Ilustrasi/birokratmenulis.org
NARASI “Indonesia Maju” menjadi jargon resmi negara dalam dua dekade terakhir. Jalan tol menjalar, kawasan industri dibuka, ekonomi digital tumbuh. Namun, di balik narasi pertumbuhan ini, tampak jelas sebuah ironi nasional: rakyat kian tertinggal.
Alih-alih menjadi pelaku kemajuan, mayoritas rakyat justru menjadi korban struktur ekonomi yang timpang. Mereka terdorong untuk merantau ke luar negeri, terjebak pinjaman online, menjadi target pasar digital asing, hingga kehilangan daya tawar sebagai warga negara.
Fakta di Balik Kemajuan Semu
Data dari BP2MI (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 4,6 juta warga Indonesia bekerja di luar negeri, mayoritas sebagai pekerja rumah tangga dan buruh kasar. Sementara itu, menurut BPS (2023), terdapat lebih dari 9 juta lulusan perguruan tinggi yang bekerja di sektor informal. Ini termasuk sebagai ojek online, penjaja daring, dan jasa freelance tanpa jaminan sosial.
Di sisi lain, Survei PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 81 negara dalam aspek literasi dan numerasi. Kualitas pendidikan nasional tidak hanya tertinggal, tapi stagnan. Pendidikan gagal menjadi jalan mobilitas sosial karena negara abai memperbaiki sistem dari hulu ke hilir.
Lebih buruk lagi, industri digital yang semestinya menjadi penopang kemandirian ekonomi justru memperparah ketimpangan. Studi Katadata Insight Center (2024) mencatat bahwa 80 persen pengguna aplikasi e-commerce, ride-hailing, dan pinjol di Indonesia hanya sebagai konsumen dan tenaga kerja rendahan. Keuntungan lari ke luar negeri, sementara rakyat menanggung risiko sosial dan ekonomi.
Kutipan yang Menyentak
Ekonom senior Kwik Kian Gie pernah mengatakan, “Pertumbuhan ekonomi Indonesia terlalu banyak menguntungkan para pemilik modal, terlalu sedikit yang mengalir ke bawah.” Pernyataan ini makin relevan hari ini. Kemajuan hanya milik segelintir, sementara mayoritas rakyat ditinggalkan.
Senada, ekonom heterodoks Prof. Stephanie Kelton–pengusung Modern Monetary Theory menegaskan: “Deficits can be used to improve people’s lives, not to harm them.” Defisit negara seharusnya diarahkan untuk memperkuat pendidikan, menciptakan lapangan kerja hijau, dan membangun industri nasional, bukan dipersempit oleh mitos keuangan yang konservatif.
Lawan Mitos Defisit, Bangun Ekonomi Berdaulat
Indonesia adalah negara dengan mata uang berdaulat (sovereign currency). Dalam kerangka Modern Monetary Theory (MMT), negara seperti Indonesia tidak pernah “kehabisan uang” selama utangnya dalam mata uang sendiri. Justru, defisit fiskal dapat digunakan untuk menciptakan lapangan kerja penuh, membangun industri strategis, dan mendorong pendidikan berkualitas.
Sayangnya, mitos defisit (deficit myth) masih mendominasi narasi kebijakan publik. Pemerintah lebih takut “melanggar disiplin fiskal” ketimbang membiayai program rakyat secara langsung. Akibatnya, banyak kebijakan sosial hanya berbentuk insentif konsumsi jangka pendek, bukan transformasi struktural yang dibutuhkan.
Menuju Kemajuan yang MembebaskanKemajuan sejati bukan tentang gedung pencakar langit, investasi asing, atau kecanggihan aplikasi. Kemajuan sejati adalah saat rakyat tidak lagi dijadikan buruh di luar negeri, tidak tergantung pada pinjol untuk bertahan, dan tidak menjadi pengguna pasif sistem digital yang tak mereka miliki.
Sudah waktunya kita menggugat makna “kemajuan” itu sendiri. Jika rakyat hanya dijadikan target pasar, tanpa kontrol atas alat produksi, tanpa akses terhadap pendidikan dan kesehatan bermutu, maka “Indonesia Maju” hanya tinggal slogan kosong. Narasi pembangunan tanpa kedaulatan fiskal dan keadilan struktural adalah jebakan. Bukan jalan keluar.
*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub