Berita

Dr. Muhammad Rullyandi (dok. pribadi)

Hukum

Pakar Hukum:

Putusan BANI terkait Sengketa Museum Soeharto Cacat Hukum

SELASA, 03 DESEMBER 2024 | 20:12 WIB | OLEH: ADE MULYANA

Sengketa terkait pengelolaan Museum Soeharto di TMII kembali menjadi sorotan hukum. Pakar hukum menilai putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam perkara tersebut mengandung cacat hukum yang serius.

Pakar hukum dari Universitas Jayabaya, Dr. Muhammad Rullyandi, menyatakan bahwa putusan arbitrase BANI No. 47013/II/ARB-BANI/2014 terkait sengketa Mitora Pte. Ltd dengan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga berpotensi mencederai asas keadilan dan kepastian hukum yang dijamin oleh Undang-Undang.

Menurutnya, salah satu masalah utama dalam putusan tersebut adalah adanya kontradiksi hukum (contradictio in terminis). Amar putusan menyatakan salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi di sisi lain membatalkan perjanjian kerja sama yang menjadi dasar hubungan hukum antara para pihak.

"Jika sebuah perjanjian dinyatakan batal demi hukum, maka hubungan hukum antara para pihak tidak ada. Namun jika wanprestasi maka perjanjian harus dianggap sah dan mengikat. Kedua hal ini tidak dapat berjalan bersama dalam satu putusan,” ungkap Rullyandi dalam keterangannya, Selasa 2 Desember 2024.

Ia juga menambahkan bahwa amar putusan yang bertentangan seperti ini melanggar asas pacta sunt servanda, di mana perjanjian yang telah disepakati harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.

Ketidakcocokan Fakta Hukum dan Dugaan Pelanggaran Prosedural
Selain kontradiksi dalam amar putusan, Rullyandi juga menyoroti adanya ketidaksesuaian fakta hukum dan prosedur dalam proses arbitrase. Dalam pernyataan langsungnya, ia mengungkapkan bahwa proses arbitrase dalam perkara ini tidak dilakukan secara transparan dan berpotensi melanggar prinsip keadilan.

“Salah satu pihak diduga menyembunyikan dokumen yang sangat penting, seperti dokumen penolakan cek kosong, yang dapat memengaruhi jalannya perkara. Tindakan semacam ini menunjukkan kurangnya itikad baik dalam proses arbitrase,” ujar Rullyandi.

Selain itu, ia juga menggarisbawahi kemungkinan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam persidangan.

"Jika terbukti, ini menjadi dasar kuat untuk membatalkan putusan sesuai dengan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase," tambahnya.

Rullyandi juga menjelaskan bahwa proses arbitrase ini mencerminkan kurangnya objektivitas dan profesionalisme. Proses arbitrase yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, jujur, dan terbuka dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang independen.

Rullyandi menegaskan bahwa putusan arbitrase yang cacat hukum terkait Museum Soeharto dapat diajukan pembatalannya ke pengadilan mengingatkan sengketa terkait Museum Soeharto memiliki dimensi kepentingan publik yang signifikan.

“Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan penuh untuk menganulir putusan yang tidak memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum. Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 72 UU Arbitrase,” jelasnya.

"Penyelesaian sengketa ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan keadilan bagi seluruh pihak yang bersengketa, serta menjaga integritas aset nasional yang dikelola oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi," tambahnya.

Tak hanya itu, Rullyandi menyerukan pentingnya proses hukum yang transparan dan jujur dalam penyelesaian sengketa.

“Putusan arbitrase yang tidak didasarkan pada fakta hukum dan keadilan hanya akan merugikan para pihak yang bersengketa dan mencederai asas keadilan. Saya berharap pengadilan melalui majelis hakim no perkara 531/Pdt.Sus-Arb/2024/PN Jkt.Pst dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengoreksi Putusan BANI ini,” tutupnya.

Populer

BANI Menangkan Anak-Anak Soeharto, OC Kaligis: Kami Gugat dan Lawan

Selasa, 03 Desember 2024 | 15:57

Jokowi Tekor Ratusan Miliar di Pilkada Jakarta

Senin, 02 Desember 2024 | 01:26

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Indahnya Seragam Warna Cokelat

Sabtu, 30 November 2024 | 09:37

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Lebih Mulia Dagang Es Teh daripada Dagang Agama

Rabu, 04 Desember 2024 | 06:59

PDIP: Terima Kasih Warga Jakarta dan Pak Anies Baswedan

Jumat, 29 November 2024 | 10:39

UPDATE

BMKG Keluarkan Peringatan Dini Kekeringan dan Karhutla

Rabu, 04 Desember 2024 | 18:09

Milad ke-48 GAM, Bendera Bulan Bintang Berkibar di Lhokseumawe

Rabu, 04 Desember 2024 | 18:07

Rezeki Nomplok Sunhaji Bukan Karena Mulut Kotor Gus Miftah

Rabu, 04 Desember 2024 | 17:48

Tiongkok Minta Kampus Sediakan Mata Kuliah Love Education

Rabu, 04 Desember 2024 | 17:39

Pilkada Ulang Dijadwalkan Agustus 2025, Ketua Komisi II: Lebih Cepat Lebih Baik

Rabu, 04 Desember 2024 | 17:31

Banjir dan Longsor Landa 20 Kecamatan di Sukabumi, Korban Hilang Masih Dicari

Rabu, 04 Desember 2024 | 17:30

Jokowi, Gibran dan Bobby Sudah Bukan Lagi Bagian PDIP

Rabu, 04 Desember 2024 | 17:25

Belum Resmi Meluncur, BYD Denza D9 Sudah Dipesan Ratusan Unit

Rabu, 04 Desember 2024 | 17:14

Pemilihan Ulang di Daerah Kotak Kosong Menang Digelar 27 Agustus 2025

Rabu, 04 Desember 2024 | 17:12

Mengapa BUMN Bangkrut? Perlu Bank Pantai Selatan untuk Pulih

Rabu, 04 Desember 2024 | 17:08

Selengkapnya