Berita

Dok Gambar: Ir. Ansyori Djausal, M.T. Gelar Suttan Sepahit Lidah Kebuwaian/Ist

Publika

Membuka Kotak Pandora Sengkarut Tanah Perkebunan di Lampung

MINGGU, 27 JULI 2025 | 04:41 WIB

"BELUM Pernah Ada Indonesia Sebelum Ada Indonesia" (Hamzah). Memaparkan persoalan tanah di Indonesia, bukanlah persoalan yang rumit sepanjang Fakta Hukum atas tanah tersebut dijelaskan dengan kejujuran dan political will yang baik. Dalam ilmu hukum dikenal dengan itikad baik (goede trouw).

Lalu bagaimana menjelaskan persoalan tanah dimaksud, khususnya persoalan tanah-tanah perkebunan (karet, tebu, sawit, dan nanas) di Indonesia, khususnya di Sumatera dalam hal ini mulai dari Sumatera Utara sampai dengan Lampung dan lebih khususnya lagi di Provinsi Lampung.

Kejujuran Pertama, belum pernah ada indonesia sebelum ada Indonesia dan ketika Republik Indonesia ini berdiri para Pemimpin Bangsa (Founding Father) telah mengetahui bahwa persoalan pertama yang harus diselesaikan adalah persoalan tanah, karena para founding father telah belajar dari Amerika dengan Negara Serikatnya dan Australia dengan Negara Federalnya, bahwa Amerika untuk mendirikan negara United State Amerika (USA) dalam penguasaan tanahnya mereka melakukan Genosida kepada Suku Indian (kita ingat saat kecil kita nonton film Cowboy lawan Suku Indian) cerita ini menunjukkan pula kepada kita bahwa ada perlawanan dari suku asli pemilik lahan untuk mempertahankan tanahnya; 


Lalu pembelajaran berikutnya terhadap penguasaan tanah di Negara yang kita kenal dengan Australia utk mendirikan Negara Australia mencontoh Amerika melakukan Genosida kepada Suku Aborigin.

Belajar dari sinilah maka pendiri negara menyatukan pikiran bahwa Republik ini tidak mau melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan USA dan Australia. Setelah NKRI berdiri maka undang-undang pertama dan monumental dibuat adalah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) jelas disitu cerdasnya pendiri negara mengatakan bumi, air kekayaan alam dikuasai oleh negara dan bukan memiliki. Jadi ketika jalanan pun mau disertifikatkan oleh Gubernur Lampung, Saya kebingungan siapalah yang ngasih masukan ini karena ini sesat dan menyesatkan.

Kejujuran Kedua, terhadap tanah negeri ini/Nusantara, yang saat itu Belanda sebagai negara penjajah (lewat proses RBg, RR, IS) tidak pernah memiliki tanah, bahkan ketika mereka perlu tanah utk perkebunan yang hasilnya untuk membangun Nederland mereka malah sewa kepada masyarakat adat yang kita mengenalnya dengan hak erfpacht (Baca: Pasal III ayat (1) UUPA).

Tapi anehnya ini sudah hampir 80 tahun Indonesia merdeka Hak Erfpacht belum pernah dikembalikan ke pemilik sahnya yaitu masyarakat adat Lampung khususnya. Bahkan terjadi pembodohan publik Masyarakat Adat Lampung diminta bukti kepemilikan surat atas tanah mereka, yang ini merupakan membalikkan Logika Hukum yang benar-benar tidak logis, karena mereka (Baca: Masyarakat Adat) menikah saja tidak ada surat nikahnya, lalu apakah mau dikatakan bahwa perkawinannya tidak sah? Dan anak yang dilahirkannya menjadi anak “haram”? Itulah yang dilakukan oleh Penjajah Belanda, dengan membuat “Perjanjian Sewa Atas Tanah (erfpacht)”.

Menilik fakta hukum yang demikianlah seharusnya negara dalam hal ini Pemerintah baik di Pusat maupun Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), melakukan hal yang sama seperti Belanda/Hindia Belanda memperlakukan Masyarakat Adat dengan tanahnya. 

Kejujuran Ketiga, Negara mengatakan Bahwa Perusahaan Belanda pasca Indonesia Merdeka itu telah di Nasionalisasikan (Nanti kita bicara PT. PTPN), tapi yang harus dibersihkan jalan berpikir konstruksi hukumnya bahwa yang dinasionalisasikan itu perusahaannya bukan tanahnya.

Kejujuran Keempat, mari kita luruskan bersama pemikiran dan atau cara tindak pemimpin di Lampung (Gubernur/Bupati/Walikota), mungkin masih ingat betapa dulu Kakek/Datuk/Ayah kita mengeluh bahkan berteriak “Kapanlah gham Lampung sijo Gubernur dan Bupati Jimo Lappung sijo laju jawo2 jugo (Yasir Hadibroto, Masno Asmono dll)”, yang tentunya ini memiliki harapan besar kepada “Penduduk Asli Lampung” kelak bisa menjadi Pemimpin di Tanah Kelahirannya Sendiri dengan harapan kalau dia Orang Lampung diharapkan bisa memikirkan lampung secara keseluruhan.

Namun harapan dan doa itu terkabul sudah bahkan sekarang sudah orang Lampung semua bahkan Sudah 2-3 kali kok membiarkan ide ukur ulang HGU tanpa batas tersebut. Seharusnya kembalikan dulu hak erfpacht tanah hak ulayat ituuuu atau renegosiasi/adendum dulu hak atas tanah itu pada pemiliknya, yaitu masyarakat adat bukan malah ditindihnya dengan HPL, HGU, HGB hal ini jelas merupakan Tindakan yang amat keliru bahkan dalam ilmu hukum disebut “Penyalahgunaan Keadaan” yang jika hal ini benar maka dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad).

Terakhir persoalan ukur ulang tanah PT. SGC hanyalah pintu masuk untuk para pemimpin gubernur/bupati/walikota bahkan begara ini (Baca Pemerintah Pusat) untuk menyelesaikan persoalan tanah di propinsi Lampung secara jujur dan komprehensif, termasuk didalamnya perusahaan-perusahaan pemegang HGU/HPL/HGB/erfpacht di Lampung seperti PT. PTPN; PT Gunung Madu Plantation (GMP), PT. Gunung Aji Jaya, PT Tunas Baru Lampung Tbk; PT Bumi Sari Maju Sukses inipun tidak lebih baik dari SGC.

Mengapa ini Saya katakan karena kita menyaksikan bersama betapa yang katanya PTPN pemegang HGU/HPL/hak erfpacht memberikan cuma-cuma kepada pemerintah provinsi dan atau kabupaten “Hak Atas Tanahnya”, untuk Kota Baru, lalu di Kabupaten Way Kanan bagaimana “Tumpang Tindih Hak Atas Tanah itu terjadi, seperti orang tersesat di jalan yang benar, ada PT PTPN menggugat perusahaan yang mengambil lahannya sekaligus Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai pemberi HGU baru kepada perusahaan Lainnya seperti PT. Palm Lampung Persada (PLP), PT. Bumi Madu Mandiri, PT. Indo Lampung Perkasa. 
Semoga kita bisa memahami ini semua dengan baik.  Wallahhuallam Bissawab.

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Hukum Bisa Direkayasa tapi Alam Tak Pernah Bohong

Sabtu, 06 Desember 2025 | 22:06

Presiden Prabowo Gelar Ratas Percepatan Pemulihan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 22:04

Pesantren Ekologi Al-Mizan Tanam 1.000 Pohon Lawan Banjir hingga Cuaca Ekstrem

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:58

Taiwan Tuduh China Gelar Operasi Militer di LCS

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:52

ASG-PIK2 Salurkan Permodalan Rp21,4 Miliar untuk 214 Koperasi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:41

Aksi Bersama Bangun Ribuan Meter Jembatan Diganjar Penghargaan Sasaka

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:29

Dua Jembatan Bailey Dipasang, Medan–Banda Aceh akan Terhubung Kembali

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:29

Saling Buka Rahasia, Konflik Elite PBNU Sulit Dipulihkan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:48

Isu 1,6 Juta Hektare Hutan Riau Fitnah Politik terhadap Zulhas

Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:29

Kemensos Dirikan Dapur Produksi 164 Ribu Porsi Makanan di Tiga WIlayah Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 19:55

Selengkapnya