Berita

Pelatih Timnas Indonesia Patrick Kluivert; Ketua Umum PSSI Erick Thhohir dan Mantan Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae Yong/Repro

Publika

Sepak Bola, Pembinaan Karakter, dan Ilusi Potong Kompas

MINGGU, 23 MARET 2025 | 15:58 WIB | OLEH: CHAPPY HAKIM*

KEKALAHAN telak Tim Nasional Indonesia dari Australia dalam ajang internasional bukan hanya soal skor atau strategi, tetapi lebih dalam dari itu: ini adalah cermin dari mentalitas kebangsaan kita.

Cermin yang memperlihatkan bagaimana kita, sebagai bangsa, sering tergoda oleh jalan pintas, alih-alih menempuh proses panjang dan melelahkan yang sejatinya justru membentuk fondasi yang kokoh dalam perjalanan menuju tangga kejuaraan.

Dalam beberapa tahun terakhir, euforia sepak bola nasional membuncah. Keberhasilan PSSI mendatangkan pelatih ternama dari Korea Selatan serta menggaet pemain profesional naturalisasi dari Eropa dan diaspora menjadi bahan perbincangan hangat sekaligus kebanggaan nasional. Stadion penuh, media riuh, dan masyarakat bersorak. Seolah kita tengah berada di ambang kejayaan, di ambang Juara Dunia.


Namun, saat kekalahan besar itu datang, terutama dari tim seperti Australia—yang justru bertumbuh dari pembinaan akar rumput dan sistem liga yang stabil—kita dipaksa membuka mata. Bahwa kemenangan tidak bisa dimanipulasi. Bahwa untuk menjadi “juara sejati”, tidak ada jalan pintas.

Hukum alam pembangunan manusia dan bangsa tidak bisa dilangkahi begitu saja.  Tidak ada potong kompas.

Mari kita sadari bahwa sepak bola bukan sekadar olahraga. Ia adalah cerminan budaya kerja, sistem pendidikan karakter, kejujuran, kerendahan hati dan komitmen jangka panjang terhadap pembinaan generasi muda.

Di sinilah kita kerap lupa. Kita terlalu fokus pada hasil instan: podium, piala, dan tepuk tangan. Kita lupa bahwa sepak bola sejatinya adalah bagian dari nation and character building.

Di lapangan hijau, anak-anak dipaksa belajar untuk mampu kerja sama, disiplin, sportivitas, daya juang, kejujuran, kerendahan hati, sifat ksatria serta rasa cinta Tanah Air—nilai-nilai fundamental dalam pembentukan karakter bangsa.

Ketika kita memilih mengimpor pemain asing dan memberi mereka status WNI dalam hitungan bulan, apa yang sesungguhnya kita ajarkan kepada anak-anak bangsa yang selama ini berlatih dengan tekun di pelosok negeri?

Ketika proses seleksi dilewati oleh kebijakan instan, di mana tempat bagi mereka yang mengandalkan kerja keras dan dedikasi bertahun-tahun? Bukankah ini menanamkan pesan keliru: bahwa menjadi juara tidak perlu kerja keras, cukup dengan koneksi, dana besar, dan keputusan politik?

Sebagai seorang pendidik, saya merasa prihatin. Fanatisme yang tidak dibarengi dengan kedewasaan berpikir telah menjadikan sepak bola sebagai panggung pencitraan, bukan pembinaan.

Anak-anak muda yang mencintai sepak bola kini lebih sering terpaksa hanya menjadi penonton, bukan pelaku. Mereka menatap layar, melihat timnas mereka diisi oleh “barang impor”, dan secara tak sadar kehilangan ruang untuk bermimpi. Mereka menjadi generasi yang hanya diberi tontonan belaka, bukan peluang.

Padahal, sejatinya pembinaan usia dini dalam sepak bola, dibarengi dengan sistem liga yang berkelanjutan dan sehat, adalah satu-satunya jalan untuk mencetak tim nasional yang solid dan berkarakter. Bukan dengan sulap. Bukan dengan sihir. Ini adalah proses yang memerlukan waktu, konsistensi, kesabaran dan integritas dari semua pihak, termasuk para pemimpin olahraga dan pemegang kebijakan.

Kekalahan memalukan dari Australia mestinya menjadi wake-up call bagi kita semua. Mari kita berhenti mencari jalan pintas. Mari kita kembali menanam benih-benih pembinaan dari akar rumput.

Mulailah dari sekolah, komunitas, SSB (Sekolah Sepak Bola), dan kompetisi antar daerah. Biarkan proses yang berjalan secara alami membentuk timnas kita. Tim yang lahir dari kerja keras dan keringat anak negeri, dibesarkan oleh pelatih-pelatih lokal yang berintegritas, dan didukung oleh sistem liga yang profesional dan berkesinambungan.

Sekali lagi menjadi juara bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil sampingan dari proses panjang pembentukan karakter. Di sinilah tugas kita sebagai pendidik: ikut mengingatkan bahwa pembangunan bangsa, termasuk melalui sepak bola, adalah tentang menanam, merawat, dan memanen dengan sabar.

Sepak bola adalah olahraga yang penuh dengan nilai nilai dalam pembinaan karakter personal , keberanian, membangun jiwa ksatria, membentuk jiwa besar, mewujudkan sikap kejujuran. Olah Raga, sekali lagi, maaf bukanlah tentang potong kompas.

Penulis adalah Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya