Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Pertumbuhan 8 Persen Hanya Delusi

OLEH: MUKHAER PAKKANNA
MINGGU, 08 DESEMBER 2024 | 02:56 WIB

JELANG pergantian tahun ke 2025, diskusi tentang apakah Indonesia bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen atau tidak makin ramai. Mimpi capaian 8 persen tentu didasarkan pada obsesi agar ekonomi Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap), maka pertumbuhan harus digenjot hingga 8 persen. 

Selama 10 tahun ini, pertumbuhan selalu stagnan di kisaran 5 persen. Jika obsesi 8 persen itu tidak terwujud, dianggap menjadi mimpi buruk, dan tetap menjadi negara kategori berkembang alias miskin.

Sayang sekali, mimpi itu ternyata menjadi delusi, yakni dibangun dari keyakinan palsu yang tidak berdasar data dan fakta, yang membuat seseorang tidak bisa membedakan mana realitas dan mana khayalan. 

Padahal tidak satupun perintah konstitusi yang mengharuskan ekonomi Indonesia tumbuh tinggi. Konstitusi hanya mengamanahkan mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, yang secara imperatif tertuang dalam alinea II dan IV Pembukaan UUD 1945, Sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945.

Anehnya, tidak ada data dan fakta yang bisa mendukung bahwa ekonomi Indonesia saat ini bisa tumbuh tinggi. Potensi tumbuh memang diakui sangat besar, bahkan bisa meroket melebihi angka dua digit. Tapi ingat, bagaimana mentransmisikan potensi itu menjadi energi faktual. 

Data potensial itu tidak bisa difaktual karena masalah, misalnya, tingginya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia. Angka ICOR masih bertengger tinggi mendekati 7 persen, sementara rerata negara ASEAN hanya 3,5 persen. Tingginya angka ini mengirim pesan, masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, tingginya korupsi, dan banyaknya biaya siluman menorpedo mesin birokrasi ekonomi.

Demikian juga rendahnya produktivitas berbasis pengetahuan dan teknologi. Ihwal ini bisa dilihat pada rendahnya kontribusi Total Factor Productivity (TFP) dalam perekonomian. 

Perekonomian Indonesia selama ini ditopang oleh usaha ekstraktif berbasis sumberdaya alam (SDA). Dan, jika SDA ini menjadi selalu menjadi andalan, asumsi teori kutukan sumber daya alam (the resource curse) atau paradoks keberlimpahan selalu menjadi fakta. Ketimpangan ekonomi pasti terjadi disertai tingkat kemelaratan membumbung. 

Di tengah tingginya ICOR dan rendahnya TFP, Indonesia saat ini dipukul oleh menurunnya daya beli, terutama pada level kelas menengah. 

Sejak pandemi Covid-19 hingga 2024 ini, jumlah kelas menengah Indonesia terperosok hingga 9,48 juta orang dan kembali menjadi miskin. Amblasnya jumlah kelas menengah disertai dengan pergeseran lapangan pekerjaan. Sejak 2019, jumlah lapangan kerja formal kelas menengah terus tertekan, sementara lapangan kerja informal bertambah. 

Fakta menunjukkan, konsumsi kelas menengah inilah, selama ini, berkontribusi signifikan mendongkrak PDB dan pertumbuhan ekonomi.

Maka, pemberlakuan atau pengenaan PPN setinggi 12 persen mulai 1 Januari 2025, pasti sangat tidak realistis. Apalagi jika disertai rencana pengalihan subsidi BBM dan listrik yang bisa memantik tarif listrik untuk kelas menengah bawah terkerek naik. 

Beratnya beban biaya, pasti akan membuat panen pengangguran bertambah. Tentu, solusi yang tepat adalah perombakan total struktur perekonomian, terutama kaitan sisi fiskal dan afirmasi kebijakan kepada ekonomi menengah bawah dan paling bawah (grass root) serta menghilangkan delusi ekonomi.

Penulis adalah Senior Advisor Center for Human & Economic Development Studies (CHEDs)

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya