Kementerian Kesehatan harus memastikan pihak-pihak terkait dan terdampak kebijakan kemasan rokok polos tanpa merk benar-benar diajak berdiskusi.
Rencana penerapan kemasan tanpa merk tersebut dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai turunan PP 28/2024.
Ditegaskan Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan semua masukan stakeholder, termasuk asosiasi industri dan pihak terdampak lainnya.
"Regulasi ini bermula dari aturan Kementerian Kesehatan yang mengalami penundaan lama karena kami ingin memastikan bahwa semua pihak, baik pengusaha maupun pihak lain, tidak merasa dirugikan,” ujar Saleh kepada wartawan, Rabu (2/10).
Saleh menekankan bahwa penting untuk mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak sebelum merumuskan kebijakan yang bersifat mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Karena itu, kalau mau membuat peraturan libatkan semua pihak. Kami minta jangan egois,” tegas politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Selain itu, ia menggarisbawahi bahwa Kemenkes bukanlah satu-satunya kementerian yang terlibat dalam pengaturan tembakau. Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga harus dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi ini.
“Saya menanyakan apakah semua stakeholder sudah dilibatkan dalam penyusunan aturan ini? Jika tidak, akan ada masalah dan pihak-pihak tertentu akan merasa ditinggalkan,” tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengamini semua masukan tidak dapat diakomodir dalam pembahasan polemik kemasan rokok, sekali pun regulasi tersebut berpotensi memicu gelombang PHK, menggerus penerimaan negara, dan telah mendapatkan penolakan banyak pihak.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa perbedaan pendapat bukan berarti semua masukan mengenai pengaturan tembakau dapat diterima.
“Kita bisa berbeda pendapat, tapi bukan berarti seluruh masukan harus diterima ‘kan?” katanya.