Berita

Perdana Menteri Sheikh Hasina ketika bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing, Juni 2014./SputnikNews

Dunia

Tiongkok Berusaha Bertahan di Tengah Kekacauan Bangladesh

SENIN, 20 JANUARI 2025 | 00:20 WIB | LAPORAN: JONRIS PURBA

Kekacauan politik di Bangladesh setelah pemimpin Partai Liga Awami dan Perdana Menteri Sheikh Hasina dipaksa meninggalkan negara itu bulan Agustus 2024 lalu belum usai juga. Kini, peraih Nobel Perdamaian Muhammad Yunus mengambil alih kepemimpinan negara. Tetapi situasi dilaporkan banyak media telah lepas kendali.

Di tengah kekacauan ini, Tiongkok berusaha keras untuk tetap mendominasi politik dan ekonomi Bangladesh. Awalnya, Tiongkok membina hubungan dekat dengan Liga Awami dan menempatkan Bangladesh sebagai pasar penting bagi proyek-proyek BRI.

Setelah partai-partai oposisi mulai memprotes Sheikh Hasina dan Muhammad Yunus mengambil alih kekuasaan, Tiongkok dengan cepat mengubah haluan dan menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan pemerintah sementara.

Tiongkok juga dilaporkan bersekutu dengan partai oposisi BNP, yang dikenal karena sikapnya yang pro-Tiongkok. Namun, ketika menyadari bahwa BNP masih jauh dari memperoleh kekuasaan, Tiongkok beralih mendukung pemerintahan Yunus.

Sasaran utama Tiongkok adalah untuk memantapkan kehadirannya di Bangladesh, terlepas dari partai mana yang berkuasa, tulis Mizzima.com.

“Tiongkok telah lama berupaya untuk berinvestasi secara ekonomi di Bangladesh, dengan menawarkan berbagai insentif seperti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) dan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) untuk lebih memperdalam kepentingan ekonominya. Tiongkok telah berinvestasi dalam berbagai proyek penting seperti pembangunan Jembatan Sungai Padma, pembangkit listrik besar, dan pabrik panel surya di Bangladesh,” tulis laporan itu.

Keterlibatan Tiongkok di negara-negara seperti Pakistan, Mongolia, Myanmar, Kenya, Zambia, Djibouti, Ethiopia, Kirgistan, Sri Lanka, Maladewa, Nepal, dan sekarang Bangladesh sering kali menyebabkan ketidakstabilan politik dan tekanan ekonomi.

Jadi sangat. wajar bila niat Tiongkok di Bangladesh selalu dipertanyakan. Dikelilingi oleh tetangganya India di tiga sisi dan Myanmar di satu sisi, keputusan Tiongkok untuk memasok senjata ke Bangladesh membingungkan.

Menurut laporan lembaga pemikir Swedia SIPRI, Tiongkok memasok 72 persen persenjataan Bangladesh antara tahun 2019 dan 2023. Angkatan Bersenjata Bangladesh bertujuan untuk melakukan modernisasi pada tahun 2030, dan untuk tujuan ini, mereka telah menandatangani perjanjian militer dengan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA).

Tiongkok juga telah membangun pelabuhan bernama BNS Sheikh Hasina di dekat Cox's Bazar di Chittagong, yang mampu menampung enam kapal selam dan delapan kapal perang. Fregat dan korvet buatan Tiongkok yang termasuk dalam Angkatan Laut Bangladesh ditempatkan di sini. Citra satelit mengungkapkan bahwa kapal selam buatan Tiongkok juga telah disediakan untuk Bangladesh dan telah ditempatkan di sana selama setahun terakhir.

Bangladesh adalah negara Asia Selatan pertama yang secara resmi bergabung dengan proyek BRI Tiongkok. Selama periode ini, Tiongkok telah menginvestasikan 7 miliar dolar AS di Bangladesh. Dengan kedok investasi, Tiongkok telah melumpuhkan ekonomi Bangladesh dan kemudian menciptakan ketidakstabilan politik.

Setelah memenangkan pemilihan umum pada Januari 2024, Perdana Menteri saat itu Sheikh Hasina mengunjungi Tiongkok tetapi memutuskan untuk tidak mengikutsertakan Tiongkok dalam proyek Sungai Teesta, yang bertentangan dengan arahan Tiongkok.

Selain itu, Sheikh Hasina tidak memberi Tiongkok akses tanpa batas untuk berinvestasi dan berdagang di Bangladesh, yang membuat Beijing marah. Para ahli percaya bahwa hal ini menyebabkan Tiongkok memainkan peran penting dalam menggulingkan pemerintahan Sheikh Hasina untuk memajukan kepentingannya di Bangladesh. Di tengah ketidakstabilan politik di Bangladesh, Tiongkok dapat dengan mudah menyelaraskan pemerintahan sementara Yunus dengan kepentingannya, sehingga memperoleh posisi yang kuat dalam urusan internal Bangladesh.

Faktor penting dalam dinamika geopolitik yang berubah adalah situasi di Myanmar. Bangladesh berbatasan dengan negara bagian Chin dan Rakhine di Myanmar, yang telah menjadi penting bagi strategi regional Tiongkok. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah membangun hubungan dengan organisasi etnis bersenjata (EAO) di Myanmar, seperti Tentara Nasional Chin (CNA) dan Tentara Arakan (AA), yang keduanya memihak Tiongkok. Kelompok-kelompok ini memperoleh pengaruh di wilayah perbatasan Myanmar, yang berpotensi memungkinkan Tiongkok memperluas pengaruhnya di Bangladesh.

Kelompok pemberontak Bangladesh seperti Front Nasional Kuki-Chin (KNF), yang beroperasi dari Chittagong Hill Tracts, telah menerima pelatihan di Myanmar. Keterlibatan Tiongkok dalam mediasi antara Dhaka dan kelompok pemberontak ini dapat memainkan peran penting dalam menstabilkan Bangladesh secara internal. Selain itu, menangani pemulangan pengungsi Rohingya tetap menjadi masalah penting bagi Bangladesh, dan peran Tiongkok dapat menjadi signifikan dalam menemukan penyelesaian.

Pada tahun 2019, tingkat pertumbuhan PDB Bangladesh adalah 7,88 persen. Namun, sejak jatuh ke dalam perangkap Tiongkok, Bangladesh telah menuju ke arah penurunan ekonomi. Jika masalahnya hanya terbatas pada kesulitan ekonomi, Bangladesh mungkin telah pulih seiring berjalannya waktu. Namun, kombinasi ketidakstabilan ekonomi dan politik telah berdampak parah pada tulang punggung negara tersebut, dan mungkin butuh waktu puluhan tahun untuk pulih. 

Para ahli percaya bahwa jika Bangladesh ingin keluar dari masa transisi ini dan kembali ke masa jayanya, pertama-tama negara itu harus memutuskan semua hubungan dengan Tiongkok. Setelah itu, reformasi internal yang komprehensif, dimulai dengan stabilitas politik, harus dilaksanakan. Hanya dengan begitu keadaan normal dapat dipulihkan di Bangladesh, atau negara itu berisiko menjadi korban lain dari strategi licik Tiongkok.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Buntut Pungli ke WN China, Menteri Imipas Copot Pejabat Imigrasi di Bandara Soetta

Sabtu, 01 Februari 2025 | 19:25

Aero India 2025 Siap Digelar, Ajang Unjuk Prestasi Dirgantara

Sabtu, 01 Februari 2025 | 19:17

Heboh Rupiah Rp8.100 per Dolar AS, BI Buka Suara

Sabtu, 01 Februari 2025 | 19:13

Asas Dominus Litis, Hati-hati Bisa Disalahgunakan

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:35

Harga CPO Menguat Nyaris 2 Persen Selama Sepekan

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:18

Pramono: Saya Penganut Monogami Tulen

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:10

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Vihara Amurva Bhumi Menang Kasasi, Menhut: Kado Terbaik Imlek dari Negara

Sabtu, 01 Februari 2025 | 17:45

Komisi VI Sepakati RUU BUMN Dibawa ke Paripurna

Sabtu, 01 Februari 2025 | 17:11

Eddy Soeparno Gandeng FPCI Dukung Diplomasi Iklim Presiden Prabowo

Sabtu, 01 Februari 2025 | 16:40

Selengkapnya