Langkah Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK) mengambil paksa pengelolaan Jakarta Convention Center (JCC) dan mengubahnya menjadi Jakarta International Convention Center (JICC), berdampak langsung terhadap salah satu pusat kegiatan Meeting Incentives, Conventions, and Exhibitions (MICE) terbesar di Indonesia tersebut.
Sejumlah BUMN, lembaga pemerintah, partai politik, perusahaan, kampus, event organizer yang sebelumnya telah berkontrak dengan JCC membatalkan kegiatannya dan memilih venue lainnya.
Beberapa klien tersebut di antaranya BRI, Mahkamah Agung, Partai Demokrat, event HijrahFest, serta sejumlah kampus seperti Trisakti dan Gunadarma yang selama ini rutin mengadakan kegiatan wisuda di JCC. Adanya persoalan hukum dan perubahan pengelola menjadi alasan utama para klien yang sudah bertahun-tahun menggunakan JCC untuk mengalihkan agendanya ke tempat lain.
“Memang benar kami mengalihkan kegiatan wisuda dari JCC ke tempat lain. Pergantian pengelola yang belum teruji tentunya menjadi pertimbangan utama keputusan tersebut,” kata seorang panitia wisuda salah satu universitas di Jakarta, Selasa 25 Februari 2025.
Pengelolaan JCC oleh PPKGBK saat ini tengah dalam sorotan. Pangkal masalahnya adalah langkah Direksi PPKGBK yang mengabaikan kesepakatan terkait pembangunan dan pengelolaan JCC sebagai aset Bangun Guna Serah (
Build Operate Transfer/BOT).
Pada saat membangun JCC, PT Graha Sidang Pratama (Pengelola JCC) telah menandatangani kesepakatan dengan PPKGBK (dulu Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan/BPGS) pada 22 Oktober 1991 dengan sejumlah klausul yang mengikat kedua pihak
Misalnya, sesuai klausul dalam pasal 8 ayat 2 Perjanjian BOT disebutkan, ketika Perjanjian berakhir pada 21 Oktober 2024, PT GSP memiliki pilihan pertama untuk memperpanjang Perjanjian dengan PPKGBK berdasarkan persyaratan yang akan ditentukan kemudian. Adanya klausul di pasal 8 ayat 2 itu membuat PT GSP berani melakukan investasi dan mengelola JCC.
Namun, PPKGBK mengabaikan klausul itu dan mengambil alih JCC secara paksa. Akibat kesewenang-wenangan itu, PT GSP menggugat PPKGBK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan sidangnya masih berlangsung.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (Asperapi), Jeffrey Eugene, sebelumnya mengatakan, situasi perubahan manajemen pengelolaan JCC menjadi JICC yang terjadi saat ini memang tengah menjadi perhatian anggota Asperapi dan seluruh pelaku usaha di industri ini.
Sebab dengan adanya perbedaan dalam cara mengelola dan standar pengelola menjadi kekhawatiran penyelenggara acara. Terlebih selama ini standar layanan JCC sudah menjadi kiblat pengelolaan MICE di Indonesia, bahkan di Asia.
“Di industri MICE Indonesia tidak banyak pelaku usaha yang memiliki kemampuan mengelola venue sebesar JCC. Isu pergantian pengelola bersama dengan manajemennya ini masih menjadi diskusi di antara kami pelaku usaha. Di lain sisi untuk mencari alternatif venue lain dengan lokasi dan kapasitas yang sama lain juga tidak mudah,” kata Jeffrey.
Chief Executive Officer (CEO) PT Wahyu Promo Citra, Sukur Saka, juga menyoroti beberapa hal terkait pengelola baru tersebut.
Pertama, kata dia, tidak hanya pengelola yang diganti secara mendadak, tapi manajemen baru ini juga membuat aturan baru yang sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Sehingga membuat penyelenggara acara menjadi kesulitan untuk memenuhinya.
Terutama terkait tenggat waktu pembayaran sewa secara penuh sebelum acara dilaksanakan. Padahal, pada pengelola sebelumnya, pembayaran dapat dilakukan maksimal tiga bulan setelah acara dan sudah ada kepercayaan yang terbentuk.
Kendala lainnya, lanjut Sukur, yaitu pihaknya tidak bisa atau dilarang untuk menggunakan vendor yang sebelumnya telah bekerja sama dengan mereka. Harus menggunakan vendor dari JICC atau PPKGBK.
Padahal, vendor yang digunakan oleh Sukur merupakan vendor langganan yang sudah biasa bekerja sama, sehingga secara pekerjaan dan layanan sudah terjamin standarnya.
PT Wahyu Promo Citra merupakan salah satu perusahaan EO yang banyak menyelenggarakan event nasional dan internasional, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam waktu dekat, perusahaan ini akan menggelar pameran produk-produk asal Indonesia bertajuk "The 2nd Made in Indonesia Expo 2025" yang akan digelar di Arena Venue, Ryaad, Arab Saudi pada 17-19 April 2025. Pameran ini ditargetkan akan diikuti oleh 180 exhibitor dari Indonesia dengan transaksi sebesar Rp2,5 triliun.
Perubahan pengelolaan, aturan, dan standar layanan di JICC ini membuat sejumlah pelaku usaha MICE mencoba mencari alternatif venue lain. Terutama untuk event yang akan diselenggarakan pada semester II 2025, sehingga masih ada waktu untuk melakukan perubahan.
Salah satunya adalah PT Okta Sejahtera Insani. Perusahaan penyelenggara Pameran Hospital Expo yang beberapa tahun terakhir menggunakan venue JCC tersebut, tengah mengkaji mencari alternatif venue lain.
Biasanya perusahaan ini menyelenggarakan Hospital Expo di JCC pada Oktober setiap tahunnya.
"Ini akan menjadi keputusan yang sulit karena lokasi JICC sangat strategis, tetapi bagi kami, kualitas layanan dan kompetensi manajemen adalah hal yang utama," ucap Direktur Utama PT Okta Sejahtera Insani, Yudha Imam Sutedja.
Melalui akun Instagramnya @love_gbk, PPKGBK juga menegaskan bahwa JCC berganti nama menjadi JICC dan mengelola dalam satu kesatuan kawasan oleh PPKGBK, sehingga dapat menyelenggarakan event internasional dengan skala lebih besar lagi. Serta mencantumkan kontak resmi bagi yang ingin menggunakan venue JICC.
Namun unggahan tersebut mendapat beragam respons dari warganet.
“Semoga begitu dikelola negara bisa lebih bersih dan rapi... soalnya tren aset dikelola negara malah rusak, tak terpelihara, dan kurang bersih,” tulis akun @indca77.
Warganet lainnya justru menyoroti mengenai pengelolaan rumput Stadion GBK yang juga dikelola oleh PPKGBK. “Rumput gimana rumput??" tulis @chaidar_moehd.