Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia/Ist
BANYAK yang menyalahkan Menteri ESDM Bahlil terkait antrean LPG 3 kg di Jakarta beberapa waktu lalu. Antrean terjadi karena kebijakan menteri ESDM yang ingin memperkuat pendataan dengan cara menjadikan pangkalan sekaligus sebagai pengecer.
Namun kebijakan ini tidak didukung oleh pelaku bisnis LPG 3 kg sehingga muncullah aksi antrean di berbagai tempat. Sebetulnya ini tidak perlu terjadi jika pelaku bisnis membantu pemerintah.
Namun ini sudah terjadi dan tidak perlu disesali oleh Menteri ESDM. Tapi menjadi bahan evaluasi bahwa kebijakannya tidak didukung oleh pelaku bisnis LPG. Ini juga menunjukkan bahwa pelaku bisnis LPG kg sangat sakti. Lebih sakti dari Menteri ESDM.
Di bagian lain para pembantu menteri dan BUMN yang ditugaskan memegang monopoli pusat bisnis LPG tidak memberikan informasi yang benar kepada Menteri ESDM. Tampaknya mereka juga tidak mendukung rencana Menteri ESDM ini.
Bisnis LPG adalah salah satu bisnis energi dengan pasar yang pasti, keuntungannya dijamin oleh pemerintah. Menurut data BPS 2021 persentase rumah tangga berdasarkan bahan bakar untuk keperluan memasak sebanyak 83,36 persen menggunakan LPG, sebanyak 0,76 persen menggunakan listrik dan 2,78 persen masih menggunakan minyak tanah.
Jadi ini adalah bisnis bahan bakar untuk memasak yang pasti akan menghasilkan cuan melimpah bagi pelakunya.
Namun bisnis LPG adalah anomali yang besar. Satu sisi konversi minyak tanah ke LPG telah berhasil, namun sisi lain konversi atau LPG ke kompor induksi gagal.
Memasalkan LPG sebagai bahan bakar adalah sesuatu yang anomali. Satu sisi bahan bakar bagi rumah tangga untuk memasak berhasil disediakan. Sisi lain telah menghasilkan ketergantungan pada LPG impor dan subsidi yang membengkak.
Bayangkan subsidi LPG sekarang, jika LPG impor harganya adalah 650 dolar per ton saat ini, maka harga LPG per kg adalah Rp10.700 per kg LPG pada kurs saat ini Jadi harga LPG 3 kg minimal Rp32.175 per tabung. Jadi setiap tabung di subsidi senilai Rp19.425 per tabung.
Dengan demikian nilai subsidi setiap kilogram LPG 3 kg adalah Rp6.475. Dengan demikian nilai subsidi 8 miliar ton LPG 3 kg adalah Rp52 triliun minimal di luar pajak, pungutan lain, margin SPBE, margin agen, dan margin pangkalan.
Sehingga subsidi bisa mencapai Rp117 triliun tahun 2023 menurut data Kementerian ESDM, tertinggi dalam kelompok subsidi bahan bakar yang dijual Pertamina.
Bukan itu saja masalah utamanya. Adanya anomali yang lebih berbahaya yakni terciptanya peluang korupsi yang sangat besar dalam rantai
supply LPG. Selisih harga antara harga LPG non subsidi yang mencapai 1,5 kali harga LPG subsidi 3 kg.
Keadaan ini telah mengakibatkan terjadinya penyelewengan besar, yakni mengoplos LPG 3 kg menjadi LPG 5,5 kg dan LPG 12 kg.
Pemerintah gagal melakukan pendataan secara benar berapa sebenarnya LPG subsidi yang disalurkan ke masyarakat. Padahal caranya gampang. Pemerintah harus mendata secara akurat betapa tabung LPG 3 kg dan berapa tabung LPG 5,5 kg dan 12 kg yang ada di rumah-rumah penduduk.
Dengan demikian, maka akan ketahuan berapa jumlah LPG subsidi 3 kg yang dioplos menjadi 5,5 kg dan 12 kg. Gampang sekali.
Kata kunci dalam masalah ini adalah tidak mungkin LPG subsidi 3 kg itu mencapai 97 persen dari total LPG yang diperdagangkan. Ini patut dicurigai ada pengoplosan besar besaran dalam perdagangan LPG 3 kg. Akibatnya subsidi habis dicuri dalam rantai
supply perdagangan LPG.
Menteri ESDM dibuat salah kaprah, berharap bisa menyelesaikan carut-marut LPG 3 kg melalui penjualan di pangkalan. Padahal masalah sebenarnya kebocoran subsidi LPG 3 kg itu sangat mungkin terjadi pada level yang lebih tinggi, yakni agen dan SPBE.
Sepanjang jumlah tabung LPG 5,5 kg dan jumlah tabung LPG 12 kg yang ada di rumahnya penduduk datanya disembunyikan, maka pengoplosan LPG akan menjadi bisnis ilegal dengan keuntungan mencapai 25-30 persen dari subsidi LPG 3 kg. Sedap!
Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)