Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) menggelar audiensi dengan Fraksi Golkar DPR di Gedung Nusantara I, Lt 11 DPR RI, Jl.Gatot Subroto Jakarta, pada Selasa 12 November 2024.
Kedatangan Forkopi tersebut dalam rangka menyampaikan aspirasi terkait revisi RUU Perkoperasian yang segera akan dibahas di DPR RI.
Jajaran pengurus Forkopi diterima langsung Wakil Ketua Komisi VI DPR RI F-Golkar yang juga Ketua Dewan Koperasi Indonesia, Nurdin Halid dan Anggota DPR RI F-Golkar Firnando Hadityo Ganinduto.
Salah satu pengurus Forkopi, Saat Suharto Amjad menjelaskan bahwa pihaknya menyampaikan 12 poin usulan kepada F-Golkar DPR RI sebagai masukan dalam revisi UU Perkoperasian.
Di antara poin yang diusulkan adalah perubahan pengertian koperasi. Pengertian Koperasi yang diusulkan yaitu koperasi merupakan sekumpulan orang seorang atau badan hukum koperasi yang bersatu secara suka rela dan bersifat otonom untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya dalam membangun ekonomi kerakyatan melalui usaha bersama yang diselenggarakan berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong-royong.
Kemudian Badan hukum Koperasi adalah status legal yang diberikan oleh negara sebagai subjek hukum yang didirikan oleh sekumpulan orang dan atau Badan hukum koperasi untuk menjalankan usaha bersama dalam mencapai tujuan berkoperasi.
"Jadi kita bedakan dari sisi ekonomi dan badan hukum koperasi," jelasnya.
Kemudian Forkopi juga mengusulkan agar memperluas pengertian usaha simpan pinjam sesuai amanat dari TAP MPR No. 16/ 1998 yang semangatnya adalah mengembangkan Koperasi tidak mengkerdilkan Koperasi, apapun jenis koperasi tersebut dan juga amanat UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta kerja.
"Hal tersebut dalam rangka memfasilitasi koperasi yang dijalankan oleh pelajar dan mahasiswa serta melayani calon anggota dalam rangka rekruitmen anggota melalui proses pendidikan sebelum dikukuhkan sebagai anggota tetap," katanya.
Berikutnya, Forkopi menegaskan agar peran dan fungsi Koperasi adalah mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong, bukan demokrasi ekonomi. Bahwa demokrasi ekonomi yang tanpa batas atau tidak terukur kurang tepat menjadi asas usaha bersama.
"Adapun asas kekeluargaan dan gotong royong adalah ciri khas masyarakat Indonesia sejak dulu," ujarnya.
Selan itu, Forkopi juga mengusulkan agar Lembaga Pengawasan pada Usaha Simpan Pinjam Koperasi dengan Komposisi pimpinan terdiri dari 3 (tiga) orang yang tedriri dari satu orang unsur Pemerintah, satu orang unsur Gerakan Koperasi Simpan Pinjam, dan satu orang unsur Pemangku kepentingan dalam ekosistem Koperasi.
"Forkopi juga mengusulkan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPSK) dan Pinjaman Anggota Koperasi yang dibiayai dengan iuran dan APBN," ungkapnya.
Di samping itu, Forkopi mengusulkan penambahan bab dan pasal pada perubahan RUU Perkoperasian yang mengatur tentang pentingnya Pendidikan Perkoperasian.
Menurutnya, Hal ini untuk mendorong partisipasi seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi anggota koperasi diperlukan sebuah proses pembelajaran yang terstruktur yang melibatkan peran negara sebagaimana amanat UUD 1945 sehingga sudah menjadi keharusan negara hadir langsung melalui Kementerian Pendidikan menetapkan standar kurikulum yang memuat tentang pendidikan Perkoperasian dari jenjang Pendidikan Dasar hingga Pendidikan Tinggi.
Ketua Pengurus Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan syariah (KSPPS) Tamzis Bina Utama ini menyampaikan bahwa Forkopi juga mengusulkan penyusunan strategi, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Strategi Literasi Perkoperasian yang berkelanjutan dan pembentukan Dewan Nasional Literasi Perkoperasian.
Berikutnya, mengusulkan agar tidak membatasi periode Kepengurusan Koperasi, karena Koperasi berbeda dengan jabatan politik dimana unsur kepercayaan anggota terhadap Pengurus adalah kunci utama keberlangsungan usaha Koperasi.
Saat juga menjelaskan, Forkopi juga mengusulkan Koperasi secara umum dapat memiliki Hak Milik atas tanah tidak terbatas pada Koperasi pertanian, Hal tersebut juga mengambil yurisprudensi atas ormas keagamaan yang diberi hak milik atas tanah.
Forkopi juga mengusulkan agar sanksi pidana terbatas pada kegiatan yang dapat merugikan Koperasi.
"Hal ini menghindari agar tidak terkesan regulasi memiliki kecenderungan untuk mengkriminalisasi Pengurus dan Pengawas Koperasi," bebernya.
Menurut Saat, poin-poin tersebut diusulkan mengingat RUU Perkoperasian sudah ada Surat Presiden (Surpres) dan menjadi inisiatif pemerintah.
"Akan tetapi kami dari Forkopi telah menyiapkan draf undang-undang untuk naskah undang-undang pembanding. Sehingga mau melengkapi undang-undang yang sudah diajukan pemerintah kami telah menyiapkan pula revisi yang kami harapkan," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR F-Golkar yang juga Ketua Dewan Koperasi Indonesia, Nurdin Halid mengatakan bahwa aspirasi dan gagasan dari Forkopi yang mayoritas dari koperasi simpan pinjam itu terkait revisi RUU perkoperasian akan ditindaklanjuti oleh pihaknya dan akan dibahas dalam Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
"Sudah pasti (direvisi). Jadi sekarang untuk undang-undang Koperasi, RUU yang sekarang sudah ada Surpres dari Presiden sehingga kita tinggal lanjutkan itu aja. Nah sekarang tinggal substansinya itu apakah sesuai dengan harapan stakeholder gerakan koperasi itu yang mau kita lihat," katanya.
Politisi Golkar asal Sulawesi ini memastikan bahwa RUU Koperasi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan segera dibahas di Baleg.
"Iya (masuk Prolegnas). Ini sekarang mau rapat Baleg ini, untuk menentukan itu. Insya allah akan kita sahkan paling tahun depan, awal awal tahunlah. Target kita sidang sesudah reses nanti itu kita akan sahkan," bebernya.
Menurut mantan Ketua PSSI ini, berdasarkan aspirasi dari Forkopi, UU Koperasi dinilai sudah tidak up to date dan sudah out of date karena sudah lama.
"Beberapa hal yang diusulkan mereka yang sangat prinsip itu khususnya mengenai lembaga perlindungan dan keuangan (LPK), mereka sangat mengusulkan itu. Kedua ada ruang yang sama, ada perlakuan yang sama dengan lembaga keuangan lainnya. Nah sekarang ini mereka sempat punya itu, punya misalnya transaksi keuangan melalui ATM tapi hanya berlaku untuk internal, tidak berlaku untuk eksternal,"katanya.
Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan amanat dari TAP MPR No. 16/ 1998 tentang koperasi.
"Di dalam Tap MPR itu jelas sekali harus ada peraturan khusus perlindungan khsusus dan ruang gerak yang luas kepada koperasi Usaha Kecil Menengah untuk menjadi pelaku ekonomi dominan. Kalau ada pembatasan-pembatasan seperti itu, maka itu akan membuat ruang gerak mereka sangat terbatas, sementara mereka adalah pilar pembangunan ekonomi nasional," pungkasnya.