Kejaksaan Agung (Kejagung) diharapkan bisa menyampaikan kepada publik terkait pengusutan dugaan penyimpangan impor minyak mentah dan BBM.
Pasalnya, sudah lebih dari dua bulan sejak penggeledahan di kantor Pertamina, namun sampai saat ini Kejagung nampaknya masih bungkam terkait perkembangan kasus tersebut.
Hal itu diungkapkan praktisi hukum SHP Law Firm, Syaefullah Hamid kepada wartawan di Jakarta pada Sabtu, 4 Januari 2025.
"Publik tentu menantikan perkembangan kasus ini, mengingat minyak mentah sebagai bahan BBM adalah barang yang diadakan untuk mencukupi kebutuhan hajat hidup orang banyak, jika dugaan
markup terbukti, maka semua rakyat ikut menanggung beban kemahalan sebagai konsumen BBM. Apalagi saat ini pemerintah terus menggembar-gemborkan swasembada energi," ujar Syaefullah.
Pengamat hukum energi ini menilai sudah sepatutnya aparat penegak hukum berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Tetapi biasanya kalau sudah dilakukan berkali-kali penggeledahan, menunjukkan Pidsus Kejagung benar-benar sangat serius.
"Kalau sudah ada penggeledahan biasanya sudah masuk tahap penyidikan, kalau sudah ada masuk penyidikan berarti sudah ada tersangka," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menduga sudah ada tersangka dari kasus itu.
Pasalnya, menurut sumber yang diterima CERI, ada sekitar 1,2 miliar dolar AS kerugian negara setiap tahun akibat mahalnya proses impor sejak tahun 2018 hingga 2023.
“Totalnya bisa mencapai sekitar 6 miliar dolar AS atau setara Rp96 triliun. Jika dikembangkan hingga akhir tahun 2024 maka bisa mencapai 7,2 miliar dolar AS atau setara Rp115,2 triliun (nilai tukar USD = Rp16.000),” jelas Yusri.
"Oleh sebab itu, demi kepastian hukum dan tidak menjadi sumber fitnah, kami berharap jika cukup alat bukti sebaiknya proses penyelidikan ini bisa segera dinaikan statusnya ke tahap penyidikan untuk menyelamatkan keuangan negara, jika tidak segera tutup buku," pungkasnya.