Berita

Jenderal Stanley McChrystal/USAToday

Publika

Kasus McChrystal dan Retaknya Strategi Global Amerika

SENIN, 02 JUNI 2025 | 16:50 WIB | OLEH: CHAPPY HAKIM*

PADA sejarah militer Amerika Serikat (AS), pemecatan Jenderal Stanley McChrystal tahun 2010 bukan hanya tercatat sebagai masalah insiden disipliner, tetapi juga refleksi tajam atas tekanan struktural dan defisit anggaran pertahanan yang dihadapi Washington pasca-9/11.

Peristiwa ini terjadi di tengah runtuhnya kepercayaan antara elite militer dan sipil, serta menjadi cerminan dari keterbatasan Amerika mempertahankan proyeksi kekuatannya di seluruh dunia, termasuk di kawasan Indo-Pasifik.

Sebuah masalah yang logis tentang bagaimana anggaran pertahanan nasional AS yang dialokasikan bagi hegemoni kekuatan Amerika di tingkat global.


Wawancara Rolling Stone yang Mengguncang Pentagon

Artikel "The Runaway General" yang diterbitkan Rolling Stone pada Juni 2010 berisi kutipan-kutipan kontroversial dari wawancara Jenderal McChrystal Panglima Pasukan Koalisi di Afghanistan bersama beberapa stafnya yang secara blak-blakan menyindir sejumlah tokoh sipil Gedung Putih, termasuk Wakil Presiden Joe Biden.

Kritik mereka merujuk pada ketidakefektifan arah kebijakan sipil dalam mendukung operasi militer di Afghanistan, serta menyinggung kurangnya dukungan anggaran dan personel.

Setelah mencermati isi wawancara tersebut, Presiden Obama langsung memanggil McChrystal ke Gedung Putih. Dalam waktu singkat, ia diminta mengundurkan diri dan digantikan oleh Jenderal David Petraeus, mantan komandan perang AS di Irak.

Keputusan itu dinilai sebagai upaya menjaga prinsip tentang kendali sipil atas militer, tetapi pada saat yang sama sekaligus juga menegaskan bahwa militer ternyata tidak mendapatkan dukungan penuh untuk melaksanakan rencana strategis operasinya di lapangan.

Kemelut Defisit Anggaran dan Beban Perang Tanpa Ujung

Pasca tragedi 11 September 2001, AS meluncurkan perang global melawan teror (Global War on Terror) dengan dua front utama: Afghanistan dan Irak, yang kemudian diperluas sampai ke Pakistan, Suriah, hingga Yaman.

Dalam kurun waktu dua dekade, Washington menghabiskan lebih dari 8 triliun Dolar AS untuk operasi militer, logistik, intelijen, dan pembangunan ulang di negara-negara yang mereka intervensi.

Menurut laporan dari Costs of War Project oleh Brown University (2021), total pengeluaran untuk perang pasca-9/11 mencapai 2,3 triliun Dolar AS untuk perang Afghanistan; 2,1 triliun Dolar AS untuk perang Irak dan Suriah; 355 miliar Dolar AS untuk operasi di Pakistan; 1,1 triliun Dolar AS untuk program keamanan dalam negeri (DHS dan lainnya).

Walaupun demikian besar alokasi anggaran, baru setelah 10 tahun berburu, AS berhasil menemukan dan mengeksekusi Osama bin Laden di Abbottabad, Pakistan pada 2011. Operasi ini dilakukan dalam wilayah negara berdaulat tanpa izin resmi, yang menimbulkan kritik dan memicu ketegangan diplomatik.

Akan tetapi, meski Bin Laden tewas, konflik tak kunjung reda. AS tetap terjerat dalam perang gerilya dan insurgensi, menghadapi kelompok Taliban, ISIS, dan milisi lainnya di berbagai medan.

Beban perang semakin berat ketika harus mendanai operasi tempur lintas kawasan sambil menghadapi tekanan politik domestik atas tingginya utang dan defisit anggaran federal.

Untuk tidak memperburuk keadaan, sebelum mampu menarik pasukan dari Afghanistan, Washington bahkan harus berunding dengan Korea Utara soal senjata nuklir—bukan karena relevansi langsung, tetapi karena fokus strategis AS sudah tampak melebar tanpa arah prioritas yang jelas.

Setelah 20 tahun, AS akhirnya menarik seluruh pasukannya dari Afghanistan pada Agustus 2021, dalam sebuah penarikan yang tergesa gesa tanpa rencana matang dan kontroversial—disaksikan dunia dengan jatuhnya Kabul ke tangan Taliban dalam hitungan hari.

Jadilah isu itu berita yang jenaka berjudul intermeso 20 tahun kekuasaan di Afghanistan dari Taliban ke Taliban.

Dampaknya ke Indo-Pasifik: Dari Kekosongan ke AUKUS

Keterlibatan panjang di Timur Tengah dan Asia Selatan membuat pengaruh AS di kawasan Pasifik menurun drastis. Penutupan pangkalan utama seperti Subic US Naval Base dan Clark AFB di Filipina sejak 1992 tidak pernah benar-benar mampu didapatkan penggantinya.

Dalam kekosongan strategis itu, wajar sekali telah membuat China menjadi lebih leluasa untuk terus memperluas kekuatan maritimnya, termasuk ke Laut China Selatan dan sekitarnya.

Menyadari bahwa narasi ancaman China tidak cukup menggerakkan negara-negara indo pasifik khususnya ASEAN, Amerika akhirnya membentuk AUKUS pada 2021, sebuah pakta pertahanan trilateral dengan Inggris dan Australia, lengkap dengan rencana penyediaan kapal selam nuklir.

Pembentukan AUKUS memicu protes keras dari Prancis, China, dan Selandia Baru, sekaligus menandai babak baru proyeksi kekuatan AS di Indo-Pasifik—bukan dengan pangkalan besar, tetapi melalui persekutuan militer strategis.

Sebuah Upaya tiada akhir dari AS dalam mencapai keseimbangan kekuatan Timur Barat di Kawasan Pasifik.

Demikianlah drama kasus pemecatan Jenderal McChrystal ternyata adalah lebih dari sekadar skandal wawancara belaka. Ia merupakan simbol friksi antara harapan militer dan realitas politik Amerika, serta mencerminkan batas daya jangkau kekuatan global Washington di era baru.

Di tengah defisit anggaran, tekanan opini domestik, dan ancaman multipolar, Amerika Serikat harus mencari pendekatan alternatif untuk tetap relevan di panggung global—dan AUKUS adalah dianggap sebagai jawabannya yang tepat.

Namun seperti juga perang panjang yang dulu dibiayai tanpa kejelasan arah, pertanyaannya kini adalah: apakah strategi baru sekarang ini akan lebih berkelanjutan, atau justru kembali mengulang babak lama dari kegagalan global sebelumnya?

Sebuah siklus konflik yang memang jarang sekali dapat diprediksi atau diantisipasi kemana arahnya.

Penulis adalah Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya