Berita

Harvey Moeis/Istimewa

Suara Mahasiswa

Sungguh Mengusik Rasa Keadilan Masyarakat

OLEH: ROSLINORMANSYAH
SABTU, 04 JANUARI 2025 | 00:57 WIB

RASA keadilan masyarakat memang sulit diukur. Tapi rasa keadilan itu bisa dirasakan masyarakat ketika menyaksikan sendiri berbagai ketimpangan vonis hakim.

Misalnya, vonis terhadap seorang maling ayam yang begitu berat, bahkan maling tersebut sempat dikeroyok massa. Tapi, vonis terhadap koruptor yang jelas-jelas merugikan negara ternyata sangat ringan. Apapun alasan di balik jatuhnya vonis ringan itu, jelas vonis tersebut telah mengusik rasa keadilan masyarakat.

Memang, dalam perkara pidana sistem hukum kita tidak boleh ada analogi. Tidak boleh membandingkan satu perkara pidana dengan perkara pidana lain, namun ujung dari perkara itu adalah vonis yang justru saat ini menjadi dasar penilaian masyarakat terhadap sebuah perkara. Jika proses persidangan perkara merupakan upaya penegakan hukum sebagaimana jamak diketahui publik, maka semestinya ujung penegakan hukum itu bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat.


Bukan semata memenuhi rasa keadilan subjektif hakim yang memutuskan perkara. 

Sebab, sebagaimana Amartya Sen (2009), sang peraih Nobel bidang ekonomi, pernah menyatakan, bahwa rasa keadilan itu bukan cuma ada di dalam ruang sidang. Tapi rasa keadilan juga ada dalam sanubari masyarakat yang berada di luar ruang sidang.

Namun demikian, argumen Sen itu sering dibantah mereka yang mengklaim diri sebagai para 'Aktor Penegak Hukum', yakni hakim, jaksa, bahkan advokat sekalipun. Bahwa tidak mungkin vonis persidangan itu harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat, sebab masyarakat itu bersifat umum, sedangkan mereka yang menyidangkan sebuah perkara sudah dianggap punya kompetensi khusus di bidang hukum. Dan jalan mencari keadilan semata-mata hanya melalui penegakan hukum, yaitu proses persidangan.

Akan tetapi, pembelaan diri para aktor itu ternyata runtuh dengan sendirinya ketika menghadapi fakta yang merusak citra penegakan hukum. Seperti jual-beli perkara, mafia peradilan, mafia kasus, interkoneksi oknum aktor penegak hukum. Kenyataan ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum menjadi rendah. Ujungnya, masyarakat kerap mempertanyakan vonis majelis hakim terhadap sebuah perkara pidana.                

Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan itulah tiba-tiba muncul kasus Korupsi Timah ini. Bermula dari dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. 

Bukan cuma dugaan itu saja, para terdakwa juga didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dalam persidangan, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan kerugian negara sebesar Rp300,003 triliun terbukti.

Kontroversinya kemudian, vonis yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis dan terdakwa lainnya lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Wajar jika lantas menimbulkan kritik tajam dari masyarakat, yang merasa putusan tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan.

Harvey Moeis dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut Harvey dengan 12 tahun penjara. 

Ketua majelis hakim, menganggap tuntutan tersebut terlalu berat. Hakim berpendapat bahwa Harvey tidak berperan besar dalam kerja sama sewa smelter antara PT Timah dan lima perusahaan swasta lainnya. Pendapat ini jelas melukai nalar masyarakat.

Jika terpidana tidak berperan besar dalam kerja sama itu, lalu peran apa yang dimainkan terpidana? Sementara, di berbagai media telah disebut ada peran terpidana dalam kerja sama terkait. 

Tampaknya, tanpa transparansi utuh di balik argumen vonis perkara ini, maka masyarakat tetap akan merasa rasa keadilannya terlukai. Lagipula, transparansi utuh terhadap perkara ini sesungguhnya dibutuhkan untuk melakukan pembenahan tata kelola timah di masa mendatang. Wallahu' alam bisawab!

Penulis adalah Mahasiswa Program Ilmu Hukum, Universitas Merdeka, Pasuruan

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya