PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengamanatkan pemisahan jadwal pemilu nasional dari pemilu daerah, dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun, patutlah kita telaah secara mendalam. Argumentasi yang melandasi putusan ini, yakni bahwa pemilu serentak lima kotak telah menciptakan kebingungan pemilih, berujung pada tingginya suara tidak sah, dan pada gilirannya menggerus kualitas kedaulatan rakyat, nampak prematur.
Justru, observasi empiris, analisa politik ilimiah, dan multifaktor lain mengisyaratkan suatu realitas yang berbeda, bahkan mengindikasikan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia menunjukkan daya tahan adaptif yang mungkin justru terancam oleh format elektoral yang baru.
Partisipasi Pemilih yang Meningkat: Konfirmasi Kualitas Kedaulatan yang Sebenarnya
Klaim perihal tergerusnya kedaulatan rakyat yang menjadi dasar putusan Mahkamah dapat dibenturkan secara fundamental dengan data partisipasi pemilih. Apabila sistem pemilu serentak lima kotak memang demikian membingungkan dan mereduksi esensi kedaulatan rakyat, niscaya tingkat partisipasi akan anjlok secara drastis.
Akan tetapi, data justru memperlihatkan fenomena yang kontradiktif, yakni, pada Pemilu 2019, yang merupakan pelaksanaan perdana pemilu serentak lima kotak, tingkat partisipasi pemilih mencapai 81,97 persen. Angka itu mencatat kenaikan signifikan dibandingkan Pemilu 2014. Demikian pula, pada Pemilu 2024, meskipun keluhan perihal kompleksitas sempat mengemuka, tingkat partisipasi diperkirakan tetap tinggi atau bahkan melampaui capaian 2019, dengan persentase suara sah mencapai 89,2 persen dari total suara.
Peningkatan partisipasi di tengah kompleksitas sistem itu sendiri menjadi bukti nyata bahwa kualitas kedaulatan rakyat tidak serta-merta merosot. Sebaliknya, hal tersebut menggarisbawahi adanya kemampuan adaptasi dan resiliensi yang melekat pada pemilih Indonesia. Masyarakat tidak serta-merta "jenuh" atau "bingung" hingga enggan menunaikan hak konstitusionalnya. Partisipasi yang sedemikian tinggi justru menandakan kualitas demokrasi yang berdaya tahan, bukan yang terkikis.
Dalam ranah teori politik kontemporer, peningkatan partisipasi politik kuantitatif acapkali berbanding lurus dengan peningkatan kualitas demokrasi. Sebagaimana diungkapkan Robert Dahl (1971) dalam Polyarchy: Participation and Opposition, semakin luas dan intens partisipasi massa dalam pemilihan dan proses politik, semakin mendekati suatu sistem pada konsep poliarhi, yang merupakan representasi demokrasi yang berfungsi dan stabil. Partisipasi yang meluas memperkukuh akuntabilitas pemerintah dan responsivitas terhadap kehendak rakyat.
Peningkatan partisipasi pemilih yang tercatat juga secara signifikan memperkuat legitimasi demokratis sistem elektoral. Berdasarkan kerangka David Beetham (1991) dalam The Legitimation of Power, suatu kekuasaan dianggap sah tidak semata karena legalitasnya, melainkan pula karena kemampuannya untuk dibenarkan (justifiable) dan adanya ekspresi persetujuan (expressed consent) dari rakyat yang diatur.
Tingginya partisipasi dalam pemilu serentak secara eksplisit adalah bentuk "ekspresi persetujuan" ini. Hal itu berarti bahwa rakyat, melalui partisipasi aktifnya, secara sukarela memberikan legitimasi dan menerima otoritas yang dihasilkan dari proses pemilu, terlepas dari kompleksitasnya. Dengan demikian, klaim bahwa kedaulatan rakyat terkikis menjadi sulit dipertahankan, sebab kedaulatan itu sendiri diekspresikan dan dikukuhkan melalui partisipasi dan persetujuan tersebut.
Suara Tidak Sah Adalah Fenomena Multidimensional
Perihal tingginya suara tidak sah yang kerap diajukan sebagai bukti kebingungan pemilih dan penurunan kualitas kedaulatan rakyat, perlu pula ditelaah lebih jauh. Data menunjukkan persentase suara tidak sah untuk Pemilu DPR RI yang tinggi juga terjadi pada Pemilu 2009 (14,4 persen) dan 2014 (10,46 persen), suatu periode di mana sistem pemilu belum sepenuhnya serentak lima kotak seperti yang diterapkan pada 2019 dan 2024. Fakta itu menegaskan bahwa masalah suara tidak sah bersifat kompleks dan tidak dapat secara tunggal diatribusikan pada keserentakan pemilu.
Suara tidak sah sesungguhnya dapat menjadi cerminan dari berbagai faktor multidimensional, antara lain adalah suatu bentuk ekspresi protes atau ketidakpuasan pemilih terhadap pilihan kandidat yang tersedia atau sistem politik secara umum, alih-alih murni kebingungan; faktor teknis dan sosialisasi yang kurang optimal, seperti kesalahan teknis dalam pencoblosan atau desain surat suara yang perlu disempurnakan; atau bahkan pengaruh tingkat pendidikan pemilih yang belum merata, yang membutuhkan edukasi politik berkelanjutan. Lebih jauh, faktor ketidakbecusan penyelenggara pemilu tahun 2024 selalu membayangi.
Ancaman 'Voter Fatigue' di Masa Depan
Ironisnya, putusan Mahkamah yang mengamanatkan pemisahan jadwal pemilu dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun justru berpotensi menimbulkan serangkaian konsekuensi negatif yang dapat secara nyata mengikis kedaulatan rakyat di kemudian hari.
Pertama, adanya potensi kelelahan pemilih (voter fatigue) yang lebih parah. Rakyat akan dihadapkan pada siklus politik yang nyaris tanpa jeda, dengan dua momen pemilu besar yang terpisah dalam waktu relatif singkat. Hal itu akan menimbulkan beban ganda dan potensi kelelahan pemilih yang signifikan. Sejalan dengan Rational Choice Theory yang dijelaskan Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy, pemilih melakukan analisis biaya-manfaat dalam berpartisipasi.
Jika 'biaya' partisipasi, yang mencakup waktu, tenaga, dan upaya mental untuk memahami isu serta kandidat dalam dua gelombang pemilu yang berbeda, menjadi terlampau tinggi dibandingkan dengan manfaat yang dirasakan, dapat dipastikan akan mengurangi motivasi mereka untuk berpartisipasi. Kelelahan itu sangat mungkin berujung pada penurunan tingkat partisipasi dalam salah satu atau bahkan kedua gelombang pemilu di masa depan.
Kedua, terjadi disorientasi dan fragmentasi isu politik. Pemisahan jadwal pemilu berpotensi memecah fokus isu-isu politik. Pemilih mungkin akan kesulitan mengaitkan visi pembangunan secara menyeluruh antara tingkat pusat dan daerah, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pilihan mereka kurang optimal dan mereduksi kualitas kedaulatan rakyat.
Ketiga, muncul inefisiensi anggaran dan sumber daya yang sangat besar. Penyelenggaraan dua gelombang pemilu terpisah akan menuntut alokasi anggaran dan sumber daya yang jauh lebih besar serta berulang. Anggaran yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pelayanan publik atau program kesejahteraan rakyat, justru akan tersedot untuk membiayai siklus pemilu yang berulang, yang merupakan bentuk pengikisan kedaulatan rakyat sebab sumber daya yang seharusnya untuk kemaslahatan umum terpakai untuk proses elektoral yang berlebihan.
Keempat, terdapat potensi kekosongan jabatan dan ketidakpastian pemerintahan. Putusan tersebut menciptakan kebutuhan akan "rekayasa konstitusional" untuk masa transisi jabatan kepala daerah dan anggota DPRD , yang diakui ahli dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan kompleksitas baru. Ketidakpastian dan potensi kekosongan jabatan itu dapat memicu ketidakstabilan politik dan pemerintahan, yang mengikis kepercayaan rakyat terhadap institusi demokrasi dan pada akhirnya, kedaulatan rakyat itu sendiri.
Dengan demikian, data partisipasi pemilih yang meningkat pada pemilu serentak justru menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat tidak serta-merta melemah. Argumen yang paling rasional adalah bahwa upaya untuk mengubah format secara drastis semestinya didasarkan pada bukti yang lebih kokoh dan pertimbangan dampak yang lebih komprehensif terhadap keberlanjutan demokrasi dan efisiensi negara, bukan menciptakan kompleksitas baru yang justru berpotensi mengikis kedaulatan rakyat.
*Penulis adalah Peneliti Indonesia Democratic (IDE) Center