Gambar tersebut menunjukkan pasukan dan tank Israel dikerahkan di dekat perbatasan dengan Jalur Gaza pada 8 Juli 2025/Net
Amerika Serikat tengah menjalankan proyek pembangunan militer besar-besaran di Israel dengan nilai lebih dari 1,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp24 triliun.
Dokumen yang baru dirilis dari Korps Zeni Angkatan Darat AS mengungkap bahwa proyek ini mencakup pembangunan pangkalan udara, hanggar helikopter, fasilitas penyimpanan amunisi, serta pusat komando, termasuk markas baru untuk unit elit komando angkatan laut Israel, Shayetet 13.
Inisiatif ini didanai melalui paket bantuan tahunan senilai 3,8 miliar dolar AS yang telah disepakati sejak era pemerintahan Presiden Barack Obama pada 2016.
Meski pendanaan berasal dari AS, banyak dari pekerjaan konstruksi dikontrakkan kepada perusahaan-perusahaan Israel.
"Proyek ini merupakan bagian dari upaya memperkuat infrastruktur pertahanan Israel dalam menghadapi ancaman regional," bunyi laporan
Haaretz, seperti dikutip pada Rabu, 9 Juli 2025.
Menurut laporan tersebut, lebih dari 20 proyek individu sedang berjalan atau akan segera dimulai, dengan nilai proyek aktif mencapai lebih dari 250 juta dolar AS dan proyek masa depan diperkirakan melebihi 1 miliar dolar AS.
Sebagian besar tender resmi diberikan kepada perusahaan-perusahaan Amerika, namun banyak proyek dijalankan dengan identitas samaran guna merahasiakan lokasi pastinya.
Bantuan AS juga mencakup dukungan untuk pesawat CH-53K dan tanker udara KC-46 Pegasus yang baru dibeli Israel. Pada titik tertentu, tender senilai 900 juta dolar AS bahkan diarahkan untuk fasilitas peningkatan armada jet tempur F-15IA dan F-35.
Peningkatan bantuan ini menimbulkan pertanyaan, terutama mengingat laporan bahwa AS telah menghabiskan lebih dari 22 miliar dolar AS untuk bantuan militer ke Israel sejak Oktober lalu.
“Angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi,” demikian laporan tersebut menekankan.
Peningkatan belanja militer ini muncul di tengah kritik tajam dari dalam negeri AS terhadap dukungan militer terhadap Israel, terutama akibat agresi yang berlangsung di Gaza yang menurut laporan telah menewaskan lebih dari 57.000 warga Palestina.
“Di saat rakyat Amerika menyerukan penghentian penjualan senjata, pemerintah malah menggandakan dukungan infrastruktur militer,” ujar seorang analis kebijakan luar negeri yang tak disebutkan namanya dalam laporan.
Proyek-proyek ini direncanakan bahkan sebelum agresi Israel terhadap Iran selama 12 hari terakhir. Serangan tersebut menyebabkan tewasnya sejumlah komandan senior, ilmuwan nuklir, dan warga sipil di Iran, yang kemudian dibalas dengan rentetan rudal dan drone Iran dalam operasi “True Promise III”.
Pada hari Selasa, 8 Juli 2025, seorang pejabat militer Israel untuk pertama kalinya mengakui bahwa serangan udara Iran berhasil menghantam sejumlah lokasi militer di wilayah pendudukan Israel selama perang tersebut.
Citra satelit yang dianalisis oleh peneliti Oregon State University juga menunjukkan bahwa lima fasilitas militer dihantam rudal Iran.
Kerusakan ini bahkan meliputi Institut Sains Weizmann yang memiliki afiliasi dengan militer Israel, dan yang sempat dikunjungi anggota parlemen Israel pada Minggu lalu.
Ditekan oleh kerugian besar dan kekuatan balasan Iran, Israel akhirnya menerima gencatan senjata yang dimediasi AS pada 24 Juni.