BENGKEL Teater yang berdiri di Jogja, bertujuan untuk mempertahankan adanya akal sehat. Kata Rendra, “Saya merasa lucu orang berteriak-teriak tentang stabilitas politik, tapi yang diciptakan justru ketegangan-ketegangan, keseraman-keseraman”.
Juga orang teriak tentang frustasi, keterkekangan, tapi tak melakukan apa-apa. Padahal yang harus dirubah adalah fakta-fakta yang berada di luar kita seperti hukum, adat-istiadat dan peraturan-peraturan.
“Perangkap-perangkap di luar diri manusia itu tidak pernah digarap. Baik oleh yang disebut pemerintah, maupun masyarakat. Orang hanya berpikir jika pribadi-pribadi manusia itu baik, maka tak ada masalah lagi,” ujar Rendra.
Menurut Rendra, benar bahwa dengan Mastodonnya, ia bermaksud memberikan peringatan akan adanya gejala yang timbul dalam usaha pembangunan masyarakat.
Mengingatkan bahwa keadaan-keadaan yang ekstrim seperti dalam Mastodon itu bisa saja terjadi. “Mastodon”, merupakan reaksi orang kebudayaan terhadap situasi politik. “Yang saya kemukakan adalah hukum kemasyarakatan secara umum, common sense secara umum, yang kebetulan dilihat oleh seorang budayawan.”
Apabila ada kritik, bahwa Mastodon di dalamnya banyak memaki-maki Pemerintah, maka menurut Rendra ada benarnya. Tapi mastodon juga berisi maki-makian terhadap misalnya para mahasiswa. Mastodon menampilkan jalan perubahan kultural.
Mastodon merupakan rekoreksi diri Arif Budiman yang dulu ingin menjadi penyair dan pelukis (pada tahun 1964). Ide untuk Mastodon ini tercetus suatu hari ketika berlangsung diskusi rutin Bengkel Teater.
Aktivis mahasiswa Soe Hok Gie dan Arif Budiman. Keduanya bersaudara memberikan inspirasi gerakan " Tritura" di tahun 1966.
Tokoh gerakan mahasiswa 1966 itu sempat menyebut Prabowo (Presiden) sobat mudanya tersebut sebagai sosok yang cerdas namun naif.
Rendra mengungkapkan beberapa tipe kepemimpinan di masyarakat.
Pertama, kepemimpinan yang karismatik. Pemimpin yang seperti ini lebih kepada karisma dari sosok pemimpinnya. Pemimpin yang seperti inilah yang tidak membutuhkan lembaga-lembaga karena cukup dengan wibawanya saja maka semua bisa diatur. Tapi terkadang tipe pemimpin seperti inilah yang diktator.
Yang kedua, kepemimpinan yang berdasarkan lembaga dan berpegang pada nurani. Kepemimpinan seperti ini biasanya kurang memberikan efek wibawa pada pemimpinnya.
Mereka-mereka para diktator merupakan seorang gerilyawan yang berpegang pada kewajiban-kewajibannya. Nilai-nilai perubahan itulah yang telah direbut berubah menjadi sebuah mastodon yang siap menginjak-injak apapun. Semuanya memerlukan proses. Ada burung dan mastodon. Itulah Rendra.
"Burung-burung kondor menjerit, tersingkir ke tempat yang sepi. Masyarakat membutuhkan perubahan yang berdasar pada nurani dan jasad."
Pertama kali dipentaskan oleh Bengkel Teater pada 1973 di Kridosono, Yogyakarta, Gedung Merdeka Bandung, dan Istora Senayan Jakarta.
Sebulan sesudah pementasan di Istora Senayan itu terjadi kerusuhan besar-besaran di Jakarta sebagai bangkitnya kesadaran mahasiswa menentang cengkeraman modal (kekuatan) asing, yang kemudian menyejarah dan terkenal dengan peristiwa 14-15 Januari 1974 atau MALARI.
Di beberapa media cetak disebutkan bahwa pentas Mastodon dan Burung Kondor karya Rendra ikut memicu kesadaran para aktivis Malari.
Sajak Mastodon dan Burung Kondor Rendra penyulut semangat. Rasanya, tak berlebihan anggapan bahwa karya Rendra ini telah memicu kesadaran para aktivis era 70an itu (1974-1978). Sepanjang pentas, saya larut dalam emosi yang dibawanya. Rasa marah, getir, dan sedih mendominasi.
Kritik bahwa tingginya angka pertumbuhan tidak berimplikasi pada kesejahteraan rakyat sungguh mirip kondisi saat ini.
Lahir Reformasi 1998, memberikan lebih dua dekade pertumbuhan belum memberikan jawaban tentang keadilan.
Belum lama, tanggal 20 Februari 2025, lahir gerakan "Indonesia Gelap". Sejarah nampak berlanjut Mastodon tetap kembali hadir berkuasa dan Burung Kondor tetap menderita.
*Penulis adalah Eksponen Gema 77/78