Berita

Unjuk rasa mahasiswa di Mabes Polri. (Foto: RMOL/Bonfilio Mahendra)

Publika

Menguak Sisi Lain Dalang Demonstrasi

OLEH: JEJEP FALAHUL ALAM*
RABU, 03 SEPTEMBER 2025 | 19:40 WIB

BEBERAPA waktu lalu saya menulis opini tentang biang kerusuhan di negeri ini dan membagikan link artikel itu di media sosial. Isinya ada beberapa faktor penyebab demontrasi yang berujung kerusuhan di Tanah Air.

Krisis kepercayaan terhadap Polri mulai menurun, kesulitan ekonomi masyarakat, keterlibatan pihak asing, posisi oligarki yang mulai diusik, kepercayaan rakyat terhadap wakil rakyat memudar dan faktor lainnya. Itulah poin poin penyebabnya.

Rentetan peristiwa itu diduga efek meledaknya aksi unjuk rasa berujung anarkis di berbagai daerah di Indonesia.


Tak lama, seorang dosen mengirim komentar dengan analisis yang lebih tajam, khususnya dari perspektif politik dan hukum. Anehnya, tulisan itu kini menghilang dari kolom komentar saya di Facebook.

Meski demikian, saya sempat membacanya. Tulisan itu menarik untuk diangkat kembali, karena memberi gambaran tentang bagaimana aksi demonstrasi 25-28 Agustus 2025, hingga 1 September 2025, dibaca bukan sekadar sebagai letupan spontan, melainkan sebagai pertemuan kepentingan yang lebih dalam.

Perang Melawan Mafia

Menurut kajian itu, demonstrasi besar Agustus lalu menjadi ujian politik terbesar di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Aksi yang melibatkan mahasiswa, buruh, kelompok sipil, hingga pihak-pihak yang sulit diidentifikasi, sesungguhnya merupakan akumulasi dari persilangan kepentingan elite, keresahan sosial, bahkan manuver kelompok yang merasa terancam oleh kebijakan pemerintah.

Sedikitnya ada tujuh faktor yang memicu gejolak tersebut. Pertama, gagalnya negosiasi antara Hashim Djojohadikusumo dengan adik Rizal Chalid.

Terbaru, isu ini pun mencuat kepermukaan baik di media mainstream maupun media sosial. Bahkan pernah dilontarkan oleh beberapa menteri di kabinet Prabowo-Gibran.

Kedua, operasi besar Kejaksaan Agung terhadap jaringan mafia migas, sawit, tambang, tanah, hingga cukong narkoba dan judi online. Ketiga, ketidakpuasan keluarga Presiden Jokowi atas posisi Wapres Gibran yang dinilai melemah.

Dugaan Geng Solo dan Oligarki

Faktor lainnya, kebijakan Presiden Prabowo yang dinilai tak selaras dengan kepentingan Presiden ke tujuh Jokowi, hingga adanya kegelisahan "Genk Solo" yang terancam reshuffle.

Termasuk kekecewaan civil society terhadap Prabowo yang dianggap masih berada di bawah bayang-bayang Jokowi, hingga terganggunya kepentingan elit global yang selama ini nyaman menikmati privilese di Indonesia.

Semua itu memicu reaksi dan gerakan perlawanan baik aksi di jalanan maupun pertempuran di media sosial melalui para buzzer.

Faktor inilah yang kemudian berakumulasi melahirkan beragam aksi jalanan, diduga melibatkan sedikitnya lima arus besar gerakan.

Baik itu kaum oligarki maupun elit global yang memanfaatkan jejaring preman, elit politik, oposisi anti-Jokowi, civil society yang mengusung agenda konstitusional, maupun kelompok oportunis yang sekadar mencari keuntungan sesaat di tengah dinamika sosial yang terjadi belakangan ini.

Politik dan Hukum

Dari perspektif politik, demonstrasi ini mengingatkan kita pada pola lama, pertarungan elite yang mencari saluran dalam bentuk mobilisasi massa.

Aksi jalanan bukan lagi sekadar protes, melainkan alat tawar dan bahkan ancaman terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

Sedangkan dari perspektif hukum, gelombang ini muncul justru ketika negara sedang berupaya menegakkan hukum melalui pemberantasan mafia lintas sektor.

Karena itu, aksi massa dapat pula dibaca sebagai bentuk obstruction of justice, upaya menghalangi proses hukum dengan tekanan politik.

Namun, tentu tidak semua kelompok ini bisa digeneralisasi. Ada yang benar-benar menyuarakan aspirasi dan kritik, ada pula yang menunggangi isu demi kepentingan transaksional.

Inilah wajah ganda demonstrasi belakangan ini, antara aspirasi tulus masyarakat sipil dan agenda gelap oligarki-mafia.

Kepentingan Kekuasaan

Jika disederhanakan, peta demonstrasi ini mengerucut pada dua kubu utama. Dalam tulisan itu, pertama, diduga adanya keterlibatan kelompok penguasa yang terdiri dari oligarki, mafia, elite global, dan pejabat yang tersandera kasus.

Bagi mereka, demonstrasi ini alat untuk memaksa kompromi. Jika gagal, skenario delegitimasi hingga lengser dini bisa saja dimainkan.

Kedua, kelompok beda pendapat. Terdiri dari civil society, akademisi, ulama, mahasiswa, dan aktivis yang masih berharap Prabowo mampu melepaskan diri dari cengkeraman oligarki. Mereka menuntut tata kelola negara yang bersih, adil, dan berpihak pada rakyat.

Kedua kubu ini bertolak belakang, yang satu berorientasi pada kekuasaan dan keuntungan, yang lain pada demokrasi dan penegakan hukum.

Dilema Presiden Prabowo

Di sinilah dilema besar Presiden Prabowo Subianto. Jika memilih kompromi dengan kedua kelompok itu, ia mungkin memperoleh stabilitas jangka pendek. Namun harga yang harus dibayar adalah hilangnya legitimasi moral dan runtuhnya cita-cita reformasi hukum.

Sebaliknya, jika mendengar suara "beda pendapat", jalan yang ditempuh akan jauh lebih berat. Risiko diguncang, dilemahkan, bahkan dijatuhkan selalu mengintai.

Namun justru di situlah uji kepemimpinan sejati, apakah seorang presiden berani mengambil risiko demi sejarah, atau memilih aman demi kenyamanan kekuasaan.

Ujian Pemerintahan

Demo besar di akhir Agustus dan awal September bisa disebut sebagai stress test awal bagi pemerintahan Prabowo. Bagaimana mampu menyingkap wajah asli pertarungan politik Indonesia hari ini, bukan sekadar soal perbedaan pandangan, tapi pertarungan antara kepentingan mafia-oligarki melawan cita-cita civil society.

Ujungnya hanya ada dua pilihan yakni bersandar pada salah satu kelompok, atau mendengar suara rakyat. Waktu akan membuktikan, apakah Presiden Prabowo Subianto berani mengambil risiko demi republik, atau memilih jalan aman dengan menggadaikan masa depan bangsa.

Namun demikian, tulisan dan analisa dosen itu baru prediksi, kebenarannya perlu dibuktikan secara data dan fakta. Tapi pada akhirnya di dunia politik, kita tahu satu hal, tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.Sehingga ketika kepentingan yang berbicara maka semua orang akan menghalalkan segala cara.

*Penulis adalah Pengurus ICMI Kabupaten Majalengka Jawa Barat

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya