TEMA pelantikan kepala daerah dan revisi UU Minerba, jika dicermati secara normatif, menunjukkan dua peristiwa yang tampaknya berbeda dan tidak terhubung. Namun, jika dilihat dari sudut pandang substansial, kedua peristiwa ini — yaitu pelantikan 961 kepala dan wakil kepala daerah pada 20 Februari dan pengesahan RUU Minerba pada 18 Februari — memiliki keterkaitan yang sangat erat. Di satu sisi, pelantikan yang dilakukan secara serentak dan terpusat di Jakarta menjadi momen penuh euforia, simbol harapan masyarakat terhadap pemimpin baru yang diharapkan mampu membawa perubahan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Sebaliknya, revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang disahkan dua hari sebelum pelantikan tersebut menjadi pukulan telak bagi semangat otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sangat penting untuk dicermati bahwa di tengah euforia kemenangan dan pelantikan kepala daerah, pemerintah dan DPR melakukan langkah cepat dengan mengesahkan revisi UU Minerba, yang salah satu ketentuan di dalamnya secara substantif menggerogoti kewenangan pemerintah daerah dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Hal ini menyebabkan kepala daerah yang baru dilantik kehilangan instrumen penting dalam mengelola sumber daya alam di wilayahnya. Ironisnya, pelantikan mereka yang dilakukan secara terpusat di Jakarta semakin menegaskan kuatnya sentralisasi kewenangan di tangan pemerintah pusat. Ini menjadi alasan yang tepat untuk mendiskusikan tema ini, agar dapat menyoroti ketimpangan antara harapan dan realitas. Di satu sisi, kepala daerah dibekali mandat besar dari rakyat, namun di sisi lain, kewenangan mereka dikurangi dalam sektor yang sangat strategis bagi pembangunan daerah.
Fenomena pelantikan kepala daerah yang terpusat di Jakarta dan revisi UU Minerba dapat dipandang sebagai simbol kembalinya pemerintahan sentralistik, suatu kondisi yang bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang lahir dari reformasi 1998. Reformasi menuntut desentralisasi kekuasaan agar daerah memiliki kewenangan dalam mengelola pemerintahan dan sumber daya mereka sendiri.
Namun, tren kebijakan yang berkembang belakangan ini justru mengarah ke arah yang sebaliknya. Pelantikan serentak di Jakarta menghilangkan nuansa kedaerahan dalam proses demokrasi lokal. Biasanya, pelantikan kepala daerah dilakukan di masing-masing daerah sebagai bentuk penghormatan terhadap rakyat yang memilih mereka. Namun, dengan pemusatan di Jakarta, hal ini dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah pusat untuk memperkuat kontrol politik atas daerah, sehingga mengurangi independensi kepala daerah dan menegaskan dominasi pusat dalam sistem pemerintahan.
Lebih jauh, kebijakan revisi UU Minerba, khususnya Pasal 4 ayat (2), yang mengatur penguasaan mineral dan batu bara oleh pemerintah pusat, semakin menegaskan pergeseran menuju sentralisasi kewenangan. Meskipun kepala daerah tetap dipilih melalui mekanisme demokratis, otoritas mereka dalam menentukan kebijakan yang berdampak langsung pada daerah semakin berkurang. Jika tren ini berlanjut, maka semangat otonomi daerah yang merupakan amanat reformasi 1998 akan semakin melemah. Pemerintahan daerah kemungkinan besar akan berfungsi lebih sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat ketimbang sebagai entitas yang benar-benar memiliki kewenangan otonom.
Peristiwa ini tidak dapat dipandang sebagai hal yang sederhana, karena dampaknya sangat luas terhadap tata kelola pemerintahan di daerah. Dampak negatif sentralisasi kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti yang terjadi melalui revisi UU Minerba, dapat menggerus otonomi daerah.
Prinsip desentralisasi yang diperjuangkan sejak reformasi 1998 semakin terkikis, sehingga pemerintah daerah kehilangan kendali atas kebijakan strategis yang berpengaruh langsung pada kesejahteraan rakyat. Kepala daerah kini lebih berperan sebagai administrator tanpa otoritas dalam mengelola aset ekonomi daerah, sehingga mereka kehilangan daya tawar yang kuat dalam menentukan arah pembangunan berbasis sumber daya alam.
Sentralisasi kewenangan ini juga memperparah ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan. Keuntungan besar dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) lebih banyak mengalir ke pusat dan korporasi besar, sementara masyarakat lokal hanya merasakan dampak negatif, seperti penggusuran, degradasi lingkungan, dan minimnya peluang kerja.
Dana Bagi Hasil (DBH) yang seharusnya menjadi kompensasi untuk daerah sering kali tidak sesuai dengan kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional. Akibatnya, infrastruktur dan pembangunan daerah tertinggal akibat berkurangnya pendapatan.
Dampak serius lainnya adalah kerusakan lingkungan yang sulit terawasi. Dengan kewenangan perizinan yang berada di tangan pusat, daerah kehilangan hak untuk mengontrol maupun mengawasi dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan. Perusahaan tambang cenderung lebih fokus pada eksploitasi tanpa memperhatikan pemulihan lingkungan, dan pengawasan dari pusat sering kali lemah.
Akibatnya, pencemaran air, udara, dan tanah semakin meluas, sementara masyarakat yang terdampak kehilangan akses untuk mempertahankan kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Kondisi ini dikeluhkan oleh Mantan Gubernur Kalimantan Timur terkait Perubahan UU Minerba No. 4 Tahun 2009 (Antara, 11/4/2022).
Selain itu, sentralisasi juga meningkatkan konflik sosial dan sengketa lahan. Keputusan yang diambil di tingkat pusat sering kali tidak mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya lokal, yang memicu perlawanan dari masyarakat yang terpengaruh langsung oleh proyek pertambangan atau eksploitasi SDA lainnya. Masyarakat adat dan kelompok lokal menjadi pihak yang paling dirugikan, karena izin tambang diberikan tanpa melibatkan mereka, mengakibatkan semakin banyaknya kasus penggusuran dan perampasan lahan.
Tanpa kewenangan yang memadai, pemerintah daerah kesulitan dalam membela kepentingan rakyatnya, sehingga masyarakat kehilangan kekuatan untuk mempertahankan hak atas tanah dan sumber daya mereka. Bahkan, revisi UU Minerba Pasal 162 dan 164 secara tegas mengancam pidana bagi pihak-pihak yang melakukan perlawanan terhadap pelaksanaan IUP di wilayah pertambangan.
Di samping itu, hilangnya kewenangan daerah dalam mengelola SDA juga menyebabkan berkurangnya inovasi dan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya. Pemerintah daerah yang lebih memahami kondisi lokal tidak lagi memiliki fleksibilitas dalam merancang kebijakan yang efektif dan berkelanjutan. Sebaliknya, dengan pengambilan keputusan yang terpusat, pengelolaan SDA menjadi birokratis, lamban, dan kurang responsif terhadap kebutuhan daerah.
Dampak buruk lainnya adalah meningkatnya potensi korupsi di tingkat pusat. Sentralisasi kewenangan atas izin SDA menciptakan peluang bagi praktik korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang, karena keputusan dikuasai oleh segelintir pejabat. Pengusaha yang ingin mendapatkan izin usaha tambang lebih mungkin melakukan lobi politik atau praktik tidak transparan di tingkat pusat, sementara masyarakat daerah tidak memiliki akses langsung untuk mengawasi dan mengontrol proses pemberian izin, yang semakin memperlemah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan SDA.
Lebih jauh, dengan revisi regulasi yang menghilangkan peran daerah dalam pemberian izin usaha pertambangan, pengelolaan SDA kini lebih dikendalikan oleh pemilik modal besar yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah pusat. Sementara itu, daerah penghasil SDA hanya menjadi penonton, tanpa kendali atas kekayaan alamnya sendiri dan tanpa manfaat ekonomi yang sebanding. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, sentralisasi ini justru memperbesar ketimpangan.
Keuntungan besar dari eksploitasi SDA mengalir ke pusat dan korporasi besar, sementara daerah hanya menerima DBH yang sering kali tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang mereka tanggung. Akibatnya, banyak daerah penghasil SDA tetap tertinggal dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan, meskipun sumber daya mereka dieksploitasi secara besar-besaran.
Secara keseluruhan, sentralisasi kewenangan SDA bukan hanya merugikan daerah secara ekonomi, tetapi juga memperburuk ketimpangan, merusak lingkungan, meningkatkan konflik sosial, dan memperbesar peluang korupsi. Jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan distribusi manfaat yang adil, maka daerah penghasil SDA hanya akan menjadi ladang eksploitasi tanpa kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk menghindari dampak buruk ini, pemerintah pusat harus memberikan porsi lebih besar dalam bagi hasil SDA kepada daerah, melibatkan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan, serta memastikan transparansi dan keberlanjutan dalam pengelolaan SDA.
Harapan bagi kepala daerah yang baru dilantik adalah agar mereka tetap berpihak kepada rakyat dan tidak larut dalam euforia kekuasaan yang berkepanjangan. Tantangan besar yang mereka hadapi adalah kewenangan yang semakin didegradasi oleh pemerintah pusat, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya bisa menjadi pilar kesejahteraan daerah. Jika mereka kehilangan daya kritis dan hanya menjadi perpanjangan tangan pusat tanpa keberanian memperjuangkan hak daerah, maka semangat otonomi yang diamanatkan oleh konstitusi akan semakin pudar.
Kepala daerah harus mampu membangun strategi yang cerdas dalam memperjuangkan kepentingan daerahnya, baik melalui diplomasi politik, penguatan regulasi lokal, maupun membangun solidaritas dengan daerah lain yang mengalami permasalahan serupa. Mereka tidak boleh hanya menjadi administrator yang tunduk pada kebijakan pusat tanpa mempertanyakan dampaknya bagi rakyat di daerah. Semangat otonomi daerah harus terus diperjuangkan agar kekuasaan yang mereka emban benar-benar digunakan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar menjalankan instruksi dari pusat tanpa evaluasi yang kritis.
Hanya dengan demikian, keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam dapat benar-benar terwujud.
*Penulis merupakan Peneliti pada Pusat Riset Hukum – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ketua Umum Pemuda ICMI.