KOPERASI di Indonesia jumlahnya saat ini kurang lebih 207 ribu. Dari jumlah koperasi yang ada ini selain didominasi koperasi papan nama, juga koperasi palsu alias abal abal. Sehingga rusaklah citra koperasi di Indonesia. Sayangnya, dari kebanyakan koperasi papan nama dan abal abal itu justru kemunculanya lebih banyak diciptakan oleh pemerintah atau dimotivasi oleh pemerintah serta karena lemahnya regulasi koperasi.
Angka 207 ribu koperasi tersebut dihitung dari perkiraan data resmi terakhir yang diterbitkan Kemenkop sebanyak 127.846 koperasi ditambah kurang lebih 80 ribu Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang didirikan dalam tiga bulan terakhir atas dasar kemauan pemerintah yang didasarkan pada Instruksi Presiden (Inpres) nomor 9 tahun 2025.
Sebelum ditambah jumlah Kopdes, koperasi yang memiliki Nomor Induk Koperasi (NIK) hanya sebanyak 41.231 koperasi. Ini artinya hanya sebesar 32 persen dari jumlah koperasi yang ada. Sementara itu koperasi yang melakukan aktifitas Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai indikator keaktifan koperasi, hanya 48.033 atau hanya sebanyak 37,5 persen.
Hal tersebut menggambarkan bahwa jumlah koperasi yang menunjukkan keaktifkan organisasi rata rata hanya sekitar 35 persen. Ada 65 persen atau 83.033 koperasi yang sesungguhnya tidak lagi aktif.
Dihitung secara matematis, berdasarkan jumlah koperasi yang aktif maka jumlah anggota individu koperasi yang diklaim sebanyak 27.477.335 orang, riilnya berarti hanya sekitar 9.617.067 orang. Ini artinya jumlah anggota koperasi itu hanya 3,5 persen dari jumlah penduduk sebesar kurang lebih 270 juta orang.
Sesuai dengan data resmi yang dipublikasikan Kemenkop tahun 2023, putaran bisnis koperasi hanya sebesar 214 triliun rupiah dan PDB pada tahun 2023 adalah sebesar 20.892 triliun rupiah. Ini artinya jika dibandingkan dengan PDB, putaran bisnis koperasi hanya 0,95 persen. Sementara jika dihitung rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir ternyata hanya 1,05 persen dari PDB.
Di lapangan, dari begitu banyaknya koperasi yang tinggal papan nama itu ternyata didominasi oleh koperasi yang dibentuk atau setidaknya dimotivasi oleh pemerintah dalam model pendekatan atas bawah (top down). Motivasi pendirian koperasi secara top down itu distimulasi oleh kredit program pemerintah atau diberikanya fasilitas privelege bisnis dari pemerintah. Sebut saja misalnya Koperasi Unit Desa (KUD) yang distimulasi dengan bisnis distribusi pupuk dan pengadaan gabah untuk Bulog di masa Orde Baru, dan Kredit Usaha Tani (KUT) di era awal reformasi.
Program pengembangan Kopdes Merah Putih yang didorong oleh Inpres Nomor 9 tahun 2025 adalah modus operandi yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Pemerintah berperan sebagai pengkreasi dan sekaligus sebagai perusak citra koperasi. Sehingga hal ini akan membuat masyarakat semakin tidak percaya pada koperasi.
Pemerintah selama ini ternyata justru berperan sebagai pencipta koperasi papan nama yang pada akhirnya justru merusak citra koperasi. Begitu banyak badan hukum dibentuk karena motivasinya bukan berasal dari masyarakat sendiri. Sehingga bisnis koperasi tidak berkelanjutan dan menjadi tumpukan sampah badan hukum koperasi.
Selain kerusakan citra koperasi yang diakibatkan oleh ulah pemerintah melalui pembentukan model koperasi yang top down seperti itu, kerusakan citra koperasi juga dibentuk oleh regulasi dan yang lemah. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya UU Perkoperasian yang ada dan berbagai diskriminasi di berbagai regulasi dan kebijakan perekonomian terhadap koperasi.
Sampai saat ini, UU Perkoperasian yang ada masih diatur oleh UU Nomor 25 Tahun 1992 yang menurut hasil kajian kami merupakan UU Perkoperasian yang terburuk yang ada di dunia. UU ini selain tidak imperatif juga tidak memberikan daya dukung bagi pengembangan koperasi. Bahkan diberbagai regulasi dan kebijakan ekonomi lainya justru membatasi ruang gerak koperasi sehingga koperasi keluar dari lintas bisnis modern.
*Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)