Berita

Ilustrasi/Ist

Publika

Menyoal Pasal 337 UU Pelayaran

Oleh: Syofyan El Comandante*
MINGGU, 20 APRIL 2025 | 01:45 WIB

TATA kelola pelindungan awak kapal Indonesia hingga hari ini masih jauh dari kata ideal. Carut marut ini bukan terjadi karena tidak adanya undang-undang, melainkan justru karena abainya pelaksanaan mandat undang-undang—terutama Pasal 337 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal tersebut sejatinya memberi mandat eksplisit kepada Kementerian Ketenagakerjaan agar ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Namun, sudah lebih dari 15 tahun sejak undang-undang itu diundangkan, tidak ada satu pun regulasi ketenagakerjaan terkait awak kapal yang menjadikan Pasal 337 sebagai konsideran. Tidak ada Permenaker, tidak ada PP, tidak ada Kepmenaker yang mengatur hubungan industrial awak kapal niaga maupun perikanan secara komprehensif dan progresif.

Yang terjadi justru sebaliknya: kekosongan norma dibiarkan, dan sektor pelayaran diambil alih secara sepihak oleh Kementerian Perhubungan dengan berlindung di balik diksi "kepelautan". Kepelautan kemudian dimaknai secara luas sebagai mencakup seluruh aspek pelaut—termasuk hubungan kerja, kontrak kerja, dan penempatan awak kapal—yang semestinya masuk dalam ranah hukum ketenagakerjaan.


Tambahan Ayat 2 di Pasal 337: Legalisasi Ego Sektoral

Alih-alih memperkuat peran Kementerian Ketenagakerjaan, revisi ketiga UU Pelayaran pada tahun 2024 justru menambahkan Ayat (2) di Pasal 337 yang berbunyi: “Pengaturan mengenai kepelautan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.”

Penjelasan ayat ini bahkan secara eksplisit mengecualikan awak kapal dari rezim hukum ketenagakerjaan. Awak kapal kini diposisikan sebagai entitas kerja yang hanya diatur oleh Perjanjian Kerja Laut (PKL), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dan instrumen sektoral pelayaran seperti UU Pelayaran dan regulasi turunannya—bukan oleh UU Ketenagakerjaan atau Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang PKWT dan PHK, apalagi UU No. 13 Tahun 2003.

Padahal, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 yang meratifikasi Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) seharusnya menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk mengintegrasikan norma-norma ketenagakerjaan internasional ke dalam pelindungan awak kapal. Namun, hingga kini belum ada satu pun aturan pelaksanaan di Indonesia yang benar-benar mengadopsi struktur dan isi dari MLC 2006 secara utuh.

Dampak Nyata di Lapangan

Kekosongan norma ini sangat merugikan awak kapal. Mereka tidak memiliki jaminan upah minimum yang tegas dan mengikat. Kemudian tidak dijamin hak-hak dasar ketenagakerjaan seperti PHK, kompensasi, cuti, atau jam kerja.

Awak kapal juga sulit mengakses mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, karena tidak ada kepastian hukum tentang keberadaan hubungan kerja formal. Mereka juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Semua ini terjadi karena negara gagal menetapkan siapa yang bertanggung jawab dalam pelindungan awak kapal: apakah Kementerian Ketenagakerjaan, atau Kementerian Perhubungan?

Saatnya Negara Memilih: Perlindungan atau Pengabaian?

Penghapusan peran Kementerian Ketenagakerjaan dari pengaturan awak kapal dalam Pasal 337 adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip universal pelindungan pekerja. Hal ini juga bertentangan dengan semangat Konstitusi dan norma-norma ketenagakerjaan internasional yang sudah Indonesia ratifikasi.

Jika Kementerian Perhubungan tetap memaksakan ego sektoralnya dan menutup pintu bagi norma-norma ketenagakerjaan, maka nasib awak kapal Indonesia akan terus berada di zona abu-abu hukum. Negara harus tegas memilih: apakah awak kapal Indonesia akan diposisikan sebagai pekerja yang dilindungi penuh oleh negara, atau terus dianggap sekadar pengikut kapal yang hanya tunduk pada aturan-aturan laut?

Satu-satunya jalan ke depan adalah membuka kembali ruang harmonisasi antar kementerian dan segera menyusun peraturan ketenagakerjaan sektoral awak kapal yang menjadikan Pasal 337 sebagai dasar hukum. Regulasi tersebut harus menyelaraskan norma dalam UU Ketenagakerjaan, MLC 2006, dan UU Pelayaran.

Kita tidak boleh lagi bermain-main dengan nasib para pelaut Indonesia. Mereka bukan hanya bagian dari tenaga kerja nasional, tetapi juga wajah Indonesia di mata dunia maritim internasional.

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja SAKTI

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya