Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira/Net
Kebijakan baru pemerintah menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen bakal membingungkan pengusaha untuk mematok harga jual.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira memandang, penegasan pemerintah bahwa PPN 12 persen hanya dikenakan untuk barang-barang mewah tidak latas mempermudah pelaku usaha.
"Ini tentu membuat bingung semua pihak. Bagi pelaku usaha dan konsumen pusing juga," tutur Bhima saat dihubungi
RMOL, pada Jumat, 6 Desember 2024.
Sebab menurutnya, pengenaan PPN 12 persen untuk barang mewah ini terbilang baru pertama terjadi, karena pemberlakuannya dibedakan dengan barang lainnya.
"Indonesia mengenal PPN satu tarif, yang berarti perbedaan PPN 12 persen untuk barang mewah dan PPN 11 persen untuk barang lainnya, merupakan yang pertama kali dalam sejarah," terangnya.
Di samping itu, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi aturan turunan dari UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tidak merinci produk apa saja yang masuk kategori barang mewah.
Bhima lantas mencontohkan kebingungan yang akan terjadi, apabila tidak ada kejelasan aturan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Satu toko ritel misalnya jual barang kena PPN dan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah). Contohnya adalah toko peralatan elektronik. Faktur pajaknya juga akan lebih kompleks," jelasnya.
Akibat dari itu, Bhima meyakini pengusaha akhirnya akan mematok harga yang akan membebani masyarakat sebagai konsumen, karena nilai pajak yang terlampau tinggi.
"Pelaku usaha ritel bisa teruskan ke konsumen dengan harga barang yang lebih mahal," demikian Bhima.