Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati/Ist
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diingatkan untuk tidak mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait pelantikan kepala daerah terpilih pada Pemilihan Serentak 2024.
Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menyampaikan hal tersebut kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL pada Kamis, 30 Januari 2025.
Sosok yang kerap disapa Neni itu menilai, keputusan yang telah diambil pemerintah bersama DPR RI tidak sesuai Putusan MK Nomor 27 dan 46/PUU XXII/2024.
Pasalnya, dia memandang dua putusan MK itu mengamanatkan pelantikan kepala dan wakil kepala daerah hasil Pemilihan Serentak 2024 digelar secara serentak, dan menanti proses sengketa hasil pilkada di MK usai.
Tetapi Neni mendapati, jadwal pelantikan kepala daerah hasil Pemilihan Serentak 2024 diputuskan Pemerintah dan DPR digelar secara bergelombang, dan akan dimulai pada 6 Februari 2025.
“Saya tentu mempertanyakan keputusan pemerintah dan DPR untuk mempercepat pelantikan secara bergelombang yang justru mereduksi desain keserentakan Pilkada yang telah ditentukan," ujar Neni.
Akibat dari proses sengketa hasil Pemilihan 2204 di MK masih berlangsung, dan sesuai dengan jadwal akan berakhir pada pertengahan Maret 2025, Neni memandang akan muncul dampak dari keputusan Pemerintah dan DPR membuat pelantikan kepala daerah terpilih bergelombang.
"Hal ini akan berpotensi menimbulkan gugatan kepala daerah yang masih menjabat. Sebab, sejumlah kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah tahun 2020 sangat tidak sepakat dan menyampaikan keberatan dengan keputusan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu yang menyepakati pelantikan secara bertahap itu," tuturnya.
Karena itu, Neni memandang masa jabatan hasil Pemilihan Serentak 2020 akan tidak sepakat, karena keputusan Pemerintah dan DPR itu akan dinilai tidak adil mengingat masa jabatannya terpotong.
Di samping itu, dia juga meyakini pada kepala daerah yang masih menjabat akan melakukan pengorbanan terakhir kepada rakyatnya, yang tentu akan berdampak pada keberlangsungan pembangunan di daerahnya bagi yang tidak lagi menjabat di periode berikutnya.
“Ketika pemerintah dan DPR sangat terburu-buru untuk melakukan pelantikan, maka tentu ini menimbulkan tanda tanya. Ada kepentingan apa sampai mengorbankan kepatuhan terhadap hukum yang seharusnya putusan MK dihormati dan ditindaklanjuti," tutur dia.
"Jangan sampai ada tafsir yang
logical fallacy dengan sengaja dibuat untuk memuluskan rencana tertentu. Pemerintah juga bukan hanya mengingkari putusan MK tetapi keputusan yang sudah dibuatnya sendiri terkait dengan periodisasi masa jabatan kepala daerah," demikian Neni menambahkan.