Ilustrasi truk pengangkut logistik/Istimewa
Kementerian Perhubungan terus didorong untuk mengevaluasi aturan yang melarang truk-truk logistik sumbu 3 ke atas beroperasi pada masa Liburan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 (Nataru).
Pasalnya, kebijakan tersebut bisa menyebabkan keterlambatan pasokan dan kelangkaan barang yang dapat mengurangi kepuasan konsumen dalam mengakses produk, terutama di sektor makanan dan minuman. Terlebih, aktivitas manufaktur Indonesia saat ini tengah mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut.
“Saat ini, sektor manufaktur di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, seperti tercermin dari rendahnya Purchasing Managers’ Index atau PMI dan banyaknya perusahaan yang melakukan PHK,” ujar pakar logistik dari Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI), Agus Purnomo, dalam keterangannya, Selasa, 19 November 2024.
Agus menjelaskan, pembatasan truk sumbu 3 pada saat libur Nataru mendatang berpotensi memperlambat distribusi bahan baku maupun produk akhir yang dibutuhkan sektor manufaktur untuk mempertahankan operasi. Akibatnya, kebijakan tersebut hanya akan memperburuk kondisi industri manufaktur, yang otomatis akan mengganggu ekonomi nasional.
Padahal industri manufaktur menjadi salah satu sektor unggulan dalam mendorong percepatan pembangunan dan pemerataan ekonomi nasional.
“Jadi, kebijakan pelarangan terhadap truk-truk sumbu 3 untuk beroperasi pada saat Nataru nanti jelas-jelas akan menambah tekanan pada sektor manufaktur yang sudah melemah. Sehingga kebijakan ini perlu ditinjau dengan mempertimbangkan dampaknya bagi sektor-sektor kritis seperti industri manufaktur,” tuturnya.
Apalagi, kata Agus, Nataru adalah hari libur besar yang diakui secara nasional, namun bukan hari raya keagamaan mayoritas seperti Lebaran. Karena itu, urgensi untuk pembatasan truk sumbu 3 demi mengurangi kemacetan atau kepadatan di jalan raya bisa lebih rendah dibandingkan pada Lebaran.
Pemberlakuan pembatasan truk sumbu 3 pada Nataru, lanjut Agus, akan memberikan beberapa dampak negatif bagi industri. Di antaranya, menyebabkan terjadinya gangguan terhadap rantai pasok dan logistik. Penundaan pengiriman bahan baku atau barang akibat pelarangan truk-truk sumbu 3 beroperasi akan memperlambat siklus produksi, mengurangi kapasitas operasional, dan berpotensi meningkatkan biaya logistik.
“Hal ini sangat relevan bagi industri air minum dan kebutuhan lainnya yang memiliki permintaan tinggi selama periode liburan Nataru,” terangnya.
Menurut Agus, industri minuman atau air minum dalam kemasan (AMDK) adalah salah satu sektor yang krusial, terutama selama musim liburan. Pembatasan truk sumbu 3 dapat menimbulkan kekurangan stok air minum tersebut di berbagai daerah, terutama di daerah yang sangat bergantung pada pasokan dari luar daerah. Ujungnya dapat memicu keresahan di masyarakat.
Sebab, permintaan tinggi terhadap air minum kemasan selama Nataru, jika tidak diimbangi dengan ketersediaan produk yang memadai, dapat memicu kenaikan harga yang signifikan. Konsumen akan menghadapi biaya yang lebih tinggi, yang pada akhirnya meningkatkan beban ekonomi masyarakat.
“Kondisi ini akan menurunkan kepuasan konsumen dalam mengakses air minum di daerah mereka,” ungkapnya.
Selain itu, kebijakan pelarangan truk sumbu 3 saat Nataru juga bisa mengakibatkan kerugian ekonomi bagi pelaku industri. Di mana, terjadi biaya tambahan untuk menyewa truk-truk lebih kecil atau mengatur ulang rute distribusi. Hal ini dapat menambah beban industri, terutama perusahaan kecil dan menengah.
“Selain itu, keterlambatan pengiriman dapat menimbulkan denda dan kerugian akibat kehilangan kesempatan penjualan,” tegasnya.
Untuk itu, Agus menyarankan Kemenhub cukup membatasi operasi truk sumbu 3 pada jam-jam tertentu atau di jalur-jalur yang sering padat selama Nataru, tidak perlu pelarangan menyeluruh. Misalnya, truk sumbu 3 masih bisa beroperasi di luar jam puncak untuk mengurangi kemacetan, namun tetap mendukung kebutuhan industri. Alternatif lainnya adalah dengan mengarahkan truk sumbu 3 ke jalur alternatif untuk mengurangi kepadatan di jalur utama.
“Peningkatan aksesibilitas dan pemeliharaan jalur alternatif juga perlu diperhatikan agar distribusi barang tetap efisien,” ujarnya.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi seperti platform digital untuk pemantauan waktu nyata (
real-time tracking) agar distribusi dapat disesuaikan dengan kondisi jalan dan volume lalu lintas.
“Sistem manajemen transportasi berbasis teknologi akan membantu operator logistik merencanakan jadwal yang lebih tepat guna mengurangi keterlambatan dan menjaga kelancaran operasi,” pungkasnya.