Prabowo Subianto menyambut kepulangan Wilfrida Soik, TKW asal Nusa Tenggara Timur yang terancam hukuman mati di Malaysia tahun 2015/Net
PERNYATAAN Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Emanuel Ebenezer, yang menyebut mereka yang bekerja di luar negeri "tidak perlu kembali lagi" bukan hanya mencerminkan sikap gegabah seorang pejabat publik, tetapi juga menyingkap kenyataan pahit, ketidakmampuan negara dalam menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya.
Tagar #KaburAjaDulu yang viral di media sosial bukan sekadar tren sesaat, melainkan sebuah referendum sosial, ekspresi kegelisahan generasi muda terhadap masa depan mereka yang suram di tanah air.
Dalam dua periode pemerintahan Joko Widodo, janji penyediaan 10 juta lapangan kerja tidak terealisasi. Kini, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, janji menciptakan 19 juta pekerjaan juga tampak semakin jauh dari kenyataan, sementara angka pengangguran dan PHK justru meningkat.
Pernyataan Wamenaker semakin memperjelas betapa lemahnya respon pemerintah terhadap krisis ketenagakerjaan. Alih-alih mencari solusi dan menunjukkan empati, ia memilih untuk bersikap sinis seolah mencuci tangan dari tanggung jawab negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Ironisnya, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang "kabur" justru menjadi penyelamat ekonomi nasional. Mereka yang bekerja sebagai buruh migran menyumbang remitansi miliaran dolar dalam bentuk devisa setiap tahunnya terbesar kedua setelah migas, menopang perekonomian desa-desa yang tak tersentuh pembangunan, dan bahkan membantu mengurangi tekanan pengangguran di dalam negeri.
Jika pemerintah tak mampu memberikan pekerjaan dengan upah layak, setidaknya mereka bisa mengakui bahwa para pekerja migran adalah pahlawan, bukan musuh.
Pernyataan Wamenaker ini juga berseberangan dengan sikap Presiden Prabowo sendiri. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo menunjukkan keberpihakannya yang heroik pada pekerja migran, dari membela Wilfrida Soik, TKW asal Nusa Tenggara Timur yang terancam hukuman mati di Malaysia pada 2015 lalu dengan menyewa pengacara terbaik dari kantong pribadinya, hingga membantu menyelamatkan warga Indonesia yang disandera Abu Sayyaf di Filipina pada 2019.
Bahkan, Rahayu Saraswati, keponakan Prabowo, aktif dalam advokasi pekerja migran melalui yayasan yang ia dirikan sebelum kasus Wilfrida Soik.
Sikap Wamenaker jelas tidak sejalan dengan visi kebijakan atasannya. Menimbulkan pertanyaan, apakah ini bentuk ketidaktegasan dalam pemerintahan? Ataukah ini mencerminkan perpecahan visi dalam kabinet?
Lebih jauh lagi, pernyataan ini dapat dilihat sebagai pengakuan terselubung atas kegagalan pemerintah dalam menyediakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pemerintah seharusnya tidak menganggap #KaburAjaDulu sebagai ancaman, melainkan sebagai peringatan. Jika negara gagal menyediakan lapangan kerja, rakyat akan mencari solusi mereka sendiri meskipun itu berarti pergi meninggalkan tanah air.
Ini bukan soal kurangnya nasionalisme atau loyalitas, melainkan tentang bertahan hidup. Daripada bersikap sinis, pemerintah seharusnya menjadikan fenomena ini sebagai refleksi mengapa begitu banyak anak muda lebih percaya pada peluang di negeri asing dibandingkan dengan janji-janji pemerintah sendiri?
Pada akhirnya, bukan rakyat yang harus disalahkan karena memilih pergi. Negara lah yang harus bercermin—dan bertanya, mengapa mereka lebih memilih kabur daripada bertahan?
Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik