Berita

Ilustrasi (AI/AT)

Publika

Ndasmu!

SENIN, 17 FEBRUARI 2025 | 08:37 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

INDONESIA telah memasuki babak baru dalam kepemimpinannya. Era Presiden Prabowo Subianto, yang sejak awal menjanjikan ketegasan dan keberanian, kini mulai menunjukkan warnanya —bukan hanya dalam kebijakan, tetapi juga dalam pilihan diksi yang diucapkan di hadapan publik.

Sabtu, 15 Februari 2025, di Sentul Convention Center, Prabowo dengan tenang —tapi jelas terdengar— mengucapkan kata “ndasmu” hingga tiga kali dalam orasinya. Kata ini, bagi orang Jawa, terutama Mataraman, merupakan ungkapan yang kasar, jauh dari sekadar “kepalamu” dalam bahasa Indonesia.

Lebih dari itu, kata ini mencerminkan ekspresi ketidaksabaran, kemarahan, atau penghinaan. Dan ini bukan pertama kalinya. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo telah beberapa kali menggunakan kosakata ini: “ndasmu” —sebuah nada penuh penghinaan yang menyasar kondisi isi kepala seseorang.

Ia pernah mengucapkannya pada 2019 saat mengomentari pertumbuhan ekonomi 5 persen di era Jokowi, pernah di hadapan kader PAN, dan pernah pula dalam debat Pilpres 2024. Kali ini, sasaran umpatan halusnya para pengkritik yang meragukan program makan bergizi gratis dan mereka yang mengatakan bahwa ia masih dikendalikan Jokowi.

Namun, pertanyaannya: apakah pantas seorang presiden berbicara demikian?

Seorang pemimpin tidak hanya dinilai dari kebijakan yang dibuatnya, tapi juga dari cara ia berkomunikasi. Kata-kata mencerminkan karakter, dan dalam politik, kata-kata adalah senjata.

Di tangan pemimpin yang bijak, kata-kata menenangkan rakyat, membangun harapan, dan merangkul perbedaan. Sebaliknya, di tangan pemimpin yang emosional, kata-kata bisa menjadi pisau tajam yang melukai demokrasi.

Sejarah mencatat bagaimana para pemimpin besar menggunakan kata-kata sebagai alat perubahan. Soekarno berpidato dengan gaya membakar semangat, Habibie berbicara dengan ketajaman intelektual, dan Gus Dur merangkul lawan politik dengan humor yang menggugah tawa, bukan umpatan.

Prabowo, dengan latar belakang militernya, tampaknya lebih memilih pendekatan yang lain. Ada nada defensif dalam ucapannya, seolah kritik adalah ancaman yang harus segera ditumpas, bukan masukan yang perlu didengar.

Sikap ini mengingatkan pada para pemimpin otoriter yang melihat oposisi bukan sebagai bagian dari demokrasi, melainkan sebagai gangguan yang harus dibungkam. Sebuah alarm tanda bahaya bagi demokrasi sejati.

Sebagai mantan jenderal, Prabowo terbiasa dengan dunia militer yang hierarkis, di mana perintah adalah hukum dan kepatuhan adalah keharusan. Namun, sebagai pemimpin sipil, ia harusnya beradaptasi dengan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi perbedaan pendapat.

Penggunaan kata “ndasmu” menunjukkan bahwa adaptasi ini tampaknya masih jauh dari sempurna. Reaksi emosional terhadap kritik mengindikasikan bahwa Prabowo lebih nyaman dengan lingkungan di mana loyalitas tanpa syarat lebih dihargai daripada diskusi terbuka.

Ironisnya, ia sendiri pernah berjanji bahwa di bawah kepemimpinannya, kritik akan dihormati. Tetapi jika kritik dibalas dengan kata kasar, bagaimana nasib demokrasi ke depan?

Ucapan seorang presiden bukan sekadar refleksi pribadi, tetapi juga representasi dari nilai yang ia bawa dalam pemerintahannya. Jika di awal masa kepresidenannya saja sudah ada indikasi intoleransi terhadap kritik, maka ini bisa menjadi alarm bahaya bagi kebebasan berekspresi di masa depan.

Seorang pemimpin yang tidak tahan dikritik biasanya akan melangkah lebih jauh: dari sekadar mengumpat, menjadi membungkam. Dari hanya melontarkan kata kasar, menjadi melabeli lawan politik sebagai musuh negara.

Sejarah dunia telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak mati dalam semalam, melainkan perlahan-lahan, dimulai dari sikap pemimpin yang anti-kritik. Berbekal arogansi kekuasaan, ini bisa berlanjut ke aksi pembungkaman, kriminalisasi, bahkan pembunuhan. Naudzubillah.

Seorang pemimpin besar tidak akan jatuh hanya karena kritik. Justru, kritik adalah vitamin bagi pemerintahan yang sehat. Jika Prabowo benar-benar ingin membuktikan bahwa ia bukan boneka, bukan sekadar pelaksana program Jokowi, maka cara terbaik adalah menunjukkan kepemimpinan yang matang —bukan dengan mengumpat, tetapi dengan menjawab kritik melalui tindakan nyata.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, tetapi juga bijak. Kekuatan tanpa kebijaksanaan hanya akan melahirkan ketakutan, bukan keteladanan.

Maka, jika ada yang bertanya, “Apakah pantas seorang presiden berkata kasar?” Jawabannya jelas dan lantang: tidak. Sungguh tidak.

Dan jika ada yang ingin membela dengan berkata, “Ah, itu hanya ekspresi spontan,” maka mari kita jawab dengan satu kata Jawa yang lebih beradab: “Sirahmu!”

*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an



Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

KPK Ngeles Soal Periksa Keluarga Jokowi

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:34

Indonesia Tak Boleh Terus Gelap!

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:33

Kepada Ketua DPRD, Tagana Kota Bogor Sampaikan Kebutuhan Ambulans

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:20

Kepala Daerah yang Tak Ikut Retret Perlu Dikenakan Sanksi

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:19

DPP Golkar Didesak Batalkan SK Pengangkatan Ketua DPRD Binjai

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:15

Tantangan Anak Muda Bukan Hanya Cita-cita, Tetapi Ancaman Penyalahgunaan Narkoba

Jumat, 21 Februari 2025 | 19:02

Bareskrim Ungkap Jaringan Judol Internasional Beromzet Ratusan Miliar

Jumat, 21 Februari 2025 | 18:54

HIPMI Yakin Kaltara Bisa Maju di Bawah Kepemimpinan Zainal-Ingkong

Jumat, 21 Februari 2025 | 18:49

Nusron Pecat 6 Pegawai Pertanahan Bekasi

Jumat, 21 Februari 2025 | 18:44

GAK LPT Desak Presiden Terbitkan Perppu Cabut UU KPK

Jumat, 21 Februari 2025 | 18:32

Selengkapnya