Berita

Kolase Joko Widodo dan Prabowo Subianto. (Foto: Dokumentasi RMOL)

Publika

Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Diamnya Prabowo

RABU, 29 OKTOBER 2025 | 20:44 WIB

ISU keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik setelah Roy Suryo mempublikasikan temuan yang disebut berasal dari arsip Komisi Pemilihan Umum. Dalam unggahan dan pernyataannya, ia menyoroti adanya kejanggalan pada dokumen tersebut. Isu yang sempat tenggelam beberapa tahun terakhir kini kembali menghangat, memicu debat di ruang publik dan media sosial.
 
Yang menarik, di tengah hiruk pikuk perdebatan itu, Presiden Prabowo Subianto memilih untuk diam. Tidak ada komentar resmi dari istana, tidak ada klarifikasi maupun pembelaan terbuka. Keheningan ini menimbulkan tanda tanya di banyak kalangan. Apakah sikap diam itu bagian dari strategi politik, atau justru karena isu ini memang bukan datang dari lingkar kekuasaan Prabowo?
 
Bagi sebagian pengamat, diamnya Prabowo bukan tanpa alasan. Pemerintah tampak ingin menjaga jarak dari isu yang bisa memecah fokus publik. Masuk ke dalam pusaran polemik personal dianggap tidak produktif, apalagi jika tidak memiliki dampak langsung terhadap kebijakan negara. Dalam konteks politik jangka panjang, diam bisa berarti strategi. Tidak semua badai perlu dihadapi dengan pernyataan; beberapa cukup dihadapi dengan ketenangan.
 

 
Sementara itu, Roy Suryo kembali menunjukkan keahliannya mengelola momentum. Ia membawa isu yang sudah lama reda ke permukaan dengan kemasan baru. Di tengah sepinya isu besar pasca Pemilu, langkah ini membuat namanya kembali ramai dibicarakan. Di sinilah muncul narasi baru: isu ini tidak semata-mata tentang Roy sebagai figur individu, tetapi bisa jadi ada bayangan dari mantan “big bos” politik yang pernah berada di belakangnya. Figur ini, yang dulu memiliki pengaruh kuat di lingkar elite politik, disebut-sebut masih ingin memanfaatkan Roy untuk menjaga relevansi politik dan menguji reaksi publik sebelum tahun politik berikutnya.
 
Kehadiran bayangan politik semacam ini menambah dimensi baru: isu ijazah Jokowi bukan hanya permainan individu, melainkan potensi manuver terstruktur dari aktor lama yang ingin tetap eksis di panggung nasional. Roy, dalam hal ini, bisa dianggap sebagai ujung tombak yang memunculkan narasi di permukaan, sementara strategi besar tetap dikendalikan oleh mereka yang lebih berpengalaman dan berpengaruh secara historis.
 
Isu ijazah Jokowi tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang semakin menghangat menjelang 2029. Tahun itu mungkin masih empat tahun lagi, tetapi manuver politik sudah mulai terasa. Serangan terhadap legitimasi figur tertentu bisa menjadi cara halus untuk menggeser posisi atau mempersiapkan jalan bagi narasi baru. Mengusik citra Jokowi secara simbolik berarti juga mengguncang figur-figur yang diasosiasikan dengannya, termasuk Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo.
 
Secara hukum dan administratif, keaslian ijazah Jokowi sudah beberapa kali dijelaskan. Pihak kampus dan lembaga penyelenggara pemilu sebelumnya telah menegaskan bahwa dokumen tersebut sah. Namun, di ruang digital, fakta seringkali tidak lebih kuat dari persepsi. Begitu sebuah isu viral, ia hidup dengan logikanya sendiri. Bukan lagi soal benar atau salah, melainkan siapa yang lebih dulu membentuk opini.
 
Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya politik persepsi di Indonesia. Ketika publik lebih tertarik pada sensasi daripada verifikasi, isu lama bisa terus dihidupkan meski telah berkali-kali dibantah. Dalam ruang publik yang cepat berubah, siapa pun bisa menjadi pembentuk narasi -- bahkan tanpa perlu bukti kuat. Itulah sebabnya, isu ijazah kembali mencuat bukan karena ada temuan baru, tapi karena ada ruang kosong yang bisa diisi dengan perdebatan.
 
Sementara itu, diamnya Prabowo dapat dimaknai sebagai sikap untuk tidak memberikan panggung kepada isu yang bisa memperkeruh situasi. Pemerintah tampaknya ingin menjaga stabilitas dan tidak ikut bermain di wilayah yang lebih bersifat personal. Bagi Prabowo, menghadapi tahun-tahun awal pemerintahannya, fokus lebih baik diarahkan pada konsolidasi dan kebijakan ekonomi ketimbang menanggapi klaim yang belum tentu berdasar.
 
Sebaliknya, bagi sebagian pihak di luar lingkar kekuasaan, isu ini bisa menjadi alat untuk menguji reaksi publik dan memanaskan suasana menjelang siklus politik baru. Mereka yang dulu memiliki panggung politik kini mencoba kembali eksis dengan memainkan isu yang mudah menarik perhatian. Roy Suryo menjadi simbol dari kelompok yang ingin tetap relevan di tengah peta kekuasaan baru, sekaligus ujung tombak dari bayangan aktor politik lama yang masih ingin menekan narasi tertentu ke permukaan.
 
Isu ijazah Jokowi kali ini pada akhirnya bukan semata soal dokumen akademik, melainkan cerminan dari medan politik yang semakin cair. Dalam situasi di mana batas antara fakta dan persepsi semakin tipis, setiap isu bisa diubah menjadi senjata politik -- tergantung siapa yang memegang megafonnya.
 
Publik seharusnya belajar dari pengalaman masa lalu. Sebelum ikut menyebarkan klaim, verifikasi menjadi langkah penting. Bukan hanya untuk menjaga kebenaran, tapi juga untuk melindungi kualitas demokrasi. Politik tidak boleh terus-menerus dibangun dari rumor, apalagi ketika negara membutuhkan stabilitas dan arah yang jelas.
 
Pada akhirnya, keheningan Prabowo mungkin justru menjadi pesan tersendiri: tidak semua isu perlu dijawab dengan kata-kata. Kadang, diam adalah bentuk komunikasi paling efektif, terutama ketika yang berbicara hanyalah gema dari panggung lama yang ingin kembali bersinar, dengan Roy Suryo sebagai figur penggerak di permukaan.
 
 
Abdullah Kelrey
Founder Nusa Ina Connection (NIC)


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya