MENGAWALI Agustus, seperti biasanya seluruh penjuru negeri dipenuhi nuansa merah putih dan bertaburan bendera kebangsaan Indonesia. Hal ini merupakan kewajiban tiap 17 Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan, yang di tahun ini genap usia ke 80 tahun. Namun menariknya, di tengah antusias itu, justru viral bendera lain. Ramai beredar pemasangan bendera serial anime asal Jepang, One Piece, yang mengundang reaksi besar dari banyak kalangan.
Sederet nama politisi nasional ikut menyoroti polemik trend ini. Respons para politisi tersebut umumnya mengaitkan bahwa tindakan warga ini menurunkan marwah bendera perjuangan dan mencederai simbol negara. Lebih lagi, ada pejabat negara yang menyatakan bahwa ini adalah cerminan dari lemahnya pemahaman generasi muda terhadap ideologi Pancasila dan upaya provokasi untuk memecah belah bangsa.
“Karna kemerdekaan tak cukup dirayakan, ia harus dirasakan”. Barangkali inilah nilai yang mau disampaikan para nakama pelaku pemasangan bendera One Piece, tepatnya bendera Jolly Roger, kepada negara yang disambut tudingan negatif oleh pemerintah. Respon pemerintah ini mirip Marine, Pemerintahan Dunia, Gorosei dan Tenryuubito sebagai pihak antagonis yang ketar-ketir tatkala melihat bendera berlatar hitam dengan ikon tengkorak bertopi Jerami itu.
Bagi Nakama, atau yang mengikuti kisah serial komik dan anime One Piece dengan Main Characternya bernama Monkey D. Luffy, menikmati cerita perjuangan menjadi raja bajak laut yang melawan Pemerintahan Dunia sangat menginspirasi. Apalagi narasi dan pengemasan sang penulis dan illustrator, Eiichiro Oda, begitu epic dan seru.
Tapi, bagaimana dengan tuduhan negatif dari para politisi, bahkan terdapat ancaman atau konsekuensi hukum bagi pelaku pemasangan bendera One Piece? Benarkah aksi ini adalah penghinaan terhadap perjuangan kemerdekaan dan dapat memecah belah bangsa? Apa persoalan yang ada dibalik fenomena ini?
Semangat Kemerdekaan, Dimensi Ideologis One Piece dan Pancasila
One Piece merupakan karya fiksi yang sarat nilai. Saking kompleksnya cerita dari 1120an episode yang terkelompokkan dalam belasan arc dan beberapa saga (per Agustus 2025), nilai-nilai yang tersampaikan juga beragam. Namun, sepengetahuan umum, perihal karya fiksi, kita dapat menelusuri konteks situasi dan latar belakang penulis yang melahirkan karya tersebut.
Sensei Eiichira Oda, lahir dan besar di Jepang dengan dinamika sosial, ekonomi, politik dunia yang kompleks. Tak menutup kemungkinan, kisah dan karakter dalam One Piece lahir terinspirasi dari Sejarah dan situasi dunia yang penulis amati. Ia membicarakan rasisme, pentingnya informasi, ketidakadilan tatanan dunia, otoritas yang menindas, perang dan penaklukan, hingga simpati dan kehendak individu untuk bebas melakukan apa yang diinginkan.
Meskipun dapat ditafsir memiliki dimensi ideologi, ekonomi dan politik, One Piece tidak secara tegas menyampaikan nilai utama (Ideologi politik) yang diusung main characternya, Luffy. Namun, pesan individualisme, liberalisme, anti-otoritarianisme begitu mencolok. Di saat yang bersamaan, Luffy dan para kru Topi Jerami menekankan semangat kolektivisme, yaitu ikatan relasi yang disebut nakama.
Oda sensei memilih menggunakan kata persahabatan, kolega, teman akrab (dalam Bahasa jepang: nakama) sebagai sebutan untuk para kru Topi Jerami hingga kemudian menjadi sebutan untuk para penggemar One Piece, daripada memakai kata ‘teman’ atau kenalan biasa (tomodachi = teman, dalam Bahasa Jepang). Penggunaan kata ‘nakama’ secara spesifik menggambarkan bahwa ada tujuan bersama yang mengikat sebuah pertemanan.
Oleh karena itu, para penonton akan lebih merasa relate dan menemukan relevansi nilainya dengan kehidupan nyata karena yang di-higlight adalah perasaan kolektif dan emosi manusia. Ketika perasaan untuk berjuang dan berekspresi bebas yang diikat oleh perasaan bersama di tengah situasi ketidakadilan struktural seperti dikisahkan dalam serial One Piece, nilai ini menemukan kenyataannya pada situasi Indonesia.
Hal inilah yang salah kaprah dibaca oleh para politisi dan pejabat negara. Pasalnya, tuduhan potensi makar dan menurunnya ideologi Pancasila bukan disebabkan oleh nilai yang diusung dalam One Piece. Semangat perlawanan muncul Justru karena kenyataan Indonesia lah yang menyentuh kesadaran kaum muda tentang semangat Kemerdekaan dan cita-cita Pancasila, kemudian beresonansi atau dibangkitkan lagi melalui pesan yang dibawa One Piece.
Semangat kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, anti penjajahan yang mengusung peri- kemanusiaan dan peri-keadilan One Piece seiring-sejalan, satu frekuensi dengan nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Justru, yang membuat cita-cita, fondasi dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara ala Pancasila menjadi melenceng adalah pemimpin dan penyelenggara negara yang korup dan kebijakannya yang tidak pro terhadap rakyat.
One Piece, Simbol Kritik Merah Putih: Pejabat Korup
One Piece menemukan momentumnya sebagai simbol kritik moral yang kreatif. Penggunaan simbol dan Bahasa sebagai media kritik sudah menjadi alternatif masyarakat Indonesia. Misalnya,
penggunaan istilah “Negeri Wakanda” dan “warga +62” yang lazim digunakan untuk mengasosiasikan Indonesia. Hal ini untuk menghindari unsur normatif dalam hukum pidana.
Narasi yang menyudutkan nakama dalam tren ini dengan tudingan bahwa lemahnya pemahaman terhadap ideologi Pancasila, mencederai simbol negara hingga sebagai upaya provokasi untuk memecah belah bangsa adalah cerminan dari lemahnya para pemimpin negara atau para politisi dalam melihat persoalan besarnya.
Tentu nilai historis perjuangan dalam dwiwarna Sang Saka Merah Putih dapat tereduksi akibat kondisi Indonesia yang pemimpinnya korup dan tidak memperhatikan anak muda. Merah Putih tidak lagi terlihat mewakili nilai perjuangannya, tetapi mengasosiasikan keadaan Indonesia hari ini: Korup dan timpang; Negara untuk segelintir orang, bukan untuk semua orang.
Ekspresi dan unek-unek kaum muda yang resah melihat tingkah pejabat, pajak meningkat, pengangguran dan langkanya lapangan kerja, justru terwakili melalui nilai-nilai yang terkandung dalam bendera Jolly Roger. Nilai Libertarian ala Kru Topi Jerami dalam One Piece yang anti terhadap otoritas tumbuh subur dan mengakomodasi kritisisme generasi muda Indonesia.
Keresahan anak muda atas situasi Indonesia dan ekspresi kritisisme melalui simbol bendera Jolly Roger menemukan momentumnya pada peringatan hari Kemerdekaan RI. Bahkan justru diviralkan sendiri oleh pejabat negara yang tidak paham. Pejabatlah yang memecah kisruh ini. Kecolongan para politisi ini menguak betapa kuatnya pengaruh IP asing di Indonesia.
Wibu, demikian pula fan K-Pop, seperti halnya penggemar sepak bola merupakan kekuatan politik yang tersembunyi. Ketika nakama membela diri dan dibela banyak orang, belakangan baru menyusul aksi klarifikasi para politisi tersebut.
Jadi, tuduhan negatif bagi Nakama oleh karena bendera ikoniknya dinaikan bersama sang saka Merah Putih, selain sebagai ekspresi latah dan FOMO (Fear of Missing Out) para pejabat, kelakuan itu menggambarkan ketidak-pahamannya pada Pancasila, ketidak-cintaannya pada negeri dan generasi muda serta dapat dipandang sebagai sikap anti kritik dan usaha membela diri atas ekspresi yang sulit dibendung.
Anime, Manga, Game, Music & Fashion sebagai Soft Power yang Memajukan Jepang
One Piece bukan hanya anime atau komik bocah yang tanpa pesan nilai, ideologi dan politik. Ia telah dibaca dan ditonton sejak generasi millennial Indonesia masih kanak-kanak, remaja dan dewasa. Keberadaannya pun di komik, jagad maya: TV dan internet, hingga merchandise tidak hanya hiburan semata. Ia adalah wujud Soft Power: diplomasi budaya Jepang, serta strategi ekonomi kreatif yang memanfaatkan Indonesia sebagai pasar konsumen.
Soft Power merupakan strategi negara yang berbeda dengan Hard Power. Penggunaan kemampuan untuk mengontrol dan mempengaruhi pikiran serta tindakan pihak lain dengan memanfaatkan atau mengorganisasikan kekuatan dan informasi yang bersifat memaksa disebut Hard Power.
Sementara Soft Power cenderung berkarakter inspirasional, yaitu mempengaruhi pihak lain dengan kekuatan kecerdasan emosional seperti membangun ikatan yang erat melalui karisma, komunikasi persuasif, daya tarik ideologi visioner serta pengaruh budaya yang membuat pihak lain terpengaruh (Joseph S. Nye, 2008).
Ketika Jepang terpuruk pasca perang dingin, melalui Kementerian Luar Negerinya mengeluarkan kebijakan Cool Japan (2002) untuk memperbaiki citra dan karisma bangsanya agar dapat diterima negara lain, terutama dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (awalnya di sektor pariwisata) Jepang.
Bisa kita bayangkan, ketika Jepang tak berkutik oleh ledakan bom Atom tahun 1945, kemudian berkesempatan untuk memperbaiki bangsa melalui investasi di Pendidikan dan teknologi, muncul serial anime dan komik Astro Boy, nama lain untuk manusia atom, menjadi popular. Ide kreatif ini mencitrakan Jepang yang dihancurkan oleh bom atom tetapi punya semangat masa depan.
Kemudian muncul Bushido, semangat samurai, yang bertransformasi dari novel, komik hingga menjadi anime Kenshin dan Gundam menjadi popular dan dikonsumsi hampir seluruh anak-anak Indonesia dan dunia sampai sekarang. Hal ini, dalam konteks soft power, Jepang tidak hanya berkepentingan untuk memperbaiki citra bangsanya semata untuk diplomasi politik internasional, tetapi juga memiliki kepentingan ekonomi.
Ketika strategi ini terlihat efektif, cool Japan kemudian diperluas dan diefektifkan tahun 2008 melalui Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang membuat sektor industri konten Negeri Sakura sukses berat. Kontribusi pemanfaatan Soft Power dengan mengembangkan industri budaya (industri kreatif atau industri konten) terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemajuan Jepang terbilang tidak main-main.
Anime, Manga/Komik, Game, Film, music, Fashion dan sebagainya merupakan industri kreatif yang mendongkrak ekonomi Jepang. Penciptaan lapangan kerja di satu subsektor industri kreatif saja, misal Anime, meningkat. Dibutuhkan banyaknya penulis, ilustrator, animator, pengisi suara, komposer musik, manajemen produksi dan banyak lagi. Dari penciptaan ide kreatif yang menjadi lokomotif, industri lainnya ikut bergerak; Pariwisata, makanan, merchandise dan lain-lain.
Untuk One Piece saja, laporan tahun 2020 hanya di sektor pariwisata, dengan mendirikan patung Luffy, karakter Utama One Piece, pemerintah lokal Jepang memperoleh keuntungan tahunan sekitar 2,6 Miliar Yen dari kunjungan wisatawan ke patung tersebut.
Terjajah IP Asing, Indonesia Belum Berdaulat
One Piece, satu di antara banyaknya Intellectual Property (IP) asal Jepang yang sukses lebih dari 20 tahun menjajah pasar industri kreatif (industri budaya atau industri konten) di Indonesia adalah wujud dari ketidak-merdekaan kebudayaan Nasional kita. Masuknya One Piece dan IP Jepang lainnya di Indonesia bukan terjadi begitu saja.
Di Indonesia, masuknya Soft Power Jepang dimulai dari hadirnya The Japan Foundation yang bergerak di sektor Pendidikan, terutama pertukaran budaya dan Pendidikan bahasa, sejak 1974. Waktu yang tidak jauh dari sentimen mahasiswa Indonesia terhadap Jepang dalam peristiwa Malari 1974. Hal ini penting dicatat di awal, karena terkait cara Jepang men-delivery nilai budayanya melalui translasi Bahasa dan injeksi nilai budaya dalam kemitraan antar negara. Soft Power!
Dari periode tersebut hingga kini, kita mengenal Astro Boy, Ultraman, Gundam, Samurai X, Ninja Hatori, fenomena kawaii melalui Hello Kitty, kemudian Dragon Ball, Shin-can, Doraemon, Naruto dan lainnya adalah wujud dari kebijakan Soft Power pemerintah Jepang yang secara sadar dan serius menempatkan industri kreatif sebagai posisi strategis, hingga sangat dominan dan ekspansif, termasuk sampai ke Indonesia.
Generasi Millenial, bahkan Gen X Indonesia adalah segmen pasar industri konten Jepang yang sudah terpapar lama. Belum lagi kekuatan soft Power Barat (Eropa dan Amerika), serta Cina, India dan Korea. Oleh karenanya, ide dan imajinasi generasi muda yang terinfeksi nilai-nilai asing adalah wajar. Kita telah dijajah sekian lama oleh karena negara tidak punya dukungan terhadap industri konten nasional, alih-alih memproteksi konten asing. Negaralah yang membuka keran penjajahan ini, selama puluhan tahun!
Dalam keadaan sejak dulu Indonesia yang tidak punya concern terhadap industri budaya dengan memaksimalkan strategi Soft Power, absennya negara dalam melindungi sampai mempromosikan kekayaan intelektual (IP) lokal yang linkage dengan lintas sektor seperti yang dilakukan Jepang, padahal kita tidak kekurangan modal kebudayaan, jangan heran jika kita terpapar dan terjajah IP asing sampai sekarang.
Satu hal lagi yang amat disayangkan, terkait bagaimana negara memperlakukan IP asing sangat istimewa, sementara abai terhadap IP Nasionalnya. Bukankah ini lebih mengangkat “bendera” negara lain ketimbang “bendera” nasional yang dijahit anak bangsa sendiri? Kita tahu bahwa wakil Presiden merupakan representasi generasi milenial. Mestinya persoalan ini menjadi perhatian khusus beliau. Apalagi, simbol-simbol IP industri konten (One Piece dan Naruto) pernah dia gunakan dalam kampanyenya untuk meraup suara millennial.
Tapi, nampaknya wakil presiden millennial kita sudah AFK (Away from Keyboard). Ketidakpedulian ini terlihat di sektor industri game, sektor industri kreatif yang paling diminati anak muda. Berdasarkan catatan Kominfo di tahun 2023 terdapat 183 juta pemain game di Indonesia, di mana 88 persennya merupakan generasi Milenial, Gen Z dan Gen Alpha. Industri game sendiri menghasilkan transaksi 31 triliun di tahun 2022, hampir 10 kali lipat industri film nasional.
Bahkan, meski telah ada upaya yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2024 tentang Percepatan Pengembangan Industri Gim Nasional, belum terlihat dampak majunya. Mirisnya, justru produk Gim asing, Mobile Legend, yang dipromosikan dalam negeri, bahkan menggunakan APBN dan APBD, hingga masuk dalam kurikulum Pendidikan di sekolah. Sementara Gim Nasional seperti Lokapala dan sebagainya tidak mendapat perhatian. Situasi yang mirip kolonialisme yang menggunakan tangan-tangan feodal untuk menindas rakyatnya secara halus.
Singkatnya, fenomena One Piece vs Merah Putih adalah cerminan Indonesia masih terjajah dan belum berdaulat atas kebudayaan. Krisis kebudayaan ini bukan karena rakyat dan anak muda yang tidak nasionalis, tetapi krisis budaya justru karena pemimpin dan penyelenggara negara yang korup dan tidak patriotik, serta yang terpenting, kita tidak memiliki strategi Soft Power dan abai terhadap kebudayaan sebagai arah Pembangunan Nasional. Merdeka!
*Penulis adalah penggiat literasi, Culture Enthusiast, Komite Penelitian dan Pengembangan, Pengurus Pusat Aliansi Budaya Rakyat (ABRA)