Kuasa hukum PT WKM, Rolas Sitinjak. (Foto: Dok. Pribadi)
Inkonsistensi saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kembali menjadi perhatian dalam sidang lanjutan sengketa tambang nikel di Halmahera Timur.
Sidang kasus yang melibatkan PT Waha Karya Mineral (WKM) dan PT Position kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu 1 Oktober 2025.
Pada sidang ini pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi Plaghelmo Seran sebagai Kepala Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah XVI Ambon.
Kuasa hukum PT WKM, Rolas Sitinjak menilai saksi yang dihadirkan pihak JPU ini kerap memberi jawaban berbeda-beda, bahkan dianggap tidak mengetahui fakta dasar mengenai lokasi dan aktivitas di lapangan.
“Majelis hakim sendiri sempat menyindir bahwa saksi ini kadang ingat, kadang lupa. Ini jadi seperti buang-buang waktu saja,” ujar Rolas dalam keterangan tertulis, Kamis 2 September 2025
Dalam persidangan, majelis hakim mempertanyakan apakah saksi pernah melihat langsung tempat kejadian perkara di Halmahera Timur.
“Pertanyaan kami, saudara sudah pernah ke tempat kejadian perkara yang sebenarnya?” tanya hakim.
“Belum pernah,” jawab saksi.
Pengakuan ini memperkuat anggapan bahwa keterangan saksi tidak dapat dijadikan pegangan karena tidak berbasis fakta lapangan.
Sidang juga menyoroti pembayaran hasil hutan kayu dari jalur yang dipakai PT Position untuk pembangunan jalan koridor menuju pabrik.
Menurut Rolas seharusnya setiap kayu yang ditebang memiliki izin jelas dari pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan masuk dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Namun saksi tidak bisa menjelaskan apakah kayu dari jalur tersebut sudah dibayar kepada negara atau tidak.
“Bayangkan, sepanjang jalan 11 kilometer dibuka, tapi saksi tidak tahu apakah kayunya sudah dibayar, apakah izinnya ada atau tidak. Ini jelas berpotensi merugikan negara,” kata Rolas menegaskan.
Ia menambahkan, saksi bahkan tidak bisa memastikan batas kewenangan antara perusahaan pemegang izin hutan dengan PT Position.
“Harusnya saksi tahu, apakah pembukaan jalan itu masuk dalam RKT tahun tertentu, misalnya 2005 atau 2010. Tapi jawabannya tidak jelas, padahal itu inti perkara,” lanjutnya.
Rolas juga menilai, kesaksian yang lemah ini justru memperkuat dugaan adanya perambahan hutan. Apalagi, lebar jalan yang dibuka di lapangan disebut mencapai lebih dari 100 meter, padahal aturan hanya memperbolehkan sekitar 40 meter.
Pertanyaan Rolas itu merujuk pada hasil temuan tim Penegak Hukum (Gakkum) Kehutanan Seksi II Ambon.
“Kalau memang jalan itu dibuka tanpa dasar RKT, maka jelas ada perambahan. Ini salah satu kejahatan kehutanan paling serius setelah korupsi uang negara,” tandasnya.