Berita

Presiden Prabowo Subianto/Net

Publika

Strategi di Antara Ombak: Diplomasi Maritim Prabowo dari Natuna ke Ambalat

OLEH: AKBAR AZMI HARDJASASMITA
SABTU, 09 AGUSTUS 2025 | 22:35 WIB

PRABOWO Subianto, yang selama ini melekat dalam citra hard-politics, dengan gestur tegas dan pendekatan realistis yang cenderung koersif menunjukkan evolusi menarik dalam lanskap diplomasi kawasan. 

Meski kariernya dibentuk dalam kultur militer, Prabowo tidak lantas mengedepankan konfrontasi dalam menghadapi isu kedaulatan yang kompleks. 

Sengketa di Laut Natuna Utara misalnya, memiliki akar historis sejak Tiongkok mengajukan klaim nine-dash line yang memotong Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, memicu ketegangan berkepanjangan sejak awal 2010-an. 


Namun, pada akhir tahun 2024, pendekatan Prabowo justru mengejutkan banyak pengamat: alih-alih mengedepankan friksi, ia memprakarsai skema joint development dengan Tiongkok dalam eksplorasi sumber daya alam di wilayah sengketa tersebut—langkah yang mencerminkan diplomasi lunak dengan kalkulasi strategis.

Transformasi gaya serupa juga tercermin dalam penanganan isu Blok Ambalat—wilayah laut di perbatasan Kalimantan Utara dan Sabah, Malaysia, yang sejak awal 2000-an menjadi titik panas antara Jakarta dan Kuala Lumpur. 

Perselisihan mengenai klaim kedaulatan dan hak eksplorasi minyak sempat memuncak, bahkan melibatkan pengerahan kapal perang dari kedua belah pihak. 

Namun, ketegangan yang dulu mendidih kini mulai mereda. Pada 3 Agustus 2025, Prabowo dan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menandatangani kesepakatan untuk mengelola wilayah Blok Ambalat secara bersama melalui skema joint development zone. 

Langkah ini tidak hanya menandai rekonsiliasi geopolitik, tetapi juga memperlihatkan bahwa dominasi regional tak harus ditegaskan melalui unjuk kekuatan, melainkan bisa dicapai lewat diplomasi kolaboratif yang tenang namun penuh perhitungan.

Strategi "Do Nothing"

Strategi lunak yang ditempuh tidak serta-merta menandakan sikap kompromistis tanpa batas. Dalam menghadapi potensi resistensi dari pihak luar terutama bila terdapat upaya sepihak untuk mengganggu atau mengklaim wilayah yang secara de jure berada dalam yurisdiksi Indonesia Pemerintahan Prabowo cenderung mengadopsi pendekatan do-nothing, yakni strategi penahanan aktif melalui diam yang strategis. 

Ini bukan bentuk pasivitas, melainkan kalkulasi geopolitik yang berangkat dari keyakinan terhadap legitimasi hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982, yang secara eksplisit mengakui kedaulatan Indonesia atas ZEE di Laut Natuna Utara dan wilayah Ambalat. Strategi ini menahan diri untuk tidak terpancing, namun tetap kokoh dalam klaim.

Hal ini tercermin dalam respons Prabowo terhadap pernyataan penolakan Menlu Malaysia yang menganggap Blok Ambalat belum layak untuk dijadikan zona pengelolaan bersama. Alih-alih mengkonfrontasi langsung secara diplomatik, Prabowo memilih meresponnya tidak secara resistensi juga namun mempertegas bahwa akan diselesaikan dengan damai. 

Kesepakatan joint development adalah sarana pragmatis untuk mereduksi ketegangan, bukan bentuk pelepasan klaim kedaulatan. Pendekatan diam namun tajam ini mencerminkan bahwa posisi Indonesia tetap tegak: wilayah-wilayah yang secara hukum merupakan milik bangsa adalah harga mati yang tak bisa dinegosiasikan. 

Dengan demikian, joint development diposisikan sebagai alat politik sementara, bukan pengakuan terhadap klaim ganda. Strategi ini memungkinkan Indonesia tetap terlihat kooperatif di mata internasional, sembari memelihara klaim historis dan legalnya secara utuh.

Strategi Keamanan Laut Jangka Menengah

Indonesia harus memperkuat postur kehadiran aktif di wilayah perbatasan maritim, khususnya di zona-zona sengketa yang rawan pelanggaran. 

Peningkatan intensitas patroli laut tidak semata-mata berfungsi sebagai tindakan pengamanan, tetapi juga sebagai instrumen deterrence by presence yakni membentuk realitas simbolik dan faktual bahwa wilayah tersebut secara efektif dikelola dan diawasi oleh negara, sehingga memperkuat posisi Indonesia dalam konteks pengakuan internasional. 

Selain itu, elemen hukum juga perlu diperkuat melalui percepatan dan elaborasi menyeluruh terhadap RUU Keamanan Laut. RUU ini idealnya tidak sekadar menjadi payung hukum bagi koordinasi lintas lembaga, tetapi harus mampu mengonsolidasikan fungsi pengawasan, penegakan hukum, dan respons cepat dalam satu komando operasional maritim yang solid.

Dalam hal ini, penguatan terhadap Indonesian Coast Guard atau Badan Keamanan Laut (Bakamla) menjadi urgen. RUU Keamanan Laut yang ideal harus menetapkan BAKAMLA sebagai satu-satunya otoritas sipil maritim terdepan dengan single law enforcement mandate di laut, menghindari tumpang tindih dengan TNI AL atau lembaga penegak hukum lain yang selama ini kerap menimbulkan friksi di lapangan. 

Sebagai benchmark, Indonesia dapat mencontoh model United States Coast Guard (USCG) yang berada di bawah Department of Homeland Security, namun dapat digerakkan secara militer dalam kondisi darurat. 

USCG mengintegrasikan fungsi keamanan, pencarian dan penyelamatan, serta perlindungan lingkungan laut dalam satu struktur komando yang tanggap, efisien, dan berdaya deteksi tinggi. 

Model serupa juga diterapkan Jepang melalui Japan Coast Guard, yang memiliki otoritas kuat dalam mengelola zona ekonomi eksklusif dan secara aktif melakukan maritime domain awareness di sekitar Kepulauan Senkaku yang disengketakan dengan Tiongkok.

RUU Keamanan Laut Indonesia idealnya juga mencakup pasal yang mewajibkan pembentukan maritime intelligence fusion center, memperkuat sistem radar pesisir, serta menetapkan zona-zona patroli prioritas berbasis risiko geopolitik. 

Selain itu, integrasi data antar instansi dan penguatan kerjasama dengan negara-negara tetangga melalui white shipping agreements perlu menjadi instrumen hukum dalam naskah RUU tersebut. 

Dengan demikian, kedaulatan tidak hanya dipertahankan dengan diplomasi dan simbolisme, tetapi juga ditegakkan melalui kehadiran konkret, sistemik, dan terorganisir di medan laut yang selama ini menjadi arena kompetisi senyap antar negara.

Diplomasi Inisiatif-Konstruktif

Efektivitas kinerja para diplomat Indonesia kini menjadi kunci dalam menjaga konsistensi arah kebijakan luar negeri yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam konteks sengketa wilayah, peran diplomasi tidak hanya bersifat reaktif, melainkan harus konstruktif dan proactive engagement dalam berbagai forum bilateral maupun multilateral. 

Jika hal ini dijalankan secara selaras dengan strategi nasional yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat, maka potensi kekalahan memalukan seperti dalam kasus Sipadan–Ligitan di masa lalu dapat diminimalisir secara signifikan. 

Diplomat bukan sekadar perwakilan politik, melainkan aktor strategis dalam membingkai narasi kedaulatan, memperkuat argumen hukum, dan menciptakan iklim kompromi yang tidak melemahkan posisi Indonesia di mata dunia.

Apalagi, wilayah-wilayah yang disengketakan seperti Laut Natuna Utara dan Blok Ambalat bukan sekadar garis di peta; ia adalah ruang hidup, urat nadi ekonomi, dan benteng sosial bagi masyarakat Indonesia di perbatasan. 

Di balik ladang minyak dan gas yang terkandung di bawahnya, wilayah ini juga menjadi habitat ekonomi nelayan lokal yang menggantungkan hidup pada keberlangsungan akses terhadap laut. 

Oleh karena itu, kebijakan maritim dan diplomasi kedaulatan tidak bisa dilepaskan dari dimensi kesejahteraan. Ketika negara mampu hadir dengan perlindungan hukum, pengawasan keamanan, dan jaminan eksploitasi sumber daya secara adil, maka masyarakat terluar tidak akan merasa sebagai warga kelas dua, melainkan sebagai penjaga kedaulatan pertama di garis depan republik.

Prabowo Subianto sebagai kepala negara masih berada dalam on-the-line position yang strategis antara menjaga prinsip dan membangun pendekatan. Jika fondasi diplomasi formal ini diperkuat oleh inisiatif-inisiatif lain dari berbagai elemen bangsa akademisi, think-tank, parlemen, pelaku industri maritim, hingga masyarakat adat pesisir maka diplomasi Indonesia akan menjadi lebih hidup dan berlapis. 

Keberhasilan mempertahankan kedaulatan tidak hanya diukur dari absennya konflik, tapi dari seberapa banyak keuntungan sosial dan ekonomi yang mampu diberikan negara kepada rakyatnya dari wilayah yang dipertahankan itu. 

Dengan begitu, arah kebijakan Indonesia dalam konteks ini, tidak hanya menjadi benteng kedaulatan, tetapi juga jembatan kesejahteraan yang konkret bagi seluruh rakyat Indonesia.

*Direktur Eksekutif Indonesia South-South Foundation (ISSF)

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

UPDATE

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Akhir Tahun 2025 Tidak Alamiah

Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08

Lagu Natal Abadi, Mariah Carey Pecahkan Rekor Billboard

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46

Wakapolri Kirim 1.500 Personel Tambahan ke Lokasi Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45

BNPB: 92,5 Persen Jalan Nasional Terdampak Bencana Sumatera Sudah Diperbaiki

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09

Penerapan KUHP Baru Menuntut Kesiapan Aparat Penegak Hukum

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37

Ancol dan TMII Diserbu Ribuan Pengunjung Selama Libur Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26

Kebijakan WFA Sukses Dongkrak Sektor Ritel

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56

Dua Warga Pendatang Yahukimo Dianiaya OTK saat Natal, Satu Tewas

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42

21 Wilayah Bencana Sumatera Berstatus Transisi Darurat

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32

Jangan Sampai Aceh jadi Daerah Operasi Militer Gegara Bendera GAM

Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59

Selengkapnya