SAAT itu awal 1950, Toni (sapaan akrab Antonio Negri) baru berusia 17 tahun dan bersiap-siap masuk Fakultas Filsafat Universitas Padova (Padua). Pilihan itu tak disukai keluarganya. Bagi mereka, Toni punya nilai sangat bagus di mata pelajaran Matematika dan mereka menyarankan Toni lebih baik memilih Matematika daripada filsafat. Sebab, lulusan Fakultas Filsafat paling banter cuma mengajar di sekolah menengah, tapi kalau matematikawan bisa menjadi apa saja.
Tapi Toni bersikeras masuk Fakultas Filsafat. Ia tak suka campur-tangan keluarganya untuk urusan itu, maka ia pelan-pelan menjaga jarak dari sebagian besar anggota keluarganya. Ia melalui hari-hari perkuliahan dengan bersemangat mencari kebenaran. Itu diakuinya dalam buku biografinya. Bahkan ia bercerita bagaimana dirinya berkenalan dengan pemikiran filsuf Jerman Martin Heidegger.
Adalah Luigi Stefanini, filsuf Italia saat itu, yang juga mengajar di Universitas Padova, yang memperkenalkan pemikiran Heidegger pada Toni.
Walau Stefanini seorang fasis, tapi bagi Toni, justru Stefanini fasih menjelaskan momen-momen penting pemikiran Heidegger. Di antaranya, momen Heidegger menghadapi rezim Nazi Jerman. Hitler membiarkan Heidegger menjadi rektor Universitas Freiburg Jerman usai filsuf itu bergabung dengan Partai Nazi pada Mei 1933.
Bagi Heidegger, Nazi merupakan proyek untuk menyelamatkan Eropa dari nihilisme yang sudah digambarkan Friedrich Nietzsche. Nihilisme Eropa terjadi karena begitu masifnya teknologi menguasai keseharian Eropa di awal abad 20.
Hari-hari di Universitas Padua kala itu adalah hari-hari penuh debat filosofis. Apalagi, para mentor filsafatnya memang sangat kompeten di bidang masing-masing. Selain Stefanini, filsuf Carlo Giacon dan Umberto Padovani juga memberi kuliah yang menarik bagi Toni muda. Namun, Toni tak ingin kehilangan kesempatan untuk bertandang ke berbagai negara Eropa, terutama Spanyol dan Prancis.
Lawatan ini berguna baginya untuk mengembangkan wawasan filosofis. Di Prancis, ia sempat merasakan ikut perkuliahan satu semester di Ecole Normale Superieure (ENS) dan juga di Universitas Sorbonne. Ia bertemu dengan para filsuf Prancis serta berdiskusi dengan mereka.
Setahun sebelum menyelesaikan disertasi doktornya pada 1956, Toni berkesempatan melawat ke Mesir. Di Mesir ia bertemu dengan kelompok sosialis Arab pendukung Gamal Abdul Nasser. Mereka berdiskusi cukup mendalam tentang masa depan sosialisme, dan Toni juga menikmati pemandangan Masjid Al Azhar, piramida, serta kunjungannya ke Museum Mesir. Balik ke kampusnya, Toni segera menuntaskan disertasinya. Ia lulus dan segera diangkat sebagai pengajar di almamaternya.
Toni bukan tipe pengajar yang apatis terhadap perkembangan di luar kampus. Malah sebaliknya, ia begitu aktif menjalin pertemanan dengan para aktivis buruh, mahasiswa dan para demonstran. Ia hadir dalam rapat atau pertemuan para aktivis. Memberi masukan, saran, bahkan arahan. Kehadirannya dalam pertemuan sering memberi wawasan baru bagi para aktivis. Memasuki dekade '60an, sosialisme Eropa sedang menghadapi tantangan serius dari menguatnya perang dingin.
Kecenderungan negara-negara sosialis menjadikan segala sesuatu harus terpusat terlihat jelas dari praktik-praktik pemerintahan di Uni Sovyet dan negara-negara Blok Timur. Pemusatan oleh negara ini tentu mengecewakan kaum Marxis Eropa yang menghendaki pemerintahan demokratis dan penghargaan terhadap hak serta prakarsa warga. Apalagi, perusahaan-perusahaan besar berskala internasional di Italia juga punya kecenderungan terpusat, termasuk dalam menentukan nasib pekerja. Situasi ini melahirkan reaksi kaum pekerja.
Reaksi ini segera menarik simpati Toni. Sekitar 1964, Toni bersama Mario Tronti serta beberapa intelektual Marxis Italia menerbitkan majalah bulanan
Classe Operaio (Kelas Pekerja). Majalah ini hanya bertahan selama tiga tahun. Namun, mereka berhasil menyusun teori kelas pekerja yang menjadi acuan para pekerja untuk menghadapi hegemoni pemilik atau pengendali perusahaan yang didukung aktor-aktor negara. Gerakan kelas pekerja lantas menjadi Autonomismo. Gerakan otonom.
Gerakan itu berbeda dari organisasi yang punya keputusan terpusat dan struktur otoritas hierarkis seperti lembaga-lembaga modern. Gerakan sosial otonom melibatkan orang-orang secara langsung dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Gerakan ini berupaya memperluas demokrasi dan membantu individu melepaskan diri dari struktur politik dan pola perilaku yang dipaksakan dari luar. Toni menjadi lokomotif gerakan ini.
Pada Mei 1978, kelompok teroris Italia Brigade Merah membunuh Perdana Menteri Italia, Aldo Moro. Setahun kemudian spekulasi yang berkembang mengaitkan pembunuhan itu kepada Antonio Negri. Dan pada April 1979 Toni ditahan polisi Italia. Penahanan ini segera memantik reaksi para intelektual Eropa. Dua filsuf Prancis, Gilles Deleuze dan Felix Guattari, merilis seruan kepada seluruh intelektual Prancis agar mengutuk tindak represif aparat Italia pada Toni.
Tanpa bukti kuat, akhirnya aparat Italia membebaskan Toni dari segala tuntutan pidana. Begitu bebas dari tahanan, Toni segera ke Prancis. Ia mengajar di sejumlah kampus di negeri Eiffel itu. Kehidupan intelektualnya kian pesat berkembang, terutama dalam mengomentari berbagai peristiwa politik.
Setelah beberapa tahun di Prancis, Toni kembali ke Italia. Ia melanjutkan kegiatan akademisnya serta menulis beberapa buku. Bersama Michael Hardt, filsuf politik AS, Toni menerbitkan kitab sohor ''Empire'' (2000).
Dalam buku itu, Toni dan Hardt melihat bahwa ancaman terhadap negara-bangsa bukan lagi ideologi. Ancaman itu berasal dari kekuatan teroris terhadap hukum. Ancaman bukan tertuju pada sistem politik, bangsa atau ideologi, tapi terhadap tatanan hukum. Melabrak hukum, mengakali regulasi, mencari celah aturan. Itulah kerja teroris yang bersemayam dalam''Empire'', sebuah organisasi yang diciptakan untuk menguasai lewat tentakel-tentakel dalam jejaringnya. Wujudnya, bisa organisasi bisnis yang mampu menciptakan tentakel dalam birokrasi.
Toni pribadi rendah hati. Ia mudah bergaul dan ramah. Ketika wafat pada 16 Desember 2023 di Paris, duka plus rasa hormat menyeruak di seantero jagat intelektual. Ia meninggalkan warisan penting untuk pengembangan berbagai disiplin ilmu.
Penulis adalah akademisi dan periset