PERDEBATAN seputar kendali tembakau kini mencapai puncaknya pada World Conference on Tobacco Control (WCTC) yang diselenggarakan di Dublin, Irlandia, pada 23-25 Juni 2025 lalu. Pertemuan global ini dirancang untuk merumuskan kebijakan pengendalian tembakau, yakni menaikkan cukai, melarang filter dan vape sekali pakai, serta memperkuat larangan intervensi industri dalam kebijakan publik.
Agenda-agenda ini diproyeksikan menjadi masukan utama dalam negosiasi pembangunan internasional di Seville dan forum-forum donor lain. Meski begitu, ironisnya, dalam forum formal tersebut, suara petani dan buruh tembakau dari Global Selatan nyaris tak terdengar, seolah tembakau hanya perkara statistik, bukan persoalan penghidupan dan akar budaya masyarakat.
"Perang nikotin" kini telah melampaui sekadar kampanye anti-rokok. Ia menjelma menjadi arena perebutan kuasa yang rumit—antara utara dan selatan, antara pusat dan pinggiran, antara hak kolektif dan agenda donor global.
Di balik retorika moral kesehatan yang hegemonik, terselip upaya mendikte kebijakan ekonomi negara-negara berkembang, sering kali tanpa menimbang konteks lokal yang partikular dan tanpa memberikan pilihan yang adil bagi mereka yang terdampak secara langsung.
Indonesia dan Jerat Kebijakan Global
Indonesia, salah satu produsen kretek terbesar dunia, tidak menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Penolakan ini bukan cermin abai terhadap kesehatan, melainkan wujud kesadaran bahwa kebijakan satu arah tak bisa serta merta diterapkan di negeri yang lebih dari 5 juta warganya bergantung pada ekosistem tembakau.
Dominasi lembaga internasional dalam merumuskan kebijakan, seperti WHO dan kerangka FCTC sangat bergantung pada pendanaan dari entitas filantropis raksasa seperti Bloomberg Philanthropies dan Gates Foundation.
Ketergantungan finansial ini secara halus mengarahkan prioritas kebijakan menuju tujuan yang terkadang tidak selaras dengan kebutuhan fundamental komunitas lokal.
Dampak mikro dari kebijakan pengendalian tembakau jarang terangkat dalam laporan global yang masif. Contoh konkret terlihat di Thailand, dimana pemangkasan kuota tembakau oleh Otoritas Tembakau Thailand (TOAT) secara langsung memangkas pendapatan petani dan menyebabkan penurunan signifikan dalam produksi tembakau domestik.
Di Tanzania, di mana lebih dari dua juta orang menggantungkan hidup pada industri tembakau, kenaikan cukai dan penurunan permintaan tanpa kompensasi telah memicu lonjakan kemiskinan dalam statistik pertumbuhan nasional.
Wacana kesehatan publik yang hegemonik ini cenderung menyingkirkan dimensi ekonomi yang krusial dan melanggengkan bentuk baru dari ketidakadilan struktural yang laten.
"Perang nikotin" yang kita saksikan hari ini memiliki akar sejarah yang dalam, terutama dapat ditelusuri kembali pada upaya Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada tahun 1990-an untuk mengatur tembakau sebagai obat.
Sejak saat itu, penggambaran "perang" ini secara historis telah membingkai industri tembakau sebagai "penjual penyakit dan kematian". Isu yang awalnya berpusat pada kesehatan dan adiksi, kini telah berevolusi menjadi perang argumen yang lebih luas, di mana pihak anti-tembakau membangun hegemoni moral dengan mengesampingkan dimensi ekonomi dan pilihan konsumen.
Dalam konteks kebijakan pengendalian tembakau, meskipun tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, dampak yang ditimbulkannya terhadap petani dan buruh tembakau dapat diinterpretasikan sebagai bentuk kekerasan struktural.
Konsep ini, yang diperkenalkan oleh Johan Galtung (1969), menjelaskan bahwa kekerasan tersebut tidak hadir sebagai larangan fisik, melainkan sebagai penghapusan peluang hidup yang layak, seperti akses terhadap sumber daya, pendidikan, kesehatan, atau partisipasi dalam pengambilan keputusan yang pada akhirnya menyebabkan penderitaan dan ketidakadilan yang mendalam.
Kebijakan seperti pajak tinggi atau larangan total, yang dirancang di pusat-pusat kekuasaan global, secara tidak langsung dapat memicu kehilangan mata pencaharian, jeratan utang, dan kemiskinan bagi kelompok-kelompok rentan di negara berkembang.
Fenomena ini sering disebut sebagai "imperialisme kesehatan," dimana agenda kesehatan dipaksakan tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan kedaulatan ekonomi.
Pergulatan Keadilan dan Kedaulatan
Perjuangan lokal, yang pernah disuarakan oleh organisasi akar rumput seperti Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) melalui bukunya Kretek: Warisan Budaya Nusantara (2013), secara tegas menyatakan bahwa tembakau bukan sekadar komoditas, melainkan bagian integral dari sejarah ekonomi-politik Indonesia.
Oleh karena itu, untuk memahami kompleksitas persoalan ini, penting kiranya membaca ulang konflik ini dari perspektif keadilan distributif untuk mendapatkan pemahaman baru. Kebijakan yang adil bukan hanya mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, tetapi juga menjamin bahwa mereka yang terdampak kebijakan tetap dapat hidup layak dan bermartabat.
Guna menelusuri akar dinamika kekuasaan dan ketidakadilan yang terselubung dalam wacana pengendalian tembakau global, analisis kritis dapat diterapkan. Perspektif Gramsci (1975) menunjukkan bahwa kekuasaan modern tak melulu hadir sebagai represi fisik, melainkan melalui dominasi intelektual dan moral yang menciptakan "akal sehat" kolektif.
Dalam konteks pengendalian tembakau global, pemahaman kesehatan universal yang dibentuk WHO dan donor global dapat dipahami sebagai bentuk hegemoni—di mana Global Selatan dibujuk untuk percaya bahwa mengikuti standar global adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan.
Sementara itu, Teori Ketergantungan sebagaimana dikemukakan oleh Andre Gunder Frank (1966) menggambarkan pembangunan Global Selatan seringkali dimaknai sebagai bentuk perpanjangan struktur eksploitasi pusat terhadap pinggiran.
Mewujudkan Keadilan Global dalam Isu Tembakau
Penting ditekankan bahwa menolak sebagian isi FCTC bukan berarti menolak kesehatan. Justru sebaliknya, itu merupakan bentuk pembelaan terhadap kesehatan yang adil, yang tidak melupakan petani, buruh, dan konsumen dewasa yang rasional.
Selain Indonesia, beberapa negara lain juga belum meratifikasi FCTC, bahkan beberapa di antaranya belum menandatanganinya sama sekali. Penolakan ini menunjukkan bahwa isu FCTC tidak hanya menjadi perdebatan di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Amerika Serikat, misalnya, meskipun telah menandatangani FCTC pada tahun 2004, belum meratifikasinya, dengan alasan yang seringkali kompleks melibatkan pertimbangan ekonomi, politik, dan otonomi kebijakan domestik. Swiss merupakan satu-satunya negara di Eropa, selain Andorra, Liechtenstein, dan Monako, yang belum meratifikasi Konvensi WHO ini, menegaskan bahwa isu ini tidak terbatas pada negara berkembang.
Argentina dan Kuba juga termasuk negara yang telah menandatangani FCTC tetapi belum meratifikasinya. Malawi termasuk dalam daftar negara yang tidak menandatangani atau menjadi pihak dalam FCTC. Malawi, seperti banyak negara di Afrika, memiliki ketergantungan ekonomi yang signifikan pada produksi tembakau. Negara-negara lain seperti Dominika, Eritrea, Liechtenstein, Monako, Somalia, dan Sudan Selatan juga termasuk yang belum meratifikasi FCTC.
Jika kesehatan global hendak adil, maka ia harus menghormati konteks lokal. Jika negara seperti Indonesia ingin bermartabat, maka ia harus merumuskan kebijakan tembakau berdasarkan suara rakyat, bukan sekadar salinan standar dari utara.
Dalam kepulan asap tembakau, tersimpan sejarah panjang kerja keras, daya tahan, dan kehendak berdaulat. Semua itu tidak bisa disapu habis oleh satu kebijakan universal yang datang dari luar.
*Penulis adalah Penggiat literasi dari Indonesia Democratic (IDE) Center