ENAM tahun lalu, tepat pada hari ini, 51 Muslim tak bersalah menjadi korban serangan brutal saat menunaikan sholat Jumat di sebuah masjid di Christchurch, Selandia Baru. Tragedi ini merupakan salah satu contoh nyata dari dampak Islamophobia yang kian mengkhawatirkan.
Untuk mengenang para korban, negara-negara Islam pertama kali memperingati 15 Maret sebagai “Hari Melawan Islamophobia” pada tahun 2021. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan disahkannya resolusi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2022. Dengan dukungan dari 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), 15 Maret pun secara resmi ditetapkan sebagai Hari Internasional untuk Melawan Islamophobia, menjadi tonggak penting dalam perjuangan global melawan diskriminasi terhadap Muslim.
Islamophobia bukanlah fenomena baru. Akar kebenciannya dapat ditelusuri hingga ke sejarah Eropa, terutama dalam Perang Salib pada abad ke-12 dan ke-13. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989 dan berakhirnya Perang Dingin, Barat menghadapi kekosongan identitas yang serius dalam upayanya mempertahankan hegemoni global. Dalam situasi ini, narasi Islamophobia muncul sebagai strategi baru yang kemudian dikukuhkan melalui teori “Benturan Peradaban” yang dikemukakan oleh Samuel Huntington pada tahun 1993.
Menurut teori ini, setelah Perang Dingin, konflik global tidak lagi berakar pada ideologi politik seperti komunisme, tetapi bergeser ke perbedaan budaya dan agama, dengan Islam dijadikan sebagai ancaman utama bagi Barat. Selama tiga dekade terakhir, teori ini telah mempengaruhi opini publik di negara-negara Barat, membentuk kebijakan media, serta menjadi dasar bagi strategi politik dan sikap pemerintah dalam memandang Islam dan umat Muslim.
Negara-negara Barat, terutama yang mengklaim sebagai pembela hak asasi manusia, telah mengadopsi berbagai kebijakan yang justru menempatkan Islam sebagai musuh peradaban lain. Dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya gerakan anti-Islam, mereka secara sistematis telah memperburuk gelombang Islamophobia dan meningkatkan kejahatan terhadap Muslim.
Selain itu, munculnya kelompok teroris seperti Al-Qaeda, ISIS, dan Jabhat al-Nusra dalam beberapa dekade terakhir juga semakin memperburuk citra Islam, digunakan sebagai alat propaganda untuk menguatkan Islamophobia di mata dunia.
Islamophobia kini telah berkembang menjadi bentuk xenofobia dan rasisme yang terorganisir. Salah satu contoh paling nyata dalam 17 bulan terakhir adalah genosida terhadap rakyat Palestina yang dilakukan oleh rezim Zionis Israel.
Diamnya komunitas internasional terhadap pembersihan etnis dan genosida yang dilakukan oleh Israel, serta manipulasi istilah seperti Islamophobia dan hak asasi manusia untuk kepentingan politik tertentu, telah memperpanjang penderitaan rakyat Palestina. Sejak tahun 1948, lebih dari 50 aksi genosida terhadap warga Palestina telah dilakukan oleh Israel dengan impunitas.
Sudah 17 bulan berlalu sejak serangan brutal Israel terhadap Gaza dimulai. Ironisnya, negara-negara yang selama ini mengklaim sebagai pembela hak asasi manusia tidak hanya gagal melindungi rakyat Palestina, tetapi justru semakin memperkuat dukungan militernya kepada Israel dan bahkan mendukung pemindahan paksa penduduk Gaza keluar dari tanah air mereka.
Hak asasi manusia yang seharusnya menjadi prinsip universal telah disalahgunakan sebagai alat politik oleh kekuatan global yang justru menjadi pelanggar terbesar hak asasi manusia, yaitu Zionisme internasional.
Peringatan 15 Maret 2025 mengingatkan kita bahwa Islamophobia, dengan segala bentuk diskriminasi, rasisme, dan kekerasannya, telah menjadi ancaman bersama bagi seluruh umat manusia. Fenomena ini terlihat jelas dalam genosida yang terjadi di Palestina dan agresi yang terus dilakukan oleh rezim Zionis terhadap negara-negara di Asia Barat.
Dengan meningkatnya pengaruh kelompok sayap kanan ekstrem di dunia, terutama setelah kemenangan Donald Trump, Islamofobia terus mengalami eskalasi. Oleh karena itu, kini adalah saat yang tepat bagi negara-negara Islam untuk bersatu dalam perjuangan melawan Islamophobia dan membangun solidaritas global guna melindungi hak dan martabat umat Muslim di seluruh dunia.
*Penulis adalah Diplomat Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Jakarta