PUBLIK saat ini mungkin hanya mengenal Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI) secara luas sebagai sebuah lembaga keuangan berbentuk perbankan. Tidak banyak yang mengenal, bahkan cenderung melupakan sejarah berdirinya organisasi ini dahulu diera perjuangan menentang sistem kapitalisme-liberalisme yang menghasilkan kolonialisme Belanda.
Kedua lembaga keuangan perbankan inilah cikal bakal awalnya adalah untuk menolong diri sendiri (self help) para anggota yang terjerat rentenir Belanda dan merupakan sebuah entitas Koperasi. Lahirnya koperasi ini tidak bisa dilepaskan dari sumbangan tiga (3) orang yang dapat dianggap sebagai pelopornya, yaitu Mohammad Hatta (Bung Hatta), Raden Bei Aria Wirjaatmadja dan Raden Margono Djojohadikoesoemo (kakek Presiden RI Prabowo Subianto).
Raden Bei Aria Wirjaatmadja, adalah sosok yang memulai sejarah BRI di Purwokerto pada 16 Desember 1895 dengan mendirikan De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden. Lembaga ini ditujukan untuk mengelola dan menyalurkan dana masjid kepada masyarakat dengan skema yang sederhana. Organisasi ini kemudian beberapa kali mengubah nama menjadi Hulp en Spaarbank der Inlandshe Bestuurs Ambtenareen, De Poerwokertosche Hulp Spaar-en Landbouw Credietbank atau Volksbank, Centrale Kas Voor Volkscredietwezen Algemene, Algemene Volkscredietbank (AVB). Lalu, di masa pendudukan Jepang, nama organisasi inipun diubah menjadi Bank Rakjat (Shomingink, Kunrei-shiki: Syomin Ginko).
Sementara itu, Raden Margono Djojohadikoesoemo merupakan sosok yang berperan penting bagi pendirian BNI pada tanggal 5 Juli 1946. Pada awalnya, BNI adalah sebuah bank sentral sekaligus bank umum yang lahir dengan semangat perjuangan yang juga sama diresmikan pemerintah di Yogyakarta pada 17 Agustus 1946. Raden Margono Djojohadikoesoemo ditetapkan sebagai direktur utama BNI yang pertama dan Mr. Abdul Karim sebagai sekretarisnya. Pada tahun 1949, berdasar kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), status BNI sebagai bank sentral dicabut dan diserahkan kepada De Javasche Bank sehingga bank ini hanya menjadi bank umum saja.
Sebagai Bapak Koperasi Indonesia, tidak ada yang tak mengenal almarhum Bung Hatta yang sekaligus salah seorang proklamator kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bung Hatta-lah yang memiliki keyakinan kuat bahwa koperasi adalah solusi bagi permasalahan ekonomi yang dihadapi bangsa pasca kemerdekaan. Meskipun tidak bergerak pada tingkat praksis, tetapi kontribusinya adalah merumuskan Pasal 33 UUD 1945, yang menjadi landasan konstitusional bagi pengembangan koperasi di Indonesia.
Dukungan Pendanaan Swasembada Pangan
Menurut pandangannya, Koperasi merupakan soko guru bagi perekonomian nasional yang organisasinya didirikan oleh anggota untuk memenuhi kebutuhan bersama. Koperasi bukan hanya mencari keuntungan, tetapi juga berupaya meningkatkan kesejahteraan anggotanya dan masyarakat sekitar. Maka itu, pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada bulan Februari 1946, pemerintah Indonesia menetapkan BRI dan BNI sebagai sebuah bank pemerintah. Pada tahun 1960, pemerintah menggabungkan BRI ke dalam Bank Koperasi, Tani dan Nelayan (BKTN). Sedangkan, BNI pada tahun 1950 ditetapkan sebagai sebuah bank devisa dan membuka kantor cabang pertamanya di luar negeri, yaitu di Singapura.
Atas dasar kesejarahan tiga (3) pelopor ekonomi bangsa inilah, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus mengembalikan khittah BRI dan BNI sebagai lembaga keuangan berbadan hukum Koperasi. Atau paling tidak layanan fasilitas melalui produk kebijakannya agar terjadi pemihakan dan perlakuan setara bagi pengembangan koperasi dan korporasi. Kesetaraan ini penting dalam rangka mendukung visi-misi Asta Cita ke-3 khususnya bagi pengembangan agro-maritim industri di sentra produksi melalui peran aktif koperasi.
Mengapa harus entitas ekonomi dan sosial Koperasi yang harus menjadi pelaku utama dalam mencapai sasaran swasembada pangan? Tentu sangat banyak alasan yang bisa diuraikan dalam mendukungnya, baik berdasar Ideologi negara Pancasila, konstitusi UUD 1945 (utamanya Pasal 33 UUD 1945) maupun dari praktek terbaik (best practices) diera Orde Baru (Orba) apalagi Koperasi menjadi misi ke-3 Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Yang lebih relevan lagi, yaitu ketahanan ekonomi Koperasi dan kontribusinya secara langsung bagi kesejahteraan anggota apabila prinsip-prinsipnya dijalankan dengan baik dan benar. Hal mana telah ditunjukkan prakteknya oleh BRI dan BNI ketika pertama kali didirikan oleh dua (2) orang Raden di Jawa Tengah dan secara konsepsi konstitusi dirumuskan sosok dari ranah Minangkabau.
Selain itu, kontribusi secara makro ekonomi tampak nyata selama masa Orba yang mana capaian kinerja pertumbuhan mencapai rata-rata 7 persen per tahun. Hal ini dicapai dengan menerapkan perencanaan strategis pembangunan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun atau dikenal dengan singkatan REPELITA. Berbagai catatan kinerja penting telah ditorehkan dalam pembangunan ekonomi bangsa dan negara melalui kontribusi sektor pertanian melalui entitas ekonomi Koperasi Unit Desa (KUD) serta minyak bumi dan dan (migas) oleh BUMN Pertamina dan PLN. Sinergitas antara BUMN dan Koperasi juga harus segera diwujudkan yang selama ini tidak berjalan agar implementasi Pasal 33 konsisten.
Selama kepemimpinan Presiden almarhum Soeharto banyak prestasi yang diakui dunia internasional, diantaranya Bank Dunia (the World Bank) mencatat lima kali pertumbuhan ekonomi Indonesia berada ditingkat 8 persen atau lebih. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia mencapai 10,92 persen pada tahun 1968. Setelah itu, Indonesia kembali mencapai pertumbuhan ekonomi terbaik di kisaran lebih dari 8 persen itu pada tahun 1973 (8,1 persen), 1977 (8,3 persen), 1980 (10 persen), dan 1995 (8,2 persen). Bahkan, capaian disektor pertanian melalui swasembada beras turut diakui oleh organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) pada Konferensi ke-23 FAO di Roma, Italia,14 November 1985.
Pemerintahan Orba dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto telah membuktikan kinerja pertumbuhan dan pemerataan ekonomi melalui penegakkan ekonomi konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) relatif baik. Keberadaan (eksistensi) Koperasi jelas bertujuan memberikan banyak manfaat dan kesejahteraan bagi anggotanya. Hanya melalui badan hukum koperasi lah pembangunan sektor agro-maritim akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta pemerataan hasil-hasilnya dari hulu ke hilir untuk mendukung sasaran swasembada pangan (melalui keragaman konsumsi pangan) akan dapat dicapai.
Jelaslah sudah, bahwa perkembangan dan kemajuan BRI dan BNI yang pendiriannya bermula dari semangat menolong diri sendiri (self help) tidak bisa dilepaskan dari sumbangan tiga pelopor koperasi tersebut. Untuk itulah, peran penting sekaligus strategisnya sangat dibutuhkan dalam mendukung skema pendanaan koperasi. Inilah alasan mendasar dan mendesak (urgent) bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan perlakuan istimewa (previllege) bagi pengembangan koperasi di Indonesia melalui dukungan pendanaan lembaga perbankan BRI dan BNI ini. Sebab, BRI dan BNI pada awal kehadirannya dalam membantu rakyat merupakan sebuah entitas koperasi dan bukan korporasi!
*Penulis adalah Ekonom Konstitusi
(Sebuah Catatan Sejarah Utama Memperingati HUT Koperasi ke-78 tahun)