DI antara sekian banyak tantangan Indonesia saat ini, tantangan kesehatan adalah salah satu pekerjaan rumah terberat kita bersama.
Kesehatan masyarakat Indonesia, khususnya kesehatan ibu hamil dan menyusui serta anak-anak menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia.
Pemerintah bahkan membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting Nasional (TPPS). Prevalensi stunting pada tahun 2023 adalah 21,5 persen dan target pemerintah hingga akhir tahun 2024 sebesar 14 persen.
Stunting merupakan salah satu masalah utama di bidang kesehatan dalam upaya menciptakan generasi penerus bangsa berkualitas, baik dari segi fisik maupun psikis.
Dalam menyongsong Hari Gizi Nasional 2025 “Pilih Makanan Bergizi untuk Keluarga Sehat”, ada beberapa hal yang bisa kita upayakan bersama dalam mengatasi stunting. Utamanya, mengatasi stunting di Nusa Tenggara Timur yang mencapai angka 37,9 persen.
Angka Stunting Nusa Tenggara Timur
Menurut data dari Survei Kesehatan Indonesia 2023, Kementerian Kesehatan merilis angka stunting di Indonesia sebesar 21,5 persen. Sebanyak 23 provinsi dari 38 provinsi memiliki prevalensi stunting di atas rata-rata nasional.
Nusa Tenggara Timur memiliki adalah provinsi kedua dengan jumlah prevalensi stunting tertinggi di Indonesia, yakni 37,9 persen.
Pemerintah daerah perlu bekerja sama dengan stakeholder agar bisa menurunkan angka stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tingginya stunting di NTT ini juga disebabkan oleh kemiskinan yang dialami masyarakat. Masyarakat miskin kesulitan untuk menyediakan makanan bergizi bagi keluarganya.
Dampak dari tingginya angka stunting menyebar ke banyak aspek, seperti gangguan perkembangan kognitif, kelemahan motorik, menurunnya sistem kekebalan tubuh, dan sebagainya.
Tentu dampak buruk stunting ini tidak kita inginkan terjadi pada generasi penerus bangsa, utamanya saat kita sedang menyambut Generasi Emas 2045.
Salah satu upaya meningkatkan kualitas SDM Generasi Emas 2045 tentunya bermula dari memperhatikan kesehatan, salah satunya mengatasi stunting.
Pemenuhan Gizi Ibu Hamil
Salah satu cara mengatasi stunting yang bisa dilakukan bersama adalah memperhatikan kesehatan ibu hamil.
Sebab, pemenuhan gizi 1.000 hari pertama yang dimulai sejak kehamilan hingga balita usia 2 tahun yang akan menentukan seorang anak mengalami stunting atau tidak.
Sosialisasi kesehatan ibu hamil ini perlu digalakkan kembali melalui program pemerintah yang sudah ada seperti sosialisasi melalui Posyandu dan Puskesmas.
Pemeriksaan rutin kandungan ibu hamil juga diperlukan untuk memantau pertumbuhan janin, pemberian imunisasi dan vitamin, dan penyuluhan tentang pola makan sehat.
Ibu hamil juga perlu memeriksakan tekanan darah, kemungkinan diabetes gestasional, dan penyulit yang bisa membahayakan ibu hamil ketika melahirkan. Pemeriksaan kandungan yang rutin bisa memperkecil risiko kematian saat melahirkan.
Ibu hamil diharapkan dapat menjaga kandungan lebih baik lagi berawal dari gizi yang terpenuhi. Berdasarkan data Susenas (2024), konsumsi protein per kapita Indonesia sudah memenuhi standar kecukupan konsumsi protein nasional, yaitu 61,7 gram.
Namun, konsumsi protein hewani seperti daging 4,88 gram dan telur-susu sebanyak 3,17 gram. Konsumsi protein hewani berupa daging tergolong rendah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
Atasi Stunting di Lingkup Keluarga
Setelah ibu melahirkan, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memberi ASI eksklusif. Pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan.
Petugas kesehatan bisa membantu para ibu yang kesulitan dalam melakukan proses menyusui yang benar seperti pelekatan dan inisiasi menyusu dini (IMD) setelah proses melahirkan.
Jika ibu kesulitan dalam menyusui, petugas kesehatan seperti bidan dan dokter bisa membantu mengatasi hal tersebut. Misalnya, memberikan pijat laktasi, ibu menyusui makan makanan yang melancarkan ASI, mengatasi stres dan trauma pasca melahirkan, dan sebagainya. ASI eksklusif ini penting diberikan sebab akan meningkatkan kekebalan tubuh bayi yang baru lahir.
Kedua, setelah lewat ASI eksklusif, bayi perlu mendapatkan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan gizi cukup. MP-ASI perlu memiliki kandungan protein hewani.
Protein hewani yang bisa diberikan kepada balita tidak harus daging, tapi bisa berupa telur. Keluarga prasejahtera yang memiliki cukup lahan di rumah bisa diberdayakan untuk memelihara ayam dan bebek untuk memenuhi kebutuhan protein hewani keluarga.
Pemeliharaan ayam dan bebek termasuk sederhana. Konsumsi protein hewani ini penting sebab menjadi salah satu faktor yang menurunkan risiko stunting.
Ketiga, ibu memiliki kesadaran untuk memeriksakan balita secara rutin di Posyandu dan Puskesmas.
Pemeriksaan balita rutin ke Posyandu akan membantu petugas kesehatan memeriksa kesehatan dan menurunkan risiko stunting.
Petugas kesehatan akan memberikan imunisasi dan memastikan tumbuh kembang bayi sesuai dengan usianya.
Apabila petugas kesehatan menemukan gangguan tumbuh kembang, tentu bisa diatasi lebih awal.
Ibu diharapkan membawa balita untuk mengikuti pemeriksaan secara rutin. Riwayat kesehatan bayi bisa diketahui melalui catatan petugas kesehatan dalam buku KIA (kesehatan ibu dan anak) atau KMS (kartu menuju sehat).
Keempat, jika balita telanjur terkena stunting maka orang tua harus menghubungi tenaga petugas gizi (TPG) yang berada di Puskesmas.
Anak yang mengalami stunting harus mendapatkan bantuan MP-ASI tambahan untuk usia 6-23 bulan dan makanan tambahan (PMT Balita) untuk anak usia 2-5 tahun atau tambahan mikronutrien jika status gizi masih pada tahap ringan/sedang.
Sebaliknya, apabila balita sudah mengalami gizi buruk, balita harus dirawat di rumah sakit atau Puskesmas untuk mendapatkan terapi gizi hingga berat badan normal kembali.
Kelima, literasi informasi gaya hidup sehat sejak ibu mengandung wajib dilakukan melalui berbagai jenjang pendidikan. Perubahan paradigma hidup sehat dimulai lewat pendidikan.
Menurunkan angka balita dan anak penderita stunting adalah gerbang pertama yang harus kita lalui untuk meningkatkan kualitas SDM terbaik.
Terlebih lagi, masa depan bangsa ada di tangan balita dan anak-anak hari ini. Sinergi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan stakeholder diperlukan untuk menciptakan iklim masyarakat sejahtera.
Dengan demikian, tidak ada lagi masyarakat yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian yang bergizi bagi keluarga.
Mari katong baku jaga!
*Penulis adalah
Pemerhati Pendidikan dan Ketenagakerjaan