Berita

Luhut Binsar Pandjaitan dan mantan Presiden Joko Widodo saat meninjau kereta cepat Jakarta-Bandung. (Foto: KAI)

Bisnis

Proyek Whoosh Sebenarnya Kepentingan Siapa?

SABTU, 25 OKTOBER 2025 | 06:42 WIB | LAPORAN: DIKI TRIANTO

Pertanyaan besar masih menghantui proyek kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh yang kini meninggalkan utang menggunung terhadap China. Benarkan proyek ini semata-mata demi rakyat?

Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya Universitas Paramadina, Dr Handi Rizsa Idris mempertanyakan kenapa pemerintah era Presiden Joko Widodo sangat berambisi membangun kereta cepat hingga meninggalkan utang menggunung di era Presiden Prabowo Subianto seperti saat ini.

"Sebenarnya ada satu pertanyaan mendasar, proyek itu buat kepentingan siapa, apakah untuk kepentingan masyarakat?" kata Handi Rizsa dalam siaran pers Indef dikutip Sabtu, 25 Oktober 2025.


Bila melihat jarak tempuh dan lokasi stasiun Whoosh, Handi mencermati masyarakat masih dihadapkan banyak pilihan transportasi bahkan lebih murah dari Whoosh.

"Jarak 150 km Jakarta-Bandung bagi masyarakat masih nyaman menggunakan moda transportasi bus atau kereta. Karena (Whoosh) belum menunjukkan tingkat urgensi," jelas Handi.

Selain peruntukan yang masih tanda tanya, proses pengerjaan proyek juga ternyata cukup memberatkan Indonesia.

Joko Widodo yang kala itu menjabat Presiden Indonesia menerbitkan Perpres tahun 2015 menyetujui proposal kereta cepat dari China, bukan Jepang. Saat itu, komposisi saham dimiliki konsorsium BUMN dengan skema business to business.

Saat itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menentang kereta cepat karena alasan tidak visible dan tidak menguntungkan. Namun pada 2016 justru dilakukan groundbreaking dan disepakati anggaran 6,071 miliar Dolar AS.

Dalam perjalanannya, terjadi perubahan-perubahan karena nilai kurs akibat pembiayaan overrun, terjadi selisih Rp21,4 triliun.

"Ini jelas menyulitkan PT KAI dan ketua konsorsium menanggung beban. Konsorsium akhirnya berbagi beban 25 persen, 2,3 triliun, 2,1 triliun sisanya pinjaman China Development Bank 16 triliun. Jebakan utang membuat akumulasi utang menjadi besar," kritiknya.

Beban APBN tak terelakkan karena China meminta mendapatkan jaminan dari APBN, seolah-olah PT KAI gagal bayar dan mendapatkan PMN dari pemerintah 9,5 miliar Dolar AS.

"Jadi ini menunjukkan bagaimana proses transaksi didesain sedemikian rupa 'memaksa dengan skema negara'. Tentu saja sebagai kreditur dibebankan pada PT KAI," tutupnya.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya