JUMLAH luas daerah provinsi secara keseluruhan di Pulau Jawa seluas 132.603,58 kilometer persegi. Kemudian jumlah luas daerah provinsi secara keseluruhan di Pulau Papua seluas 412.214,62 kilometer persegi atau 3,11 kali lipat luas daerah dibandingkan di Pulau Jawa (BPS, 2024).
Kepadatan penduduk yang paling padat di Pulau Jawa berada di Provinsi Daerah Khusus Jakarta, yaitu 16.165 orang per kilometer persegi tahun 2024. Sementara itu kepadatan penduduk di Provinsi Papua Barat sebanyak 10 orang per kilometer persegi pada tahun yang sama. Di Provinsi Papua Barat Daya sebanyak 16 orang per kilometer persegi.
Di Provinsi Papua sebanyak 13 orang per kilometer persegi. Di Provinsi Papua Selatan sebanyak 5 orang per kilometer persegi. Di Provinsi Papua Tengah sebanyak 24 orang per kilometer persegi. Di Provinsi Papua Pegunungan sebanyak 29 orang per kilometer persegi.
Selanjutnya migran masuk seumur hidup ke provinsi Daerah Khusus Jakarta sebanyak 3,33 juta jiwa tahun 2022. Migran masuk seumur hidup ke Provinsi Papua Barat sebanyak 0,30 juta jiwa dan provinsi Papua sebanyak 0,48 juta jiwa tahun 2022, sedangkan data di Provinsi Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan tidak diketahui.
Demikian pula dengan data migran masuk risen ke Daerah Khusus Jakarta sebanyak 0,21 juta jiwa tahun 2022. Migran masuk ke Provinsi Papua Barat sebanyak 0,035 juta jiwa dan di Provinsi Papua sebanyak 0,039 juta jiwa pada tahun yang sama.
Persoalannya adalah ketika Kabinet Merah Putih pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bermaksud melanjutkan program prioritas swasembada pangan dengan membuka hutan seluas 2 juta hektare dan swasembada bioenergi dengan membuka hutan seluas 1 juta hektare ke Pulau Papua, maupun melanjutkan program transmigrasi.
Namun program tersebut mendapat penolakan dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Papua untuk program transmigrasi, maupun dari Dewan Gereja Papua, green peace, Walhi, Majelis Rakyat Papua (MRP), maupun perwakilan masyarakat hak ulayat dan hak adat untuk program swasembada.
Hutan seluas 3 juta hektare itu setara dengan 300 kilometer persegi. Implikasinya adalah luas Pulau Papua untuk pengembangan lumbung pencetakan padi sawah baru, lumbung bioenergi tanaman singkong, gula tebu, dan kelapa sawit akan membuat luas Pulau Papua tersisa menjadi 411.914,62 kilometer persegi.
Artinya, tidak ada dampak negatif yang signifikan terhadap pengurangan luas daerah daratan di Pulau Papua. Akan tetapi penolakan terhadap transmigrasi, sekalipun migrasi seumur hidup dan migrasi risen di Pulau Papua masih relatif sedikit, namun kegiatan transmigrasi ditafsirkan sebagai pengusiran penduduk asli Papua, bahkan disalah-artikan sebagai pemunahan penduduk asli Papua.
Ini bagaikan sebuah tafsir yang sangat serius. Luar biasa. Dikhawatirkan terjadi perampasan tanah adat dan tanah ulayat luar biasa, padahal persoalan tersebut dapat ditata dengan baik. Terjadi konflik sumber daya alam. Menghapus hutan, merusak hutan. Menimbulkan baku hantam dalam keluarga.
Demikian implikasi tafsir yang diaspirasikan oleh para pemangku kepentingan. Terjadi pembongkaran karbon biomassa dan meningkatkan suhu udara atas perluasan deforestasi dan pemekaran provinsi-provinsi di Papua.
Kebelanjutan program transmigrasi yang terjadi sejak zaman Belanda direspons secara bombastis oleh para pemangku kepentingan lokal dengan menggunakan istilah-istilah tersebut di atas, yaitu pemunahan penduduk asli dibandingkan keberadaan tambahan jumlah pendatang sebagai migran seumur hidup dan migran risen, sekalipun jumlah migrasi masih relatif rendah sebagaimana data statistik tersebut di atas.
Demikian pula kedatangan anggota TNI Polri yang berketerampilan mengembangkan pertanian tanaman padi, singkong, tebu, dan kelapa sawit telah direspons sebagai ancaman untuk kegiatan pengamanan terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM, atau KKB).
Kedatangan berbagai peralatan berat untuk menyiapkan pembangunan pertanian secara modern dan cepat oleh perusahaan swasta besar, direspons sebagai kegiatan percepatan perusakan lahan hutan dan merampas tanah hak ulayat dan hak adat.
Ditafsirkan merusak hutan, memanaskan suhu udara, dan berbagai kerusakan sumberdaya hayati dan magis lainnya. Padahal peningkatan suhu udara secara global, karena posisi jarak antara planet matahari dengan bumi pada posisi terdekat sepanjang sejarah umat manusia, sehingga suhu udara menjadi sangat panas dibandingkan biasanya pada tahun-tahun yang berbeda.
Rupanya sudut pandang para penyuluh lingkungan hidup seperti green peace dan Walhi terkesan sedemikian kuat, bahkan terkesan terbangun akan mampu mengalahkan program swasembada pangan dan swasembada bioenergi dari Kabinet Merah Putih.
Padahal secara sangat mudah dan terang benderang, bahkan kota-kota di Pulau Papua semula adalah hutan belantara selama ratusan tahun kemudian dibuka menjadi kota Jayapura, Abepura, Merauke, Manokwari, dan lain sebagainya.
Begitu pula dengan kota-kota metropolitan di Indonesia yang selama ratusan tahun sebelumnya atau berabad-abad semula adalah sebagai hutan belantara, kemudian dibuka menjadi kota Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, Makassar, dan lain sebagainya, namun bencana alam tidaklah terjadi sebagaimana yang sangat ditakutkan secara ekstrim oleh para penyuluh lingkungan hidup.
Demikian pula kota-kota megapolitan di negara-negara maju tingkat dunia, yang telah berabad-abad lebih dulu bermula berasal dari pembukaan tanah pada hutan belantara.
Persoalan swasembada, distribusi penduduk, pembangunan nasional, dan lain sebagainya kemudian dipertentangkan dengan persoalan-persoalan non Pembangunan dan non ekonomi tersebut di atas, bahkan dikembangkan sebagai persoalan manfaat otonomi khusus (Otsus) Papua, yang dilanjutkan dengan membangkitkan kembali masalah politik, yaitu mengulang gagasan referendum Papua, dan kegiatan separatis berupa Papua Merdeka.
Sungguh pemerintah memerlukan kemampuan menjelaskan dalam kerangka pembangunan nasional dan NKRI untuk mengeliminasi dan mencari solusi atas keberagaman tafsir dan ketidaktepatan dalam memandang posisi prioritas pembangunan, yang diusung oleh Kabinet Merah Putih.
Penulis tergabung dalam Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana