Berita

Bendera partai politik peserta Pemilu 2024/RMOL

Publika

Partai dan Demokrasi Bukan-bukan

OLEH: MOH SAMSUL ARIFIN*
SELASA, 12 AGUSTUS 2025 | 12:44 WIB

INI bukan cerita fiksi yang menyelinap dalam politik. Tapi politik faktual yang mirip-mirip fiksi. Titik baliknya adalah akomodasi Koalisi Indonesia Maju terhadap partai politik nonpendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sekian bulan sebelum Pilkada Serentak, November 2024.

Nasdem, PKS dan PKB tiba-tiba berubah haluan. Alih-alih mengumumkan diri sebagai barisan parpol yang akan beroposisi di DPR, tiga serangkai itu malah mendukung lawan mereka di Pilpres 2024.

Sebagian partai ini malah mengirim kader mereka ke Kabinet Merah Putih. Terakhir, Nasdem menyatakan sekali lagi mendukung pemerintahan Prabowo lewat Rakernas di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 2025. Kali ini ditambah diksi 'sepenuh hati'.


Kisah ganti haluan tiga partai ini menjelaskan bahwa partai politik di negeri kita cuma siap berkuasa atau berada di eksekutif. Padahal fatsunnya, mereka berada di luar orbit kekuasaan eksekutif (government).

Ada 40,97 juta pemilih atau setara 24,9 suara sah yang memilih Anies-Muhaimin. Di antara 40,97 juta pemilih ini pasti ada juga yang memilih Nasdem, PKS, dan PKB di Pemilu Legislatif. 

Suara 40,97 juta itu jika diartikulasikan dengan kalimat jelas berarti emoh dipimpin Prabowo-Gibran. Demikian juga 27,04 juta suara yang mencoblos Ganjar-Mahfud, tidak sedang menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Gibran. 

Begitulah kenyataannya. Logika awam tak senapas dengan logika elite partai. Di mana urgensi pemilu jika 'ujung bin akhir' dari kisah persaingan dalam pemilu bermuara pada seluruh parpol masuk pemerintahan dan berhak atas kursi di kabinet? 

Kisah ini bukan fenomena gres. Partai Golkar melakukannya di tahun 2004 ketika tampuk kepemimpinan beralih dari Akbar Tandjung ke Jusuf Kalla. Gerindra tahun 2019.

Juga PAN yang dikemudikan Zulkifli Hasan. Dan paling anyar, Partai Demokrat bergabung ke kabinet Joko Widodo pada Februari 2024, setelah sembilan tahun di luar pemerintahan.

Dalam teori pemisahan kekuasaan dikenal Trias Politica, dalam bahasa Yunani berarti politik tiga serangkai. Konsep ini ingin mencegah kekuasaan negara yang absolut. Berhulu pada John Locke, konsep ini dikembangkan oleh Montesquieu (1689-1755). 

Di negeri kita ada tiga cabang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari sana telah terang benderang: Berkuasa itu tak selalu harus berada di government.

DPR sebagai legislator secara langsung sesungguhnya punya fungsi checks and balances terhadap eksekutif. Cuma dalam praktik tidak selalu dijalankan karena parpol-parpol pemilik kursi di DPR menyokong pemerintah, tergabung dalam koalisi pemerintahan.

Kita bisa cek ini sejak era Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo atau Abdurrahman Wahid dan Megawati. Lubangnya MK sebagai kekuasaan kehakiman pernah menyatakan mereka tak perlu diawasi --dalam term checks and balances itu. Sedangkan Mahkamah Agung diawasi oleh Komisi Yudisial.

Karena fungsi checks and balances tadi tidak inheren dijalankan parpol pemilik kursi di DPR, kita butuh institusionalisasi atau pelembagaan oposisi. Harus ada parpol, berapapun jumlahnya, yang mengumumkan diri sebagai oposan.

Dengan deklarasi itu, publik bisa menagih kepada parpol yang bersangkutan, jika tak menjalankan fungsi checks and balances itu.

Setelah Nasdem, PKS dan PKB emoh berada di luar pemerintah atau mendukung pemerintah, harapan publik tersisa kepada PDIP.

Namun, harapan tinggal harapan. Dalam kongres yang dilakukan secara tertutup di Bali, publik patah hati. Partai yang memiliki DNA oposisi ini justru bergerak menjadi partai "bukan-bukan". Tidak oposisi, tidak juga koalisi.

Dalam pidato politik di penutupan Kongres di Bali, Megawati yang kembali didapuk menjadi ketua umum menegaskan, "Sistem presidensial seperti yang kita anut tak kenal istilah oposisi dan koalisi. Demokrasi kita bukan demokrasi blok-blokan kekuasaan". 

Dalam praktik konkret, apakah yang dilakukan PDIP di sepuluh tahun SBY bukan oposisi? Di antara 2004-2014, PDIP pernah menolak kenaikan harga BBM. Itu sikap yang bertolak belakang dengan pemerintah.

Kritik dan suara lain itu amat dibutuhkan oleh publik, sebab eksekutif belum tentu benar atau correct dalam merancang dan memutuskan kebijakan. Penguasa tak selalu benar dan karena itu wajib dikontrol.

Sebelum Kongres VI di Bali, PDIP yang masih abu-abu, tidak menyatakan sebagai oposan. Tapi, di sebagian kecil isu, PDIP tetap kritis. Contohnya dalam isu "penulisan ulang sejarah" yang digawangi Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Setelah negeri kita menganut kembali multipartai di Pemilu 1999, tidak gampang membentuk pemerintahan yang kuat sekaligus melembagakan oposisi. Presiden terpilih harus memperhatikan parpol penyokongnya di DPR.

Jika kekuatan koalisi pendukungnya di Pilpres kurang dari 50 persen, itu mendorongnya untuk mencari kursi tambahan pada parpol lain yang di masa Pilpres adalah seterunya. Inilah yang belum terselesaikan sejak 2004, 2014 dan 2024. 

Masalahnya, presiden terpilih acap kali tergoda mengajak sebanyak mungkin parpol masuk dalam pemerintahannya. Bahkan saat kursi pendukungnya, yakni 50 persen plus satu di DPR, telah terpenuhi. Ini dia yang membuat fungsi balance of power DPR tak berjalan. 

Saat ini, dengan dukungan 100 persen parpol di DPR, siapa yang akan mengontrol pemerintah? Seandainya pun PDIP akan bersikap lantang dan tegas di DPR, publik tak punya kepastian di isu atau topik apa itu akan dilakukan?

Adakah ini 'kutukan' sistem pemerintahan presidensialisme dengan basis multipartai?

*Penulis adalah Pemerhati Politik

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Hukum Bisa Direkayasa tapi Alam Tak Pernah Bohong

Sabtu, 06 Desember 2025 | 22:06

Presiden Prabowo Gelar Ratas Percepatan Pemulihan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 22:04

Pesantren Ekologi Al-Mizan Tanam 1.000 Pohon Lawan Banjir hingga Cuaca Ekstrem

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:58

Taiwan Tuduh China Gelar Operasi Militer di LCS

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:52

ASG-PIK2 Salurkan Permodalan Rp21,4 Miliar untuk 214 Koperasi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:41

Aksi Bersama Bangun Ribuan Meter Jembatan Diganjar Penghargaan Sasaka

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:29

Dua Jembatan Bailey Dipasang, Medan–Banda Aceh akan Terhubung Kembali

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:29

Saling Buka Rahasia, Konflik Elite PBNU Sulit Dipulihkan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:48

Isu 1,6 Juta Hektare Hutan Riau Fitnah Politik terhadap Zulhas

Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:29

Kemensos Dirikan Dapur Produksi 164 Ribu Porsi Makanan di Tiga WIlayah Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 19:55

Selengkapnya