Citra satelit menunjukkan kerusakan di fasilitas pengayaan Fordo di Iran setelah serangan AS/Maxar Technologies
Iran tengah berupaya memulihkan industri nuklirnya setelah serangkaian serangan udara oleh Amerika Serikat (AS) dan Israel menghantam sejumlah fasilitas vital, termasuk Fordo, Natanz, dan Isfahan.
Kepala Badan Energi Atom Iran, Mohammad Eslami, mengatakan pihaknya telah mulai menilai kerusakan yang terjadi dan menyusun rencana pemulihan.
"Rencananya adalah untuk mencegah gangguan dalam proses produksi dan layanan," ujarnya, seperti dikutip kantor berita Iran, Mehr News, Selasa 24 Juni 2025.
Sebelumnya, Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, memperkirakan bahwa serangan tersebut telah menimbulkan kerusakan besar. Dalam rapat darurat dewan IAEA, Grossi mengungkap bahwa bom penembus tanah milik AS menciptakan kepulan di kompleks Fordo, yang menjadi pusat pengayaan uranium Iran.
"Kerusakan itu diperkirakan sangat signifikan, karena muatan bahan peledak yang digunakan dan sifat sentrifus yang sangat sensitif terhadap getaran," kata Grossi, dikutip dari Aljazeera.
Menurut laporan, serangan AS menargetkan pabrik pengayaan bahan bakar di Natanz, sejumlah bangunan konversi uranium di Isfahan, serta menghantam pintu masuk terowongan penyimpanan bahan nuklir. Presiden AS Donald Trump mengklaim ketiga lokasi tersebut telah dilenyapkan.
Serangan berlanjut pada Senin 23 Juni 2025 siang dengan ledakan besar dilaporkan terjadi di Teheran dan Fordo. Israel mengklaim serangan dilakukan untuk mencegah Iran mencapai kemampuan senjata nuklir, tuduhan yang kembali dibantah Teheran.
Sebagai respons, Iran terus meluncurkan gelombang rudal dan drone ke wilayah Israel dan pangkalan militer AS di Qatar. Teheran juga mengancam akan keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), sementara parlemen Iran mendorong penghentian kerja sama dengan IAEA.
Iran menuding IAEA dan Grossi bersikap bias dalam pelaporan aktivitas nuklirnya. Menurut Teheran, laporan IAEA telah digunakan sebagai pembenaran oleh Israel untuk melakukan serangan militer.
Sementara itu, mantan pejabat senior IAEA, Tariq Rauf, menyebut kapasitas pengayaan jangka pendek Iran telah rusak atau hancur. Namun, Iran masih memiliki sekitar 9.000 kilogram uranium yang diperkaya pada tingkat 2 hingga 60 persen, yang belum sepenuhnya dapat diverifikasi keberadaannya.
"IAEA perlu kembali masuk dan memastikan bahwa semua material tersebut masih ada," ujar Rauf kepada Al Jazeera.