Sektor industri tumbuh rendah, selama ini dalam beberapa tahun hanya sekitar 3-4 persen. Ini menunjukkan kinerja yang tidak memadai untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen, apalagi 7 persen seperti target Jokowi atau target 8 persen pada pemerintahan Prabowo Subianto.
Jika industri tumbuh rendah seperti ini, maka lupakan target yang tinggi tersebut. Selama pemerintahan Jokowi, sektor ini diabaikan sehingga target pertumbuhan 7 persen sangat meleset.
Sektor industri telah terjebak ke dalam proses deindustrialisasi dini sehingga jebakan ini harus diterobos dengan reindustrialisasi berbasis sumber daya alam Indonesia yang kaya, bersaing dan memenangkan pasar internasional yang luas dan otomatis berjaya di pasar domestik.
Yang harus dijalankan dan telah terbukti sukses di negara industri tidak lain adalah
resource-based industry, led-export industry atau
outward looking industry. Strategi industri ini pernah dijalankan pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an dengan hasil yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 7u-8 persen.
Tanpa perubahan strategi seperti ini, maka mustahil mencapai target pertumbuhan 8 persen. Strategi industri bersaing di pasar internasional ini menjadi kunci berhasil atau tidaknya target pertumbuhan tersebut.
Permintaan global memang mengalami perlambatan sehingga menerobos pasar internasional tidak mudah lagi. Karena itu, pasar-pasar baru di luar Eropa, China, USA perlu dijadikan sasaran perdagangan luar negeri Indonesia. Para duta besar diberi target untuk meningkatkan ekspor dan menjadikan neraca dagang bilateral menjadi positif.
Di luar permasalahan sektoral, ada masalah fiskal yang kita hadapi, yakni utang dari tahun ke tahun terus membengkak dari persentase, apalagi nominalnya. Dari tahun 2010 sampai dengan 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen.
Total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024 (Gambar 2). Ini merupakan praktik kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, mengikuti hukum politik dimana rezim memaksimumkan budget (teori budget maximizer) tanpa kendali, tanpa kontrol dan tanpa
check and balances yang sehat. Politik anggaran hanya refleksi dari politik yang sakit, demokrasi yang dikebiri dan dilumpuhkan selama 10 tahun ini.
Karena seantero dunia sudah tahu pemimpin di Indonesia kemaruk utang, maka tingkat suku bunga tergerak naik tidak masuk akal. Suku bunga obligasi utang ini paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Indonesia harus menaikkan tingkat suku bunga yang tidak masuk akal sampai 7,2 persen dengan konsekuensi harus dibayar oleh dan menguras pajak rakyat dalam jumlah yang besar.
Tingkat bunga obligasi di Thailand hanya 2,7 persen, Vietnam 2,8 persen, Singapura 3,2 persen, dan Malaysia 3,9 persen. Tingkat suku bunga tinggi ini karena penarikan utang baru dari tahun ke tahun sudah di atas seribu triliun Rupiah setiap tahun.
Akibatnya kualitas belanja memburuk. Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar dari seluruh belanja kementerian negara. Belanja pemerintah pusat semakin digerogoti pembayaran bunga utang, yang naik pesat dari 11,09 persen (2014) menjadi 20,10 persen (2024).
Secara terus-menerus dan akan terkena dampaknya pada pemerintahan Prabowo. Belanja nonproduktif semakin mendominasi sedangkan belanja produktif mengecil. Belanja nonproduktif diamati dari belanja pegawai dan belanja barang.
Tahun 2014, porsi dua belanja tersebut sekitar 34 persen, naik menjadi 36 persen pada 2024. Setiap tahun untuk bunganya saja (tidak termasuk pokok) harus menguras pajak rakyat sebesar 441 triliun Rupiah untuk membayar utang.
Demikian catatan akhir tahun saya memang dibuat untuk menjadi masukan kritis terhadap pemerintah. Mengelola ekonomi nasional tidak mudah dengan berjanji kepada rakyat dengan sasaran target yang tinggi.
Ekonom Senior Indef, Rektor Universitas Paramadina
Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja
Senin, 27 Januari 2025 | 02:16
Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah
Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03
Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?
Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05
KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah
Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17
Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro
Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14
Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan
Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21
Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa
Senin, 27 Januari 2025 | 14:00
Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng
Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21
PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain
Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58
Jawa Timur Berstatus Darurat PMK
Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30
Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga
Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58
Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah
Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31
Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM
Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57
Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja
Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39
Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif
Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18
Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta
Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58
Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?
Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42
Selengkapnya