Berita

Foto ilustrasi (AI/AT)

Publika

Ini Budi

RABU, 06 NOVEMBER 2024 | 07:27 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

MASIH ingat buku pelajaran Bahasa Indonesia “Ini Budi” karya Siti Rahmani Rauf? Buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar (SD) tahun 1980-an ini punya pengaruh luar biasa di masanya. Tentu Anda masih ingat deretan kalimat legendaris itu: “Ini Budi, ini ibu Budi, ini bapak Budi.”

Sekarang, sosok Budi yang kita kenal di layar pendidikan telah hadir dalam wujud nyata: Budi Arie Setiadi. Sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika sebelumnya, ia membawa banyak harapan untuk menghadapi tantangan zaman digital yang kian kompleks. Namun, apakah kiprah Budi ini akan meninggalkan dampak yang tak terlupakan seperti buku pelajaran itu?

Di tengah derasnya arus digital, publik berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang berganti nama menjadi Komdigi) bersikap tegas terhadap ancaman situs judi online, atau “judol.” Namun, harapan ini mendadak terasa seperti sandiwara. Alih-alih serius memblokir situs-situs judi, kementerian justru menimbulkan keheranan dengan langkah memblokir… WordPress.

Bagi yang belum tahu, WordPress adalah platform blogging yang banyak digunakan untuk berbagi cerita, resep, hingga tips berkebun. Mungkinkah kementerian mencurigai bandar judi beralih profesi jadi blogger? Atau, apakah ada plugin WordPress khusus yang tiba-tiba bisa bikin jackpot?

Di hadapan Menkomdigi Meutya Hafid, anggota DPR Abraham Srijaya membeberkan temuan seorang pegiat keamanan siber, Mr. Bert. Alih-alih menindak situs-situs judol, kementerian malah memblokir platform WordPress, sementara situs judi tetap leluasa diakses. Ironisnya, klaim pemblokiran masif yang diutarakan kementerian ternyata tak lebih dari "pemandangan maya."

Bu Menteri, yang baru saja menjabat menggantikan Budi Arie Setiadi, berdalih bahwa situs judi memang menjamur. Tapi tenang saja, katanya—mereka sudah memblokir 187 ribu situs dalam 10 hari. “Jumlah terbesar dalam sejarah,” katanya penuh percaya diri. Tapi, benarkah? Atau hanya sekadar angka untuk mendongkrak citra? Bahkan Meutia janji akan memblokir hingga 2 juta situs dalam 100 hari kerjanya.

Di bawah kepemimpinan Budi Arie sebelumnya, klaim serupa juga pernah terdengar, meski jumlahnya tidak sefantastis itu. Namun, belakangan, beberapa anak buah Budi malah tertangkap karena mempertahankan beribu situs judol. Publik pun bertanya-tanya: apakah ini bukan sebuah ironi? Budi Arie dan timnya mengaku berhasil "memerangi" judol, tapi definisi "pemberantasan" mereka hanya ilusi.

Yang menarik, beberapa oknum di Komdigi tampaknya pandai menciptakan “realitas paralel.” Mereka mengklaim situs judi sudah diblokir, padahal aksesnya tetap terbuka. Dalam narasi heroik Komdigi, seakan dunia perjudian telah bersih, walau faktanya masih merajalela, angkanya sampai jutaan situs.

Kehadiran Budi Arie dan anak buahnya di sorotan publik kini menarik perhatian. Tertangkapnya beberapa staf Budi yang diduga terlibat dalam jaringan judol membuat kita semua geram. Salah satu yang mencolok adalah Adhi Kismanto, teknisi software yang dikenal lihai menghindari deteksi. Ia menjadi tokoh penting di balik situs-situs judi yang lolos dari pantauan.

Dalam hal finansial, kabarnya biaya “pengamanan” situs-situs ini mencapai Rp8,5 miliar per bulan. Pertanyaan pun muncul: siapa yang menikmati aliran dana sebesar itu? Kita tahu, Budi Arie memang dekat dengan lingkaran kekuasaan dan punya koneksi kuat sebagai pendiri Relawan Projo (Pro Jokowi), yang kabarnya akan dikembangkan menjadi partai, tentu membutuhkan dana besar.

Praktik ini mengingatkan kita pada ajaran Machiavellian, di mana kekuasaan dijalankan tanpa memedulikan moral. Alih-alih melindungi masyarakat dari bahaya perjudian, seolah jabatan dijadikan alat untuk keuntungan pribadi dan politik. Seperti yang diingatkan Alexis de Tocqueville, demokrasi sejatinya melayani rakyat, bukan menjadi topeng ambisi politik.

Sayyid Qutb pun pernah mengkritik keras kepemimpinan tak bermoral yang mengkhianati kepercayaan publik. Baginya, praktik semacam ini tidak hanya merusak tatanan moral tetapi juga menghancurkan masyarakat.

Maka, akhirnya publik hanya bisa geleng-geleng kepala di antara rasa bingung dan tertawa pahit. Kementerian yang seharusnya menjadi benteng perlindungan dari ancaman digital justru tampak lebih sibuk mengamankan “aset” yang berpotensi mendukung kepentingan politik mereka. Machiavellian banget.

*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an.

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

KPK Terus Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar

Jumat, 28 Februari 2025 | 17:13

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

BRI Salurkan KUR Rp27,72 Triliun dalam 2 Bulan

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

Badai Alfred Mengamuk di Queensland, Ribuan Rumah Gelap Gulita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

DPR Cek Kesiapan Anggaran PSU Pilkada 2025

Senin, 10 Maret 2025 | 11:36

Rupiah Loyo ke Rp16.300 Hari Ini

Senin, 10 Maret 2025 | 11:24

Elon Musk: AS Harus Keluar dari NATO Supaya Berhenti Biayai Keamanan Eropa

Senin, 10 Maret 2025 | 11:22

Presiden Prabowo Diharapkan Jamu 38 Bhikkhu Thudong

Senin, 10 Maret 2025 | 11:19

Harga Emas Antam Merangkak Naik, Cek Daftar Lengkapnya

Senin, 10 Maret 2025 | 11:16

Polisi Harus Usut Tuntas Korupsi Isi MinyaKita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:08

Pasar Minyak Masih Terdampak Kebijakan Tarif AS, Harga Turun di Senin Pagi

Senin, 10 Maret 2025 | 11:06

Lebaran di Jakarta Tetap Seru Meski Ditinggal Pemudik

Senin, 10 Maret 2025 | 10:50

Selengkapnya