ADA satu hal yang selalu bisa kita andalkan dari seorang Presiden: setiap katanya punya makna. Jangan pernah berpikir bahwa seorang kepala negara berbicara hanya karena iseng atau sekadar mengisi waktu luang. Tidak. Setiap kalimat yang keluar dari mulut seorang Presiden, termasuk Jokowi, selalu punya tujuan.
Masalahnya, apakah tujuan itu untuk rakyat atau untuk kantong segelintir orang?
Mari kita kilas balik ke tahun 2016. Anda ingat, dengan raut wajah penuh kekhawatiran dan seolah polos yang jadi gayanya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi, usai rapat kabinet di Istana, menyatakan bahwa Jakarta sedang menuju tenggelam. Serius, tenggelam! Bukan banjir tahunan biasa, bukan sekadar air menggenang akibat hujan yang kala itu sulit diatasi.
Ini tentang tanah Jakarta yang disebut mengalami penurunan 7,5 hingga 12 sentimeter per tahun. Dengan hitungan sederhana, pada 2030 bagian utara Jakarta bisa benar-benar lenyap ditelan laut. Media pun heboh, rakyat panik, seolah tsunami bakal datang bukan dari Samudera Hindia, melainkan dari proyek-proyek yang mendadak kebanjiran investasi.
Tapi mari kita berpikir kritis sejenak. Dari mana data itu berasal? Apakah hasil riset mendalam? Apakah ada penelitian terbaru dengan metodologi mutakhir yang menjadi rujukan seorang kepala negara? Sayangnya, tidak. Data itu bersumber dari penelitian lama (Moechtar 2003) dengan skala 1:1.000.
Para pakar menyadari bahwa penelitian tanah dengan skala demikian, apalagi menyangkut pergerakan lempeng tektonik, terlalu kabur untuk menjadi dasar kebijakan besar. Masyarakat awam tak memahami ini. Badan Geologi pernah berencana memperbaruinya dengan skala 1:100. Tapi, itu hanya wacana 2015 yang menguap entah ke mana.
Lalu, tiba-tiba solusi pun datang: reklamasi! Oh, indahnya kebetulan. Jika Jakarta benar-benar akan tenggelam, tentu kita butuh pengurugan. Tanah yang amblas perlu ditinggikan. Pernyataan Jokowi kemudian menjadi mantra dan legitimasi bagi siapa lagi kalau bukan para taipan tuan tanah untuk melakukan reklamasi, menciptakan daratan baru.
Dan siapa yang beruntung? Bukan rakyat kecil, tentu saja. Para taipan yang sejak lama mengintai peluang segera mengantongi izin. Berbekal ‘fatwa’ Presiden, mereka mulai bergerak. Tanah rakyat dibeli dengan harga murah, sering kali melalui tekanan—dari pengerahan aparat hingga bujuk rayu dan tipu daya.
"Demi pembangunan," kata mereka.
"Demi Jakarta yang tidak tenggelam," tambah yang lain dengan wajah prihatin.
Dengan peraturan setingkat undang-undang yang memberi legitimasi proyek strategis nasional, mereka bergerak. Tapi, apa yang terjadi setelahnya? Tanah-tanah itu dijual kembali dengan harga puluhan kali lipat, menjadi properti mewah yang hanya bisa diakses segelintir orang.
Yang lebih fantastis lagi, mereka bahkan memiliki tanah di atas laut! Coba bayangkan: di negara yang katanya berdasarkan Pancasila, di mana tanah, air, dan kekayaan alam seharusnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tiba-tiba ada sekelompok orang yang bisa mengantongi sertifikat kepemilikan atas laut.
Ya, laut! Bukan lagi sekadar "tanah air," ini sudah level "tanah atas air".
Sekilas, tampaknya tidak ada hubungan langsung antara pernyataan Presiden pada 2016 dengan proyek pemagaran laut di Tangerang. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, benang merahnya mulai terlihat. Para taipan pendukung utama Jokowi dalam pemilu melihat peluang emas untuk memulai proyek jangka panjang.
Mereka memulainya dengan pagar laut, lalu pembangunan tanggul laut, hingga pengurugan laut untuk dijadikan daratan baru. Apalagi, dalam upaya membiayai kampanye menuju Pilpres 2019 dan wacana perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode pada 2024, dibutuhkan dana yang sangat besar. Di sinilah kongkalikong antara kekuasaan dan oligarki menemukan momentumnya.
Untungnya, ada orang seperti Said Didu yang berani membongkar niat jahat itu. Kasus penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM) di atas perairan laut Tangerang pun menjadi sorotan. Menteri Nusron Wahid memastikan bahwa pagar laut di Desa Kohod berada di area tanah musnah, sehingga sertifikat kepemilikan harus dibatalkan.
Faktanya, memang tidak ada bukti signifikan terjadinya abrasi di pantai utara Tangerang sejak 1980-an hingga sekarang, sebagaimana dikatakan para pejabat dari tingkat desa hingga nasional. Bahkan, jika memang terjadi abrasi yang menyebabkan tanah daratan musnah menjadi perairan laut, maka hak atas tanah tersebut juga hilang sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria.
Ironisnya, proyek reklamasi yang awalnya diklaim untuk mencegah Jakarta tenggelam justru berpotensi mempercepat proses penurunan tanah. Penambahan beban di atas tanah yang rapuh dapat mempercepat subsidensi. Alih-alih menjadi solusi, proyek ini bisa menjadi bumerang bagi Jakarta, dengan dimulai dari wilayah pantai Tangerang yang memang berhubungan langsung dengan Jakarta.
Dalam drama ini, kita melihat bagaimana data yang tidak akurat digunakan untuk mendukung agenda tertentu. Kekhawatiran akan tenggelamnya Jakarta dijadikan alasan untuk proyek reklamasi yang menguntungkan segelintir pihak.
Sebagai masyarakat, kita harus lebih kritis dan reflektif dalam menerima informasi. Jangan sampai kita terjebak dalam narasi yang menyesatkan dan merugikan kepentingan bersama. Pernyataan Presiden Jokowi yang tampaknya biasa-biasa saja ternyata menjadi masalah besar yang melibatkan banyak pihak.
Kini, Jakarta memang belum tenggelam. Tapi tanah rakyat sudah amblas, tersedot ke rekening para oligark. Dan saat reklamasi telah berdiri megah, siapa yang benar-benar tenggelam? Bukan Jakarta. Tapi kita, rakyat biasa, yang semakin terpinggirkan.
Jadi, lain kali seorang Presiden berbicara, jangan buru-buru percaya atau sekadar mengangguk-angguk. Tanyakan: siapa yang akan diuntungkan dari pernyataan ini? Sebab jika kita tak waspada, hari ini kita diberi peringatan soal Jakarta yang tenggelam—besok, mungkin giliran kita yang tenggelam dalam ketidakadilan.