INDONESIA adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang dihubungkan oleh laut, terletak pada posisi silang jalur lintas laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta di antara Benua Asia dan Benua Australia yang terdiri dari 17000 pulau yang tersebar di seluruh wilayahnya.
Pada tahun 1980, Indonesia berjuang untuk memperoleh pengakuan Internasional atas Zona Ekonomi Eklusif (ZEE). ZEE adalah wilayah laut yang terletak di luar perairan teritorial suatu negara, tetapi masih dianggap sebagai bagian dari wilayah ekonomi negara tersebut.
Yang memperjuangkannya adalah Bapak Mochtar Kusuma Atmaja, seorang diplomat senior dan ahli hukum internasional Indonesia dengan argumennya ”sebagai negara kepulauan mempunyai hak Zona Ekonomi Eklusif”, akhirnya Indonesia memiliki hak untuk memperoleh ZEE mencakup laut seluas 3 juta meter persegi.
Dengan demikian, Indonesia memperoleh hak-hak ekonomi atas sumber daya laut dalam ZEE-nya, termasuk sumber daya mineral, perikanan dan lainnya, disepakati pada Kovensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada tahun 1982.
Isu yang berkembang belakangan ini diterbitkannya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) laut dan dipagarnya laut melanggar prinsip hukum dan tata kelola pemerintahan adalah penyalahgunaan wewenang, cerminan buruk dari
policy distortion yang mengorbankan prinsip hukum.
Penerbitan SHGB ini melibatkan otoritas tertinggi, kita berhadapan dengan
eksekutif impunity yang harus dihentikan, sistem negara demokrasi dan hukum tidak ada ruang penyalahgunaan wewenang untuk berlindung di balik jabatan. Berpihak pada korporasi merupakan pengkhianatan terhadap fungsi negara sebagai pelindung ruang publik daerah pesisir yang menjadi sandaran masyarakat nelayan tradisional (masyarakat kecil).
Menurut asas “Principle of carefulness” (asas kehati-hatian) dalam konteks pengelolaan sumber daya laut dan pesisir menekankan pentingnya pemerintah untuk bertindak hati-hati dan bijaksana dalam mengambil keputusan terkait pengelolaan sumber daya laut dan pesisir. Prinsip-prinsip yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah harus memastikan kebijakan pagar laut tidak diskriminatif dan tidak melanggar hak-hak masyarakat pesisir.
Prinsip keseimbangan, pemerintah harus memastikan kebijakan pagar laut seimbang dengan kepentingan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya laut dan pesisir.
Prinsip Keterbukaan, pemerintah harus memastikan kebijakan pagar laut transparan dan terbuka bagi masyarakat sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan.
Politik (kebijakan) adalah mencapai tujuan dalam waktu yang tidak terbatas dirumuskan secara normatif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan termasuk penerapannya. Publik adalah masyarakat, bangsa dan negara maupun warga negara yang tidak terlibat dalam penyelenggara negara.
Prinsip (asas) suatu standar ukuran yang abstrak dan moralis yang harus diterapkan secara konkret untuk dapat dinikmati semua orang. Sedangkan hukum seperangkat peraturan yang bersifat hak dan kewajiban, baik bagi setiap warga negara maupun para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Apabila melanggar kewajiban dikenakan tanggung jawab hukum dan sanksi hukum, baik administrasi negara, sanksi perdata maupun sanksi pidana. Menurut Emanuel Kant, etika adalah mempersoalkan cara bagaimana norma-norma dan nilai-nilai serta pernyataan-pernyataan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan berhadapan dengan akal dan budi. Jadi etika berurusan dengan hukum-hukum dan tindakan moral.
Persoalan serius dengan munculnya kasus pembangunan pagar laut berbasis SHGB laut, perspektif kelautan mencederai keadilan sosial dan berpotensi merusak tatanan ekologis dan ekonomi masyarakat pesisir. Tindakkan ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, yakni bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Wilayah laut tidak bisa dimiliki secara pribadi atau perusahaan, pembangunan pagar laut ini melanggar prinsip konstitusi selain itu merusak ekosistem perairan, yakni benih ikan dan biota laut.
Kawasan pesisir ini sumber mata pencaharian nelayan tradisional, tindakan privatisasi ini menciptakan konflik kepentingan yang bertentangan dengan fungsi laut sebagai alat pemersatu bangsa dan sumber kehidupan masyarakat secara kolektif.
SHGB adalah hak yang diatur dalam UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pasal 35 Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu 30 tahun, dan hak ini dapat diperpanjang 20 tahun lagi, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA HGB hanya dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, tanah hak pengelola, atau tanah milik perseorangan yang disewakan kepada pemegang SHGB.
Ini diatur lebih lanjut dengan peraturan Pemerintah 18/2021, HGB mensyaratkan permohonan oleh individu atau badan hukum yang berwenang. Konflik SHGB laut tidak termasuk kategori tanah yang diberikan atas haknya meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lainnya.
Sesuai Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 dan UU 32/2014 tentang Kelautan. Pasal 7, Laut adalah milik publik yang dikelola oleh negara yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tidak ada klausul dalam aturan tersebut yang memperbolehkan laut dijadikan tanah dan diberikan HGB, kecuali tanah tersebut sudah menjadi tanah hasil reklamasi.
Dengan diterbitkannya SHGB laut secara sah, menimbulkan pertanyaan publik mengenai transparansi dan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. Kasus pagar ini perlu ditelaah lebih dalam dari sisi legalitasnya, terutama terkait perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Jika dipasang tanpa KKPRL, maka tindakan tersebut ilegal. Jika prosedurnya benar, apakah dampaknya terhadap akses nelayan telah diperhitungkan?
Pencabutan pagar laut yang dilakukan oleh pihak berwenang, panjang area pagar laut sudah mencapai 30,6 kilometer. Dalam penyelesaian kasus ini, pagar laut yang telah dicabut perlu disimpan sebagai barang bukti untuk ”proses hukum” jika kasus ini dibawa ke ranah pidana. Jangan sampai terjadi dibawa ke ranah politik.
Menurut teori demokrasi, setiap yang memerintah harus mempertanggungjawabkan tindakan kepada yang diperintah (rakyat). Dari teori ini, muncul tanggung jawab politik para penyelenggara negara, termasuk tanggung jawab terhadap “pemakzulan” (
impeachment).
Tanggung jawab pemerintah secara politis ini dilakukan di depan parlemen tanpa keikutsertaan badan-badan lain. Dengan pergantian pemerintahan tanggung jawab hukum kasus ini terfokus pada ranah pidana.
Baik itu swasta atau perorangan, menurut Prof Mahfud MD, terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melarang pengusahaan wilayah perairan oleh pihak bersertifikat SHGB ini ilegal. Berbeda dengan reklamasi, pagar laut menjadi sorotan karena tidak memiliki izin yang sah.
Laut wilayah pesisir merupakan wilayah teritorial negara, memiliki sumber daya vital untuk keberlanjutan lingkungan. Dengan pembangunan pagar laut, merusak ekosistem pesisir termasuk mangrove dan terumbu karang. Kerusakan ini merugikan masyarakat lokal juga melemahkan posisi Indonesia sebagai negara maritim yang menjunjung tinggi keberlanjutan sumber daya laut.
Kasus pagar laut menunjukkan bagaimana negara berusaha memperkuat kedaulatannya dalam hal ini “negara hadir” dengan pembatalan sertifikat SHGB dan SHM. Langkah ini diambil oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang(ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengembalikan penguasaan negara pada negara, pembongkaran pagar laut tindakan tegas yang dilakukan oleh Panglima TNI dan jajaran (atas perintah Presiden) mencerminkan komitmen negara menegakkan kedaulatan.
Penyidikan tuntas terhadap penerbitan sertifikat tanah ilegal dan pihak-pihak yang terlibat dugaan pemalsuan dokumen dan manipulasi administrasi, melemahkan otoritas negara dalam mengatur wilayahnya, menunjukkan bahwa negara berusaha menjaga integritas hukum dan Indonesia negara yang mengadopsi “UNCLOS” harus menjaga integritas pengelolaan wilayah laut agar tetap sesuai dengan komitmen internasional.
Apabila negara gagal dalam menangani kasus ini, masyarakat kehilangan kepercayaannya dan akan menjadi preseden buruk. Kasus ini sebagai pembelajaran penting bagi Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya.
Penulis adalah Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPP PERHAKHI