WACANA kenaikan dana parpol dari pemerintah setelah pemilu serentak setidaknya perlu ditinjau seraca kritis dan berimbang. Gebrakan avan garde efisiensi presiden Prabowo di awal musim pemerintahannya merupakan musabab kenapa menaikkan dana bagi partai politik akan sulit. Di sisi lain, kita melihat situasional good governance lewat aktor parpol di dalam pemerintahan juga bukan kabar yang menyenangkan publik.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018, bantuan keuangan negara untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPR dan DPRD. Bantuan ini terdiri dari 1000 suara untuk DPR RI, 1.200 suara untuk DPRD Provinsi, dan 1.500 suara untuk DPRD Kabupaten/Kota. Jika diperlukan, setiap detail dana tersebut dapat diperbarui.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bantuan tersebut diberikan kepada seluruh peserta pemilu dalam bentuk pengadaan iklan dan alat peraga kampanye. Meskipun bantuan ini secara keseluruhan diberikan kepada seluruh partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan, hal ini juga meningkatkan jumlah uang yang diterima oleh partai politik yang sebelumnya juga menerima bantuan keuangan dari negara secara langsung berdasarkan perolehan.
Pada tahun 2019, LIPI, sekarang BRIN, dan KPK melakukan simulasi untuk lima partai politik (Golkar, PDIP, PKB, PKS, dan Gerindra). Temuannya menarik bahwa pendanaan negara kepada partai politik hanya sekitar 0,04 hingga 0,05 dari kebutuhan mereka di tingkat pusat. Jadi, jika diformulasikan ulang dengan asumsi bahwa negara hanya membiayai partai politik sebesar 50 persen dari kebutuhannya, maka harga per suaranya menurut KPK dan LIPI adalah Rp19.322. Menurut KPK dan LIPI (2019), bantuan finansial negara kepada partai politik semakin jauh dari kebutuhan partai politik.
Akankah mendanai parpol dari APBN bisa berdampak produktif dan tak rentan penyalahgunaan oleh parpol? Sebenarnya jika melihat negara-negara di Eropa Barat, sejak tahun 1970-an secara bertahap justru menerapkan dua kebijakan, pertama, membatasi sumbangan perseorangan dan perusahaan kepada parpol; kedua, memberi bantuan keuangan atau subsidi keuangan kepada parpol, baik untuk kegiatan operasional maupun untuk dana kampanye (Didik:2012). Hal ini untuk mencegah terjadinya disorientasi parpol dalam memperjuangkan kepentingan politik rakyat secara nasional.
Komisi II DPR RI yang bermitra kerja dengan instrumen penyelenggara dan pengawasan pemilu (KPU dan Bawaslu) harus terperinci dalam menilai apakah ada unsur keterdesakan kualitas keuangan partai selama ini. Publik justru akan merespon negatif mengingat parpol-parpol di Indonesia ditengarai mudah mendapatkan sponsor modal yang jarang diketahui publik, bahkan tidak jujur pada negara. Unsur pembentukan parpol dan praktik di lapangan mempersempit pandangan bahwa parpol merupakan perwakilan rakyat.
Kurang Representatif
Partai memang tidak bisa hidup sendiri memikul tugasnya merawat instrumen demokrasi nan pelik di negeri ini. Kritik Marcus Mietzner (2021) menilai bahwa Sistem kepartaian di Indonesia menjadi kurang representatif, yang hanya memungkinkan munculnya partai baru yang dikendalikan oleh orang kaya. Ketika biaya politik meningkat, sistem pembiayaan partai politik dianggap tidak efektif. Akibatnya, ketika rezim pemilu semakin terbuka, sistem pembiayaan partai politik akan menjadi lebih sulit untuk mencegah deinstitusionalisasi partai politik.
Kemudian masalah keuangan menjadi sangat penting. Program kerja dan kampanye kandidat dan partai politik menjadi tidak berarti dan tidak berhasil tanpa dukungan keuangan yang memadai (Jacobson, 1980: 33). Tidak ada kontrol publik yang jelas, dan partai politik tidak memiliki transparansi dan akuntabilitas, semakin memperkuat persekongkolan para elit politik.
Secara teoritis, hal ini akan menyebabkan peningkatan tingkat korupsi karena rumus Klitgaard C=D+M-A (C: Corruption, D: Discretion, M: Monopoly, dan A: Accountability). Rumus mengenai akar semang korupsi ini relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente dilakukan elite politik (Klitgaard, 2002: 29).
Salah satu ironi demokrasi Indonesia adalah prevalensi tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat publik dan elit partai politik. Meskipun mereka mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat, mereka malah menghisap uang negara yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran. Dalam konteks ini, kata "faksi" sengaja dipilih daripada "partai" karena selama ini kita memiliki kecurigaan yang kuat terhadap partai karena kita selalu mengaitkan partai dengan "faksi".
Pemurnian Tujuan
Padahal, menurut Voltaire (dalam Giovanni Sartory, Parties and Party System: A Frameworks for Analysis, 1976), istilah partai adalah sesuatu yang baik, sedangkan faksi identik dengan keburukan dan dibenci dari zaman Romawi hingga abad ke-19.
Dari seluruh tradisi pemikiran politik Barat, jarang ada yang tidak menganggap faksi sebagai sesuatu yang dibenci karena sejatinya faksi adalah:
'un partis detieux dans un tat' (sebuah partai yang suka memberontak dalam sebuah negara), sedangkan partai lebih dipakai untuk menunjuk faksi-faksi yang tidak memberontak.
Dengan kata lain, makna partai harus dibersihkan agar ia dapat diandalkan untuk membangun sistem demokrasi yang sehat, akuntabel, dan mampu memperhatikan kepentingan rakyat secara maksimal. Karena itu, hampir pasti bahwa rencana peningkatan dana parpol akan mendapatkan respons yang positif. Setidaknya, itu akan mengurangi keinginan politisi untuk menjadi korup. Tujuan besarnya sebagai hasilnya, parpol akan lebih mandiri dalam mengelola keuangan mereka sendiri tanpa bantuan dari donator gelap, yang selalu penuh dengan egoisme.
Masyarakat politik harus diberi tanggung jawab untuk mengelola dana yang relatif sudah cukup dari negara dengan membangun prinsip-prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daripada terus mengambinghitamkan dana minim sebagai penyebab korupsi.
Setelah partai menjadi lebih dewasa dan jujur dalam mengelola "nafkah politiknya", mereka secara bertahap menjadi tidak lagi identik dengan faksi yang berkonotasi buruk, transaksional, dan korup. Sebaliknya, partai berkembang menjadi alat asli yang dapat diandalkan untuk mempertahankan demokrasi dan kemakmuran masyarakat.
Namun, penyaluran dana selanjutnya harus dibatasi ketat menurut peraturan perundang-undangan. Pemerintah harus memastikan bahwa hanya parpol yang memiliki kursi di parlemen berdasarkan jumlah suara mereka yang dapat menerima anggaran dari APBN. Selain itu, seperti praktik sebelumnya, parpol harus mengajukan secara tertulis permohonan bantuan keuangan kepada pemerintah, disertai dengan persyaratan administrasi, rencana penggunaan dana, dan laporan tentang jumlah dana yang diterima. Bahkan, bantuan dana parpol harus digunakan untuk membantu operasi sekretariat parpol dan pendidikan politik (PP 1/2018).
Selain itu, harapan parpol untuk mendapatkan sumbangan rutin atau iuran anggota tampaknya tidak mungkin karena jumlah anggota yang ideologis sangat sedikit dan sebagian besar tidak peduli atau bahkan kehilangan kepercayaan terhadap parpol. Jika gagasan ini berkembang menjadi kebijakan negara untuk parpol, menurut pendapat saya, tiga syarat utama harus dipenuhi.
Pertama, pembagian anggaran harus didasarkan pada prinsip keadilan, tidak ada perbedaan antara partai politik. Jika ini diterapkan, posisi parpol harus kembali ke titik nol, bukannya berdasarkan jumlah kursi atau perolehan suara seperti saat ini. Mungkin parpol yang paling berkuasa saat ini akan menentang hal ini.
Kedua, standar untuk membentuk parpol harus diperketat sehingga dorongan untuk membentuk parpol tidak seperti sebelumnya. Karena subsidi parpol akan mendorong banyak orang, terutama yang kaya, untuk membentuk parpol karena negara akan membayarnya. Selain itu, anggota KPU yang akan memilih partai politik baru juga dapat berurusan dengan para pemodal yang membentuk partai tersebut.
Ketiga, partai politik harus mematuhi prinsip transparansi dan akuntabel untuk dilayani dengan cara yang sama seperti lembaga, lembaga, dan badan pemerintah yang mengelola dana APBN. Semua kegiatan dan anggaran yang dibiayai oleh APBN/APBD harus diaudit oleh akuntan publik dan BPK. Para "pemilik parpol" pun tidak lagi dapat seenaknya menggunakan dana parpol untuk memperkaya diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Terakhir, perubahan regulasi juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan untuk mengawasi aktivitas keuangan partai politik. Dari perspektif kelembagaan, keberadaan "pemerintah" sebagai pengawas harus jelas menunjukkan bahwa kementerian atau lembaga tertentu. Undang-undang partai politik harus mengubah klausul sanksi. Sanksi seharusnya proporsional berdasarkan tingkat kesalahan partai politik.
*Penulis adalah Peneliti Politika Research Consulting (PRC)