DALAM satu acara kampanye yang dihadiri banyak kaum wanita, Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, Suswono, menyelipkan candaan yang mencuri perhatian netizen. Dia menyarankan "janda kaya menikahi pemuda nganggur," dengan mengambil contoh Siti Khadijah, seorang pengusaha kaya yang menikah dengan Muhammad bin Abdullah.
Namun, kelakar ini justru memicu perdebatan panas, termasuk niatan dari GP Ansor DKI atau pihak lain untuk melaporkan Suswono atas dugaan penodaan agama.
Untungnya, politisi yang suka bercanda ini sudah menyatakan minta maaf ke publik atas kehilafannya, dengan niat tulus memperbaiki diri.
Candaan ini sebenarnya bersumber pada fakta sejarah yang cukup menarik: Siti Khadijah, seorang janda kaya dan pengusaha sukses, memang menikah dengan Muhammad, seorang pemuda berusia 25 tahun yang saat itu belum menjadi nabi -- beliau mendapat wahyu 15 tahun kemudian.
Dengan latar belakang sederhana dan hidup sebagai yatim, beliau saat itu bekerja sebagai pedagang untuk Khadijah. Jadi, jika kita menilik fakta sejarah, Muhammad memang bukan pengangguran. Bahkan, untuk menikah, beliau mempersiapkan diri dengan mahar 50 ekor unta muda yang, jika diuangkan sekarang, nilainya antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar.
Namun, apakah kelakar Suswono ini berhak menuai reaksi begitu tajam? Mari kita bedah humor yang berpotensi menjadi “pasal karet” ini dengan sudut pandang kritis, namun tetap penuh edukasi.
Suswono, yang dikenal dengan selera humornya, dalam pernyataannya mencoba menggambarkan hubungan Khadijah dan Muhammad dengan maksud mendukung pemuda yang berstatus sosial rendah secara ekonomi. Dia mengaku sama sekali tak bermaksud merendahkan pemuda Muhammad, sosok yang, meski bekerja pada orang, memiliki reputasi tinggi sebagai Al-Amin (yang terpercaya).
Pilihan Khadijah untuk menikahi beliau bukan berdasarkan harta, melainkan akhlak mulia beliau. Namun di sinilah hal lucu sekaligus ironisnya: Suswono mungkin lupa bahwa perbandingan semacam ini, meski faktual, memerlukan sensitivitas yang tinggi mengingat posisi Nabi Muhammad sebagai figur agung dalam Islam.
Sejarah antara Khadijah dan Muhammad memang menghadirkan contoh bagaimana cinta melampaui sekat-sekat sosial dan ekonomi. Namun, mungkin Suswono mengira audiens kampanyenya sudah memahami konteks ini -- ternyata tidak semua orang melihatnya demikian.
Seperti candaan khas para politisi, seringkali ada pesan baik terselip dalam gaya jenaka. Faktanya, audiens memang suka dengan ceramah jenaka penuh humor. Namun, politik Indonesia punya sensitivitas sendiri. Dari sudut pandang ini, reaksi publik terhadap kelakar Suswono menarik untuk disimak.
Masyarakat hari ini semakin sensitif terhadap tokoh agama dan nilai-nilai keagamaan, sehingga setiap sentuhan humor pada topik ini kerap memantik reaksi keras. Candaan yang seharusnya sederhana berubah menjadi topik serius yang menggoyang kepercayaan, terutama jika dianggap kurang etis.
Padahal, jika dilihat dengan tenang, kelakar ini tidak jauh berbeda dari contoh-contoh historis, seperti candaan Abu Nawas yang kelewatan. Juga, Nasruddin Hoja, Juha, Mulla Do-Piyaza, Birbal, Voltaire, Mark Twain, dan Oscar Wilde, yang hebat dengan humor masing-masing. Namun, ada batasan tipis yang sering dilupakan para politikus – humor soal agama hampir selalu rentan salah paham.
Tampaknya, daripada membawa persoalan ini ke ranah hukum, sepertinya lebih bijak menjadikannya sebagai kesempatan edukasi. Menceritakan bagaimana Khadijah memilih Muhammad bukan karena status sosial adalah contoh yang patut diingat.
Faktanya, Khadijah adalah seorang janda terhormat yang mengutamakan sifat mulia daripada sekadar harta. Muhammad sendiri tidak merasa minder, malah mampu berdiri tegak dengan kepercayaan diri karena integritasnya.
Jadi, apakah Muhammad itu miskin saat menikahi Khadijah? Secara ekonomi, beliau tidak temasuk kaya. Namun beliau kaya dalam kejujuran, kepercayaan, dan akhlak yang luhur. Dan jika kita telaah lebih dalam, boleh jadi contoh inilah yang justru ingin diangkat Suswono? Bukan tentang hartanya, tapi tentang bagaimana masyarakat perlu menghargai sifat-sifat mulia di atas kekayaan.
Mari jadikan kontroversi ini sebagai pelajaran penting bagi kita semua bahwa berbicara soal agama membutuhkan kehati-hatian, terlebih di ranah politik. Barangkali niatan Suswono adalah baik, namun penyampaiannya yang bersifat guyon bisa saja memancing respons yang keliru.
Dalam kaitan ini, semoga kita bisa lebih bijak dalam merespon kelakar tanpa melupakan esensi dan fakta di balik kisah sejarahnya. Tidak ada salahnya menjadikan sejarah sebagai inspirasi, asalkan dilakukan dengan penuh rasa hormat dan pemahaman mendalam akan maknanya.
Sebab, tak peduli siapapun yang bercanda, apalagi seorang politisi, selalu ada risiko “kalah sebelum kampanye” bila publik merasa terhina.
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an