Berita

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Wonogiri. (Foto: Solopos)

Publika

MBG: Ikhtiar Besar di Tengah Tantangan

SELASA, 30 SEPTEMBER 2025 | 04:45 WIB

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto merupakan salah satu terobosan besar dalam pembangunan manusia Indonesia. Tujuan mulianya sederhana namun mendasar: memastikan anak-anak sekolah memperoleh asupan gizi yang sehat agar mereka dapat tumbuh optimal, cerdas, dan produktif. Di tengah berbagai tantangan bangsa, kebijakan ini hadir sebagai bentuk keberpihakan negara pada generasi masa depan.

Namun, di balik semangat besar tersebut, pelaksanaan MBG di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Dalam beberapa kasus, muncul berita tentang anak-anak yang mengalami keracunan makanan setelah mengonsumsi menu MBG. Peristiwa semacam ini tentu menimbulkan kekhawatiran sekaligus pertanyaan: apakah program sebesar ini bisa dijalankan dengan aman, konsisten, dan berkelanjutan?

Pentingnya Melihat Masalah Sebagai Ujian, Bukan Kegagalan


Kasus keracunan memang tidak bisa diabaikan, tetapi juga tidak boleh membuat kita tergesa-gesa menilai bahwa program MBG gagal. Justru, kejadian-kejadian itu harus dipandang sebagai alarm perbaikan sistem. Setiap kebijakan publik berskala besar pasti menghadapi risiko dalam tahap implementasi. Yang terpenting bukan sekadar menghindari masalah, melainkan bagaimana pemerintah merespons dengan cepat, transparan, dan solutif.

Keracunan makanan bisa terjadi karena beberapa faktor: kualitas bahan baku yang kurang terjaga, cara pengolahan yang tidak higienis, atau distribusi makanan yang tidak sesuai standar. Semua ini sebenarnya dapat dicegah melalui pengawasan ketat, pelatihan tenaga masak, serta standar gizi dan keamanan pangan yang jelas. Dengan pembenahan serius, insiden serupa bisa diminimalkan di masa depan.

Sinergi Pusat dan Daerah

MBG bukan sekadar program pemerintah pusat, melainkan kerja bersama lintas level pemerintahan. Peran pemerintah daerah sangat krusial, terutama dalam hal pengadaan bahan pangan dan pengawasan di lapangan. Jika bahan makanan dipasok dari petani, nelayan, atau peternak lokal, selain memperkuat ekonomi daerah, kualitasnya juga bisa lebih mudah dipantau.

Di sinilah pentingnya sinergi. Pemerintah daerah perlu bekerja sama dengan dinas kesehatan, sekolah, hingga masyarakat. Sistem pelaporan cepat dan keterlibatan orang tua dapat menjadi mekanisme kontrol sosial yang efektif. Dengan begitu, setiap dugaan masalah bisa ditangani sejak dini sebelum berdampak luas.

Momentum Meningkatkan Literasi Gizi

Kasus keracunan makanan dalam program MBG juga bisa menjadi momentum untuk meningkatkan literasi gizi dan higienitas di kalangan masyarakat. Guru, orang tua, bahkan siswa sendiri perlu mendapatkan pemahaman tentang pentingnya makanan sehat, cara menjaga kebersihan, dan dampak buruk pangan yang tercemar.

Dengan demikian, MBG bukan hanya memberi makan, tetapi juga mendidik bangsa tentang bagaimana mengelola makanan dengan benar. Dari dapur sekolah hingga meja makan keluarga, kesadaran gizi akan menular dan menjadi budaya baru yang lebih sehat.

Optimisme yang Harus Dijaga

Program MBG ibarat kapal besar yang sedang berlayar menuju masa depan. Ombak berupa kasus keracunan memang ada, tetapi itu tidak boleh menghentikan perjalanan. Justru dengan memperbaiki navigasi, kapal ini bisa sampai pada tujuannya: membentuk generasi sehat, cerdas, dan kuat menghadapi tantangan global.

Kita harus optimis, karena manfaat MBG jauh lebih besar dibanding risiko yang mungkin muncul. Jika dikelola dengan baik, program ini bukan hanya menyelamatkan anak dari stunting, tetapi juga mendorong pemerataan sosial, memperkuat ekonomi lokal, dan membangun solidaritas bangsa.

Kejadian keracunan dalam pelaksanaan MBG memang menimbulkan kekhawatiran, tetapi tidak boleh membuat kita kehilangan kepercayaan pada tujuan besar program ini. Justru sebaliknya, hal itu menjadi cermin untuk memperbaiki tata kelola, memperketat pengawasan, dan meningkatkan kualitas layanan.

MBG adalah investasi jangka panjang untuk Indonesia. Dengan gizi yang baik, anak-anak kita akan tumbuh menjadi generasi emas 2045: sehat jasmani, kuat mental, dan siap bersaing di dunia. Mari kita jaga optimisme, sekaligus kritis memperbaiki kekurangan, agar program mulia ini benar-benar membawa manfaat nyata bagi seluruh anak bangsa.

Hilma Fanniar Rohman
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya