu kebijakan dan penanggung jawab atas penegakan aturan di sana,” beber dia.
“Negara memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak. Penegakan hukum bukan untuk menghukum pelaku semata, tetapi untuk menyelamatkan integritas lingkungan dan memastikan kekayaan alam kita ini tetap bisa dinikmati oleh anak cucu kita kedepan,” pungkasnya.